Tulisan berseri ini diambil dari Novel “Bersujud di Atas Bara” karya Dr Muhammad Najib. Bagi yang berminat dapat mencari bukunya di Google Play Books Store, lihat linknya dibawah tulisan ini.
Novel “Bersujud Ditas Bara” ini merupakan fiksi murni yang diangkat dari kisah nyata, dengan latar belakang Perang Afghanistan tahun 1979- 1989. Pada saat itu, di tingkat global bertarung antara dua super power, Amerika dan sekutunya NATO didukung oleh sejumlah negara Muslim, bertempur melawan Uni Soviet yang didukung Pakta Warsawa. Sementara di medan laga terjadi pertarungan antara Rezim Boneka Afghanistan dukungan Uni Soviet melawan Mujahidin yang didukung oleh Amerika dan sekutunya.
Karya: Muhammad Najib
Dubes RI Untuk Kerajaan Spanyol dan UNWTO
SERI-44
Ramadhan memasuki hari kedua puluh sembilan, suara takbir terus-menerus dikumandangkan dari pengeras suara beberapa masjid. Nur sejak pagi di dapur bersama tiga orang pembantunya mengerjakan pesanan kue kering untuk lebaran. Suara takbir yang terdengar berulang-ulang seperti mengingatkannya bahwa Ia harus menyelesaikan pekerjaan malam itu juga, karena semua pesanan akan dipergunakan esok hari. Amil, Ira, dan Iin duduk di ruang tamu menyaksikan suasana takbiran di berbagai tempat melalui layar televisi berukuran dua belas inci. Wajah-wajah mereka tampak lebih cerah dari hari-hari sebelumnya, tapi kemurungan masih tergurat pada wajah-wajah mungil itu. Sebetulnya mereka ingin ikut bergembira seperti Anak-Anak lain mengikuti acara takbiran berkeliling kota dengan iring-iringan mobil, sembari mengumandangkan takbir yang sudah menjadi tradisi di daerah ini. Tapi, tidak ada tetangga yang menawari atau mengajaknya. Mereka juga menyadari sang Ibu tidak mungkin bisa memenuhi keinginan mereka bila mereka memintanya.
“Apa Kita tidak akan memakai baju baru besok?”, tanya Ira kepada abangnya dengan suara pelan. Amil terdiam, sembari menoleh pelan kemudian menatap mata sang adik.
“Kan masih ada baju Lebaran yang lalu”, jawab Amil yang sudah mulai mengerti keadaan keluarganya.
“Tapi sekarang kan modelnya lain”, respon Ira.
“Umi sedang sibuk. Kita tidak boleh menambah bebannya. Lebih baik Kamu bantu Umi di dapur”.
“Tadi pagi Saya sudah bantu memarut kelapa dan mencuci piring. Kamu bantu apa?”, Ira balik bertanya,
“Saya disuruh beli beras dan minyak goreng di warung depan”.
Mereka terdiam. Lalu Ira membisiki Iin agar tak terdengar Amil. Tiba-tiba Iin melompat girang, sambil berteriak,
“Horeee! Besok Aku pakai baju baru!”, serunya sambil berlari ke arah dapur.
“Mana baju barunya Mi, Iin mau coba!”, katanya dengan suara melengking.
“Astagfirullah! Saya sampai lupa membelikan baju baru Anak-Anak!”, seru Nur sambil bergegas menghampiri Iin sembari menggendongnya. Segera Nur berpesan kepada para pembantunya agar meneruskan pekerjaan, sementara Ia akan membawa ketiga Anaknya ke toko untuk membelikan baju baru.

Cover Novel “Bersujud di Atas Bara” karya Dr Muhammad Najib. Bagi yang berminat dapat mencari bukunya di Google Play Books Store. Ikuti linknya dibawah
Sambil tetap menggendong Iin, Nur bergegas ke kamar untuk ganti pakaian. Baru saja Ia hendak meninggalkan rumah, terdengat ketukan pintu yang diikuti sura salam dari luar. Ia menurunkan Iin dari gendongannya, dan ternyata yang datang adalah mertuanya. Ia kemudian bergegas bersalaman sembari menyuruh ketiga Anaknya untuk bersalaman pada kakek dan nenek mereka.
