Novel “Jalur Rempah Sebagai Jembatan Timur dan Barat” karya Masterpiece Dr Muhammad Najib ini terinspirasi dari kisah Jalur Sutra atau Tiongkok Silk Road, yang kini muncul kembali dalam bentuk baru: One Belt One Road (OBOR) atau Belt and Road Initiative (BRI).
Penulis yang saat ini menjabat sebagai Duta Besar RI Untuk Kerajaan Spanyol dan UNWTO ini meyakini, Indonesia sebagai Jamrud Katulistiwa ini sebenarnya juga memiliki warisan sejarah yang bernilai. Sayangnya, kita belum mampu mengapitalisasi warisan leluhur yang dimiliki, seperti yang dilakukan Tiongkok, meski peluang Indonesia sama besarnya.
Novel ini sendiri merupakan fiksi murni. Di sini, penulis mencoba mengangkat fakta-fakta sejarah, diramu dengan pemahaman subjektif penulis sendiri terhadap situasi terkait.
Ada berbagai peristiwa sejarah di masa lalu, yang seakan terjadi sendiri-sendiri dan tidak saling berkaitan. Maka dalam novel ini, penulis berupaya merangkai semua dengan menggunakan hubungan sebab-akibat. Sehingga Novel ini menjadi sangat menarik. Ceritanya mengalir, kaya informasi, dan enak dibaca. Selamat membaca dan menikmati.
**********************************************************
SERI-13
Perang Salib di Front Pertama
“Generasi pertama berjiwa idealis dan tulus berjuang karena murni dilandasi spirit keagamaan. Semangat ini memperkuat dan menyatukan mereka, meski mereka mengalami berbagai kesulitan saat menghadapi pasukan Islam dan tantangan alam. Dari Perang Salib 2 dan seterusnya, semangat berjuang sudah bercampur dengan nafsu duniawi, seperti motif kekuasaan dan harta. Akibatnya mereka mudah goyah dan tidak solid lagi,” jelas Alfonso.
“Apa contohnya?” tanyaku penasaran.
“Pada Perang Salib 2, raja-raja Kristen Eropa, seperti Louis VII dari Prancis dan Conrad III dari Jerman, turut memimpin perang. Namun sayang, perpecahan di antara kerajaan-kerajaan itu mulai terjadi. Berbeda dengan perang pertama, pasukan Salib ke-2 ini tidak didukung oleh Kekaisaran Bizantium. Kaisar Manuel, menolak membantu karena alasan tertentu. Bizantium, yang memiliki posisi strategis secara geografis, tidak bersedia memberikan bantuan pasukan dan logistik. Bahkan pasukan Kristen tidak diperkenankan melintasi wilayahnya. Jika masuk, mereka langsung dihadang tentara Bizantium. Maka, pertempuran kerap terjadi di antara mereka yang seharusnya bersekutu. Akibat blokade Bizantium ini, tentara Salib harus melewati rute lain yang lebih sulit atau mengandalkan jalur laut dan pelabuhan untuk mencapai Yerusalem,” jelas Alfonso dengan mimik sedih.
“Mengapa Bizantium bertindak demikian?” tanyaku lagi.
“Bizantium kecewa. Ada beberapa alasan yang mendasari. Dalam Perang Salib 1, wilayah Bizantium menjadi jalur utama yang dilewati pasukan Salib menuju Timur Tengah. Namun, catatan sejarah menunjukkan ada kekacauan yang ditimbulkan oleh tentara yang tidak disiplin, seperti perampokan, penjarahan, dan tindakan tidak terpuji lainnya. Selain itu, Kaisar Bizantium berharap agar wilayahnya yang diduduki Turki Seljuk, setelah Bizantium kalah telak di Manzikert pada 1071, bisa segera kembali ke pangkuannya. Namun keinginan tersebut tidak terwujud. Manuel mencurigai raja-raja Eropa ini berambisi mengincar wilayah-wilayah strategis Bizantium yang sudah diduduki Islam itu untuk dijadikan wilayah mereka,” urai Alfonso.
“Pada Perang Salib 3, pasukan Islam dipimpin Salahuddin Al Ayubi. Orang Barat menyebutnya Saladin. Tokoh fenomenal ini berhasil mengalahkan pasukan besar tentara Salib dalam Pertempuran Hattin dan merebut Yerusalem pada 1187. Meski harus diakui bahwa ia dan pasukannya memang hebat, tapi mesti diingat bahwa perpecahan dan berbagai faktor lainnya di kalangan Kristen telah memperlemah pasukan Salib,” pungkas Alfonso.
Sebelum mengakhiri kuliah, Usted memberi penjelasan tambahan. “Ada alasan penting lain yang belum diungkap atau mungkin belum diketahui Alfonso, yakni munculnya kembali persaingan lama antara penganut Kristen yang berkiblat ke Roma dengan Kristen yang berkiblat ke Konstantinopel – yang kemudian dikenal dengan sebutan Kristen Ortodoks.”
Usai kuliah, kami menuju kantin untuk makan siang. Aku bertanya ke Alfonso bagaimana pandangannya tentang Aqabah.
