Novel Muhammad Najib, “Bersujud Diatas Bara” (Seri-11): Menikmati Udara Sore Peshawar

Tulisan berseri ini diambil dari Novel “Bersujud di Atas Bara” karya Dr Muhammad Najib. Bagi yang berminat dapat mencari bukunya di Google Play Books Store, lihat linknya dibawah tulisan ini.

Novel “Bersujud Ditas Bara” ini merupakan fiksi murni yang diangkat dari kisah nyata, dengan latar belakang Perang Afghanistan tahun 1979- 1989. Pada saat itu, di tingkat global bertarung antara dua super power, Amerika dan sekutunya NATO didukung oleh sejumlah negara Muslim, bertempur melawan Uni Soviet yang didukung Pakta Warsawa. Sementara di medan laga terjadi pertarungan antara Rezim Boneka Afghanistan dukungan Uni Soviet melawan Mujahidin yang didukung oleh Amerika dan sekutunya.

Karya: Muhammad Najib
Dubes RI untuk Kerajaan Spanyol dan UNWTO

SERI-11

Tujuh hari sejak kedatangannya ke kota Peshawar, Mujahid mengikuti semua kegiatan rutin di kompleks Ma’had. Perasaan jenuh mulai muncul. Saat makan siang sesudah shalat Zuhur berjamaah di masjid, Ia mendekati Rizali.

“Nggak jenuh?”, tanyanya.

“Rasanya sih mulai jenuh, tapi Kita harus melawannya”, kata Rizali sambil mengepalkan tangan.

“Nggak ingin keluar?”, tanya Mujahid lagi.

“Maksudmu?”, tanya Rizali sambil menaikkan kedua alisnya.

“Barangkali ingin jalan-jalan”.

“Boleh juga. Tapi Kita tidak tahu jalan, Kita juga tidak mengerti bahasa orang sini”, komentarnya dengan nada kecewa.

“Kita minta Zunaidi yang mengantar”.

“Boleh juga, tapi Antum yang bicara padanya”.

“Baiklah”, sahut Mujahid sambil merangkul pundak Rizali yang lebih pendek.

“Kita ajak juga Sofwan dan Gufron”, usul Rizali sambil menatap wajah Mujahid.

“Tentu!”.

Sesudah shalat Asar berjamaah di masjid, mereka berlima lalu berjalan keluar Ma’had. Di gerbang depan ada portal panjang yang menghalangi kendaraan keluar atau masuk. Di ujungnya ada tali yang digunakan untuk membuka dan menutupnya. Di sebelahnya ada pos kecil. “Antum tunggu di sini”, kata Zunaidi sambil bergegas masuk ke pos itu. Zunaidi lalu berbicara kepada seorang gemuk pendek berkulit hitam yang duduk di balik meja kecil sederhana.

Orang itu menyodorkan buku dan pulpen. Zunaidi mengisi buku itu dan menuliskan nama dirinya sendiri dan keempat temannya dalam bahasa Arab. Saat menunggu, dengan ekor matanya Mujahid sekali-sekali melirik ke arah pos. Ia melihat, selain si gemuk pendek itu, ada dua orang agak jangkung, berkulit terang dengan jenggot lebat memanggul senjata laras panjang terus mengawasi dan memandang ke luar.

Cover Novel “Bersujud di Atas Bara” karya Dr Muhammad Najib. Bagi yang berminat dapat mencari bukunya di Google Play Books Store. Ikuti linknya dibawah

“Itu prosedur resmi setiap orang yang mau ke luar dari Ma’had ini”, kata Zunaidi sambil memberikan isyarat untuk berjalan melalui lorong sempit di sebelah gardu.

“Apa tidak ada pemeriksaan badan?”, tanya Mujahid.

“Tidak. Di Ma’had tidak ada senjata maupun amunisi”, jawabnya.

“Lalu dimana senjata dan amunisi disimpan?”, tanya Mujahid lagi.

“Senjata dan amunisi semuanya disimpan di Markaz. Senjata hanya dipinjamkan saat latihan, sesudah itu harus dikembalikan untuk disimpan kembali”.

“Di mana Markaz itu?”.

“Markaz dalam bahasa Indonesia adalah markas yang diambil dari bahasa Arab. Markaz adalah suatu tempat di mana para petinggi militer berkantor. Tempat ini dilengkapi dengan pusat latihan bagi para Mujahidin, juga untuk menyimpan senjata dan amunisi. Di tempat ini juga dilakukan evaluasi kesiapan seorang Mujahidin sebelum diberangkatkan ke medan laga. Upacara pelepasan yang diiringi dengan baiat siap Syahid demi Islam juga dilakukan di tempat ini. Letaknya di sebuah gurun tandus tidak berpenghuni di luar kota Peshawar”.