“Kelihatannya Kamu mau keluar, Nur?”, sapa Bu Bisri.
“Ya, Bu, mau membelikan baju untuk Anak-Anak”.
“Sebetulnya Ibu mau membelikannya, tapi khawatir ukurannya tidak cocok”, komentar Ibu mertuanya. Nur kemudian membantu mengangkat barang-barang yang dibawa mereka ke dalam.
“Kok tumben banyak bawaan?”, komentar Nur menyelidiki.
“Ya. Itu sarung, baju koko, kopiah, dan indomie yang dititipkan para tetangga untuk Mujahid dan kawankawannya”.
Nur gembira mendengarnya. Pikirnya, berarti orang-orang di kampungnya bersimpati, tidak seperti para tetangga di Denpasar.
“Bagaimana sikap mereka terhadap keluarga kita sesudah Mas Mujahid ditahan?”, tanya Nur ingin meyakinkan dugaannya.
“Oh, mereka malah semakin baik. Para tetangga sering datang untuk menunjukkan rasa simpati dan empatinya. Bahkan, mereka juga datang untuk menghibur. Barang-barang ini tidak ada yang Kami beli. Semuanya mereka yang mengumpulkan dengan inisiatif sendiri”.
“Bapak dan Ibu istirahat dulu. Saya mau ngantar anak-anak, nanti keburu tokonya tutup”.
“Pergilah. Ibu dan Bapak juga akan langsung ngantar barang-barang ini ke Mujahid dan kawan-kawannya, agar besok mereka shalat Hari Raya bisa mengenakan sarung dan baju baru”.
Nur gembira mendengarnya, tapi Ia merasa perlu berbasa-basi,
“Tapi Bapak dan Ibu kan habis menempuh perjalanan jauh. Pasti masih lelah”.
“Lelah sedikit tidak apa-apa. Sesudah itu Kami akan istirahat”.
Dengan menggendong Iin dan menggandeng Ira diikuti Amil di belakangnya, Nur segera berangkat. Sementara itu, kedua mertuanya meletakkan koper di ruang tamu, kemudian mengemas beberapa bungkusan, lalu menyusul meninggalkan rumah.
Baca Juga:
- Novel Muhammad Najib, “Bersujud Diatas Bara”(Seri-42):Konspirasi
- Novel Muhammad Najib, “Bersujud Diatas Bara”(Seri-43):Ramadhan Di Penjara
Saat Nur dan Anak-Anaknya kembali, kedua mertuanya belum tiba di rumah. Ketiga Anaknya saling berebut mengambil, lalu mencoba baju mereka masing-masing. Nur bergegas menuju ke dapur. Ia melihat ketiga pembantunya sudah menyelesaikan pekerjaan masingmasing. Nur membungkus kue-kue kering itu, lalu menugaskan kedua pembantunya untuk mengantar kepada para pemesannya. Baru saja Nur hendak kembali ke kamar, kedua mertuanya muncul. Ia menoleh ke jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.
“Kok, lama, Bu?”, sapa Nur.
“Kelihatannya Mujahid sangat gembira dengan kedatangan Kami berdua”, sambil menatap wajah Nur dengan tersenyum.
“Kamu kapan menjenguknya?”, balas Bu Bisri disaksikan Suaminya.
“Rencananya besok, sesudah shalat Ied. Itu pun kalau Ibu dan Bapak setuju”, jawabnya sekaligus menunjukan rasa hormat kepada mereka.
“Eee, Kamu belum pernah mengajak Anak-Anak ketemu Abahnya selama Mujahid ditahan, kan?”.
“Mas Mujahid melarangnya, Bu!”, jawab Nur dengan wajah sendu.
“Bapak tadi sudah merundingkannya. Kelihatannya Dia setuju kalau besok Kita menjenguknya ramai-ramai”.
“Betul, Bu?”, Nur menegaskan seolah tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
“Ya, benar! Tadi Kami merundingkannya”, tegas Pak Bisri.