“Aqabah adalah kota pelabuhan yang sangat indah dan memiliki posisi strategis. Saya jadi teringat pada mata-mata Inggris, T.E Lawrence. Saat Inggris dan sekutunya menghadapi Turki Usmani atau Ottoman di Perang Dunia I, mereka menggunakan intel ini. Lawrence berhasil mendekati para pemimpin dunia Arab dan meyakinkan mereka untuk melawan Ottoman. Para pemimpin ini merebut Aqabah, yang saat itu merupakan kota pelabuhan Ottoman di Laut Merah. Saking terkenalnya, kiprah Lawrence dijadikan film berjudul Lawrence of Arabia,” jelas Alfonso dengan mata berbinar.
“Sebaliknya, bagaimana pendapat Anda mengenai kekalahan Turki Ottoman saat itu?” Alfonso balik bertanya.
Baca Juga:
- Novel Terbaru Dr Muhammad Najib: “Jalur Rempah Sebagai Jembatan Timur dan Barat” (Seri-11): Granada, Keemiran Terakhir di Andalusia
- Novel Terbaru Dr Muhammad Najib: “Jalur Rempah Sebagai Jembatan Timur dan Barat” (Seri-12): Perang Salib di Front Pertama
“Kekalahan Turki Usmani atau Ottoman dalam Perang Dunia I sebenarnya lebih karena faktor perpecahan di kalangan umat Islam. Arab dan Turki Usmani berhasil dipecah-belah. Di kalangan bangsa Arab muncul kampanye mengusung nasionalisme Arab. Fenomena ini timbul seiring menyebarnya virus adu domba. Isunya adalah bangsa Arab telah dijajah Turki Usmani. Taktik pecah-belah ini berhasil. Sentimen anti-Ottoman berkembang, hingga akhirnya timbul pemberontakan terhadap Turki Usmani. Negara-negara Arab bersedia bekerja sama dengan Inggris. Pergolakan sengit tidak hanya terjadi di Aqabah, tapi juga di Damaskus, Beirut dan sejumlah kota penting lainnya,” jawabku perlahan.
Mendengar ini Alfonso hanya mengangguk-angguk.
“Sempat melihat Masjid Raya Damaskus?” tanyaku lagi.
“Wah… Masjid itu indah sekali dan berusia sangat tua,” ujarnya bersemangat.
“Oya, bagaimana detailnya?” tanyaku lagi.
“Mula-mula masjid ini merupakan kuil kaum pagan, yang kemudian berubah menjadi gereja. Setelah Islam menguasai Damaskus, bangunan tersebut difungsikan sebagai masjid. Hingga kini masjid itu masih merupakan masjid utama di sana. Di dekat masjid, ada makam Salahuddin Al Ayubi, yang dipandang sebagai pahlawan besar dunia Islam karena perannya dalam Perang Salib. Makamnya sangat sederhana. Para peziarah selalu datang tanpa henti untuk menghormati dan mendoakan arwah Salahuddin. Tidak jauh dari situ, ada bazar yang sangat ramai. Lokasinya cukup luas. Konon bazar ini sudah lama ada sejak Salahuddin memimpin di Damaskus. Tidak banyak perubahan yang terjadi,” ujar Alfonso panjang lebar.
“Keindahan istana, masjid dan taman-taman di Damaskus memang begitu memesona. Saking indahnya, Abdurrahman Addakhil, pendiri Bani Umayyah di Andalusia, saat berkuasa di Cordoba ingin memiliki istana dan masjd beserta taman seindah yang dilihatnya di Damaskus. Maka ia pun mendirikan banyak bangunan dan taman indah di Cordoba. Bisa jadi ini merupakan caranya untuk mengingat Damaskus, wilayah yang ia sadari tidak akan bisa dijejaknya lagi, sejak Dinasti Abbasiyah meruntuhkan Bani Umayyah di Damaskus.”
BERSAMBUNG
EDITOR: REYNA
Bagi yang berminat dengan karya-karya novel Dr Muhammad Najib dapat mencari bukunya di Google Play Books Store, melalui link dibawah ini:
Judul Novel: Di Beranda Istana Alhambra https://play.google.com/store/books/details?id=IpOhEAAAQBAJ Judul Novel: Safari https://play.google.com/store/books/details?id=LpShEAAAQBAJ Judul Novel: Bersujud Diatas Bara https://play.google.com/store/books/details?id=WJShEAAAQBAJ
Related Posts
Api di Ujung Agustus (Seri 34) – Gelombang Balik
Api di Ujung Agustus (Seri 33) – Pengkhianat Didalam Istana
Api di Ujung Agustus (Seri 31) – Bayangan Kudeta Makin Nyata
Api di Ujung Agustus (Seri 30) – Jejak Jaringan Tersembunyi
Api di Ujung Agustus (Seri 29) – Jejak Operasi Tersembunyi
Api di Ujung Agustus (Seri 28) – Jantung Garuda Di Istana
Api di Ujung Agustus (Seri 27) – Jalur Rahasia Wiratmaja
Api di Ujung Agustus (Seri 26) – Bayangan Dalam Istana
Api di Ujung Agustus (Seri 25) – Garuda Hitam Membara
Api di Ujung Agustus (Seri 24) – Kartu As Gema
No Responses