Zunaidi, Mujahid dan kawan-kawan terus melangkah memasuki daerah keramaian.

“Ini kota tua, jadi gedung-gedungnya sebagian besar berupa bangunan lama”, kata Zunaidi menjelaskan.

“Bangunan-bangunan di sini kok seperti masjid semua”, komentar Mujahid.

“Arsitektur Pakistan, Afghanistan, dan India memang begitu. Jendela dan pintunya selalu melengkung. Jarang sekali yang segi empat”, jawab Zunaidi.

“Kelihatannya banyak pendatang di sini”.

“Oya, sejak penyerbuan Uni Soviet ke Afghanistan, banyak pejuang berdatangan. Mereka berasal dari Pakistan, Cina, Timur Tengah, Asia Tenggara, Asia Tengah, Eropa, dan Amerika”.

“Berapa banyak Ma’had yang menampung para pejuang seperti yang kita tempati?”.

“Ana tidak tahu persis, tapi di sekitar Pesyawar saja perkiraan lebih dari sepuluh. Mereka berfaksi-faksi berdasarkan banyak hal, mulai faham keagamaan, pandangan politik, kesukuan. Kita sekarang disatukan oleh musuh bersama melawan Komunisme yang anti Tuhan”.

Sambil mengobrol, langkah Mereka terus berayun menyusuri jalan berlubang dan berdebu di antara bangunan-bangunan berwarna putih kusam. Mobil-mobil yang lalu-lalang sebagian besar berwarna putih. Banyak truk dan Nissan pickup yang ditumpangi orang di belakangnya. Perempuan jarang tampak di jalan. Kalau keluar rumah biasanya menutup rapat wajahnya. Sementara laki-lakinya mengenakan serban. Sebagian besar memelihara jenggot.

“Waaah…!”, kata Mujahid terkejut saat memasuki deretan kios yang memajang berbagai senjata. Mulai pistol dengan berbagai bentuknya, kemudian senjata laras panjang, sampai senjata berpelontar.

“Apakah itu dijual?”, tanya Mujahid lebih lanjut

“Ya”, jawab Zunaidi.

“Para dermawan dan orang-orang kaya dari Timur

Tengah lebih suka memberi hadiah berupa senjata yang dibeli dari sini, dibanding memberi bantuan uang”, katanya menjelaskan.

“Yang itu bazoka namanya, buatan Rusia yang dapat menghancurkan tank atau kendaraan lapis baja lain”.

“Yang itu rompi buatan mana?”, tanya Mujahid sambil mengarahkan telunjuknya.

“Itu jaket anti peluru, bukan rompi biasa”.

“Dijual tanpa ijin ?”, tanya Mujahid dengan wajah heran.

“Ya dijual bebas, inikan situasi perang !”.

Selain kendaraan yang lalu-lalang, tidak jarang gerobak yang ditarik keledai juga sering lewat. Sementara mereka yang berjalan kaki juga ramai sekali.

“Ana akan ajak Antum minum kopi di ujung sana”, kata Zunaidi sambil menunjuk ke tempat yang paling ujung di perempatan jalan.

Mereka lalu mengambil kursi masing-masing. Cangkircangkir kecil yang tidak bertangkai dibagikan. Lalu kopi dituangkan dari kendi berwarna tembaga yang sangat besar. Kopi-kopi di cangkir itu mengepulkan asap dan menebarkan aroma aneh. Mujahid mendekatkan hidungnya, sembari menarik napas panjang menyedot baunya.

“Kopi di sini aromanya sangat wangi”, komentar Zunaidi.

“Diberi apa, Mas?”, tanya Mujahid penasaran.

“Selain kopi, ada zae dan kapulaga, kadangkala ditambah rempah-rempah lain yang saya tidak tahu namanya”, jawab Zunaidi.

“Kalau itu tehnya kok diberi daun”, tanya Mujahid sambil menunjuk gelas kecil yang diisi dengan daun saat dihidangkan di meja sebelah.

“Oo… itu daun nakna, di Indonesia dikenal dengan daun min, besok kita boleh coba. Daun itu menyebabkan  teh terasa ada mentolnya”.

EDITOR: REYNA

Bagi yang berminat dengan karya-karya novel Dr Muhammad Najib dapat mencari bukunya di Google Play Books Store, melalui link dibawah ini: 

Judul Novel: Di Beranda Istana Alhambra
https://play.google.com/store/books/details?id=IpOhEAAAQBAJ

Judul Novel: Safari
https://play.google.com/store/books/details?id=LpShEAAAQBAJ

Judul Novel: Bersujud Diatas Bara
https://play.google.com/store/books/details?id=WJShEAAAQBAJ

Related Posts