Wajah Nur berbinar, Ia langsung berbalik ke arah Anak-Anaknya yang masih mencoba pakaian masing-masing sembari memberi komentar satu sama lain.
“Ayo-ayo, segera tidur semua. Besok pagi-pagi harus bangun untuk Lebaran!”, perintah Nur kepada Anak- Anaknya.
Saat azan Subuh berkumandang, Nur bergegas ke kamar mandi. Ia memperhatikan kedua mertuanya yang tidur dengan beralaskan kasur tipis di ruang tamu juga mulai bangun. Mereka shalat Subuh berjamaah; Pak Bisri di depan sebagai imam, sementara Nur di samping Bu Bisri berjajar di belakangnya. Usai shalat, Mereka berdoa. Didahului dengan kalimat-kalimat dalam Bahasa Arab yang penuh pujian akan kebesaran Allah, doa-doa untuk Nabi Muhammad dan para sahabatnya, Pak Bisri lalu membacakan doanya dalam Bahasa Indonesia. Mungkin agar bagian ini dimengerti oleh Istri dan Anak menantunya, atau mungkin juga Ia merasa lebih mantap dengan Bahasa Indonesia.
“Ya Allah, ya Tuhan Kami. Cobaan demi cobaan telah Engkau berikan kepada keluarga Kami, sebagaimana coban yang mungkin lebih berat juga Engkau berikan kepada hamba-hamba-Mu yang lain. Berikanlah Kami ketabahan dan kesabaran dalam menjalaninya. Jika nanti Engkau memberikan cobaan berupa kesenangan, berilah Kami kepekaan untuk mensyukurinya. Seringkali orang lulus ketika diberikan ujian kesulitan, namun gagal saat diberi ujian berupa kesenangan. Kami bukanlah hamba
yang hendak memilih-milihnya. Engkau tahu apa yang baik untuk hamba-Mu yang seringkali tidak memiliki kemampuan untuk melihatnya. Untuk itu, jadikanlah Kami bagian dari hamba-hamba-Mu yang termasuk kelompok manusia yang muttaqin”.
Pak Bisri mengakhiri doanya sembari mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya. Ia lalu membalikan wajah, kemudian mengulurkan tangan. Bu Bisri langsung menyambut menyalaminya, kemudian mencium punggung tangan sang Suami. Diikuti oleh Nur dengan cara yang sama.
Nur membuka mukena, melipatnya, kemudian bergegas membangunkan Anak-anak, memandikan, dan membatu mereka memakai baju baru yang dibeli tadi malam.
“Bu. Kita shalat di lapangan saja, biar Ibu dan Bapak tahu, bahwa shalat Ied disini tidak kalah meriah dibanding shalat di Tegalan, kampung Kita”, ajak Nur kepada mertuanya, Bu Bisri tidak menjawab, Ia hanya menoleh ke arah Suaminya.
“Terserah Kamu, Nur. Bapak dan Ibu manut saja”, jawab Pak Bisri sambil tersenyum.
Setelah memakan beberapa butir kurma dan teh manis yang disediakan, mereka menuju lapangan Puputan untuk menunaikan shalat Hari Raya. Tidak seperti shalat Jumat yang didahului oleh khutbah, shalat Hari Raya dilakukan lebih dahulu baru kemudian khutbah Idul Fitri. Setelah khatib turun mimbar, Nur bersalaman dengan beberapa orang yang dikenalnya, sembari mengucapkan kata-kata, “taqabbala-llahu minna waminkum” yang dibalas dengan kata, “Kullu amm wa Antum bi khair”, atau minal aidhin wa-l faizin, atau mohon maaf lahir dan batin. Dengan menggunakan Angkot Nur beserta Anak-anak dan mertuanya bergegas kembali ke rumah. Ia kemudian pergi ke dapur menyiapkan rantang untuk diisi ketupat dan gulai kambing kesukaan Suaminya.
“Kok, banyak sekali bawanya, Nur?”, tanya Bu Bisri.
“Supaya teman-teman Mas Mujahid juga bisa ikut menikmatinya, Bu. Kasian mereka. Tidak semuanya punya keluarga di sini”.
Hari itu prosedur kunjungan dipermudah, sehingga memberi kesempatan para keluarga tahanan untuk menjenguk sanak keluarga mereka. Suasana cukup ramai. Ruang pertemuan di tempat terbuka sehingga mereka leluasa bertemu dan bercengkrama, meski penjagaan tidak berkurang ketatnya. Memasuki tempat itu, Anak-Anak dibiarkan berjalan di depan, meski mereka tidak diberitahu terlebih dahulu tempat apa itu. Tampaknya naluri Anak-Anak ini sudah bisa menduga. Mereka memperhatikan bangunan dan orang-orang yang berada di sekitarnya dengan wajah heran.
Mungkin bangunan dan orang-orang itu merupakan pandangan yang asing bagi mereka. Dari kerumunan para pengunjung yang bercakap-cakap dengan keluarga mereka yang ditahan, muncul Mujahid yang tampaknya sudah menunggu. Ketiga Anak-Anak itu berhenti serempak. Ditatapnya orang yang hampir sepuluh bulan tidak dijumpainya. Mereka berdiri mematung saling pandang. Mujahid tersenyum melihat mereka bertiga. Tiba-tiba Iin melompat ke depan sambil berteriak melengking, “Abaaaah…!”, Mujahid membungkukkan badannya, merentangkan kedua tangannya menyambut kedatangan Anak itu.
Dengan kedua tangannya Ia menangkap Anak kecil yang berlari menubruknya itu. Badannya diangkat tinggitinggi, lalu dipeluk dan diciumi kedua belah pipinya dengan haru. Tanpa terasa, air mata Mujahid menetes. Sementara Iin nampak tersenyum gembira sembari melambai-lambaikan tangannya memanggil kedua kakak mereka yang masih berdiri bengong. Mujahid melangkah maju mendekati mereka yang tampak agak kikuk. Mereka dipeluk dan dicium satu-satu. Istri dan kedua
orangtuanya menyaksikan pemandangan itu dengan rasa haru. Nur maju meraih tangan Mujahid lalu menciumnya yang dibalas Mujahid dengan ciuman di keningnya. Nur merunduk sembari memejamkan mata menerima kecupan sang Suami. Mujahid kemudian menghampiri kedua orangtuanya, menyalaminya, sembari mengucapkan katakata, “maafkan segala kesalahan dan kekhilafan Saya”.
Nur memberi isyarat kepada petugas yang berdiri tidak jauh dari tempat itu, setelah berbicara sejenak, petugas itu lantas datang dengan membawa tikar dan membentangkannya sebagai alas tempat duduk di bawah pohon mangga yang ada di halaman itu.
“Ramah betul petugas itu”, komentar Bu Bisri. Mendengar komentar itu Nur hanya tersenyum kecil. Ia membuka satu per satu bungkusannya.
“Saya bawa ketupat dan gulai kambing kesukaan Mas”, kata Nur. Mujahid hanya tersenyum sembari menggandeng Iin di tangan Kanan dan Ira di tangan Kiri. Sementara Amil mengikutinya di sebelah Iin. Mujahid melepas sandalnya kemudian duduk melingkari makanan yang sudah siap disantap.
“Kalau tidak keberatan, Saya ingin mengajak kawankawan untuk ikut bergabung”, sembari melirik sang Ibu.
“Ooo, tidak masalah. Si Nur bawa ketupat cukup banyak, kan?”, sambil menoleh ke arah sang Menantu. Nur mengangguk mengiyakan dengan senyuman gembira.
Beberapa saat kemudian Mujahid datang bersama dua orang temannya, Ichwan dan Thalib. Mereka mengenakan sarung dan baju taqwa yang dibawa oleh Pak Bisri dari Lamongan. Saat mereka asyik menikmati kupat lebaran itu, tiba-tiba Iin nyeletuk,
“Abah kapan pulang? Iin mau sekolah, Bah, kayak Kak Ira dan Mas Amil”.
Mujahid terdiam sejenak, lalu dengan senyum penuh kasih sayang Ia menoleh ke arah si Bungsu,
“Abah segera pulang, asal Kamu tidak nakal”, jawabnya sambil membelai-belai rambut Anak bungsunya itu. Saat mereka asyik bercakap-cakap, petugas tadi datang kembali,
“Bu, sudah satu jam”, katanya pada Nur. Nur segera menyodorkan satu lembar uang seratus ribuan. Bu Bisri yang menyaksikan tampak bengong.
“Loh, jadi tikar itu sewa, toh?”, komentarnya spontan.
“Begitulah, Bu! Disini mana ada yang gratis”, jawab Nur cuek.
(Bersambung…..)
EDITOR: REYNA
Bagi yang berminat dengan karya-karya novel Dr Muhammad Najib dapat mencari bukunya di Google Play Books Store, melalui link dibawah ini:
Judul Novel: Di Beranda Istana Alhambra https://play.google.com/store/books/details?id=IpOhEAAAQBAJ Judul Novel: Safari https://play.google.com/store/books/details?id=LpShEAAAQBAJ Judul Novel: Bersujud Diatas Bara https://play.google.com/store/books/details?id=WJShEAAAQBAJ
Related Posts
Api di Ujung Agustus (Seri 34) – Gelombang Balik
Api di Ujung Agustus (Seri 33) – Pengkhianat Didalam Istana
Api di Ujung Agustus (Seri 31) – Bayangan Kudeta Makin Nyata
Api di Ujung Agustus (Seri 30) – Jejak Jaringan Tersembunyi
Api di Ujung Agustus (Seri 29) – Jejak Operasi Tersembunyi
Api di Ujung Agustus (Seri 28) – Jantung Garuda Di Istana
Api di Ujung Agustus (Seri 27) – Jalur Rahasia Wiratmaja
Api di Ujung Agustus (Seri 26) – Bayangan Dalam Istana
Api di Ujung Agustus (Seri 25) – Garuda Hitam Membara
Api di Ujung Agustus (Seri 24) – Kartu As Gema
สล็อต ฝากถอน true wallet เว็บตรง 888pgSeptember 18, 2023 at 8:04 am
… [Trackback]
[…] There you can find 47178 more Info to that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-bersujud-diatas-baraseri-44merayakan-lebaran/ […]
morning glory seeds drugsNovember 10, 2023 at 5:50 am
… [Trackback]
[…] Find More to that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-bersujud-diatas-baraseri-44merayakan-lebaran/ […]
เช่ารถตู้พร้อมคนขับMay 10, 2024 at 7:01 am
… [Trackback]
[…] Find More on to that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-bersujud-diatas-baraseri-44merayakan-lebaran/ […]
สล็อตเว็บตรงMay 31, 2024 at 8:35 am
… [Trackback]
[…] Read More Information here on that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-bersujud-diatas-baraseri-44merayakan-lebaran/ […]
Chimney Cleaning in PflugervilleJuly 30, 2024 at 1:05 am
… [Trackback]
[…] There you can find 95351 additional Info on that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-bersujud-diatas-baraseri-44merayakan-lebaran/ […]
ติดตั้งสถานีก๊าซAugust 20, 2024 at 10:31 am
… [Trackback]
[…] Read More to that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-bersujud-diatas-baraseri-44merayakan-lebaran/ […]
phishing linksAugust 21, 2024 at 11:10 am
… [Trackback]
[…] Find More on that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-bersujud-diatas-baraseri-44merayakan-lebaran/ […]
พรมรถNovember 29, 2024 at 1:58 pm
… [Trackback]
[…] Read More here to that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-bersujud-diatas-baraseri-44merayakan-lebaran/ […]
free webcam tokensDecember 6, 2024 at 4:33 am
… [Trackback]
[…] Information on that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-bersujud-diatas-baraseri-44merayakan-lebaran/ […]
nustep t4r used for saleDecember 16, 2024 at 6:26 am
… [Trackback]
[…] Read More on to that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-bersujud-diatas-baraseri-44merayakan-lebaran/ […]