Novel “Jalur Rempah Sebagai Jembatan Timur dan Barat” karya Masterpiece Dr Muhammad Najib ini terinspirasi dari kisah Jalur Sutra atau Tiongkok Silk Road, yang kini muncul kembali dalam bentuk baru: One Belt One Road (OBOR) atau Belt and Road Initiative (BRI).
Penulis yang saat ini menjabat sebagai Duta Besar RI Untuk Kerajaan Spanyol dan UNWTO ini meyakini, Indonesia sebagai Jamrud Katulistiwa ini sebenarnya juga memiliki warisan sejarah yang bernilai. Sayangnya, kita belum mampu mengapitalisasi warisan leluhur yang dimiliki, seperti yang dilakukan Tiongkok, meski peluang Indonesia sama besarnya.
Novel ini sendiri merupakan fiksi murni. Di sini, penulis mencoba mengangkat fakta-fakta sejarah, diramu dengan pemahaman subjektif penulis sendiri terhadap situasi terkait.
Ada berbagai peristiwa sejarah di masa lalu, yang seakan terjadi sendiri-sendiri dan tidak saling berkaitan. Maka dalam novel ini, penulis berupaya merangkai semua dengan menggunakan hubungan sebab-akibat. Sehingga Novel ini menjadi sangat menarik. Ceritanya mengalir, kaya informasi, dan enak dibaca. Selamat membaca dan menikmati.
Foto Ilustrasi: Jalur Sutra (garis merah), jalur Rempah (garis biru)
**********************************************************
SERI-19
Malaka, Gerbang Nusantara
“Kabar kemakmuran Malaka atau Melayu Malaka sebagai kota pelabuhan dan pusat perdagangan rempah-rempah rupanya sampai ke telinga Raja Portugal, Manuel I. Maka Raja mengutus Admiral Diogo Lopes de Sequeira guna membangun persekutuan dagang dengan penguasa setempat. Sequeira tiba di Malaka pada 1509 dan menjadi orang Eropa pertama yang menginjakkan kaki di Malaka sekaligus di Asia Tenggara. Mula-mula kedatangannya disambut baik oleh Sultan Mahmud Syah. Namun persaingan antara pedagang Islam dan Kristen tak terelakkan. Para pedagang asal Goa, India, menggalang dukungan dari komunitas pedagang Muslim antarbangsa. Mereka berhasil meyakinkan Sultan Mahmud untuk menempatkan Portugis sebagai ancaman. Empat kapal Portugis yang sedang bersandar di Pelabuhan Malaka akhirnya harus melarikan diri untuk menghindari konfrontasi yang tidak seimbang. Kemudian pada 1510 Portugis berhasil menundukkan Goa, India, di bawah pimpinan Laksamana Alfonso de Albuquerque. Sang Laksamana lalu meneruskan ekspedisinya ke Malaka. Ia membawa 1.200 prajurit, yang diangkut dengan 17 kapal. Albuquerque meminta izin kepada Sultan Malaka untuk membangun benteng Portugis di kota itu. Sultan Mahmud Syah menolak tegas. Pertempuran pun tak terhindarkan. Setelah bertarung selama 40 hari, Sultan Mahmud Syah dan seluruh abdinya harus meninggalkan Malaka. Sejak itu, Portugis mengendalikan kota pelabuhan ini. Mereka membangun benteng pertahanan yang sangat kokoh. Sejak saat itu pula berkali-kali Sultan Mahmud Syah berupaya merebut kembali Malaka. Meski dibantu beberapa kesultanan Islam lain di Nusantara, ia tetap gagal mendepak Portugis.”
“Dari Jawa, yang paling kuat perlawanannya menghadapi Portugis adalah Kesultanan Demak dan wilayah bawahannya, Jepara. Raden Patah, Sultan pertama Demak mengutus anaknya, Pati Unus, untuk menyerang Malaka pada 1513. Lalu, saat Raden Patah wafat, Pati Unus atau Pangeran Sebrang Lor menjadi Sultan Demak kedua. Ia kembali menyerbu Portugis tahun 1521. Namun kali ini ia bernasib nahas. Pati Unus tewas di Malaka. Ia digantikan saudaranya, Trenggono, sebagai Sultan Demak ketiga. Trenggono, yang dinilai sebagai Sultan Demak terbesar, mengirim Fatahillah untuk menyerang Portugis. Serangan ini tidak ke Malaka, melainkan ke Sunda Kalapa. Sultan Trenggono memiliki anak perempuan bernama Ratu Retno Kencono. Ia lebih dikenal dengan nama Ratu Kalinyamat, yang menikah dengan Adipati Jepara, Sultan Hadirin. Ratu Kalinyamat menjadi penguasa Jepara setelah sang suami ditewaskan oleh Arya Penangsang. Tahun 1551, Ratu Kalinyamat mengirim 5.000 prajurit yang diangkut dengan 40 kapal untuk menyerang Portugis di Malaka. Serbuan ini gagal. Tahun 1574 Ratu Kalinyamat kembali menyerang Portugis. Kali ini ia mengirim 300 kapal perang, dan 15 ribu prajurit. Meski tidak berhasil mengusir Portugis, pasukannya berhasil membuat pertahanan Portugis porak-poranda. Karena kekuatannya, Kalinyamat menjadi sosok yang ditakuti. Portugis menyebutnya sebagai ‘Rainha de Jepara Senora de Rica’ atau si Ratu Jepara, sang perempuan penguasa dan kaya raya.”
“Aceh juga tidak kurang garangnya terhadap Portugis. Dalam catatan sejarah, Aceh sekali pun tidak pernah mau menerima kehadiran Portugis. Beberapa kali Portugis mencoba menduduki Aceh tapi selalu mendapat perlawanan sengit. Tahun 1537 Aceh balik menyerbu Portugis di Malaka. Tahun-tahun berikutnya Aceh masih kembali menyerang. Misalnya, tahun 1567 Sultan Husain Ali Riayat Syah mengerahkan angkatan lautnya. Meski tidak berhasil merebut Malaka, namun pasukannya mampu menjebol benteng Portugis yang dikenal sangat kokoh. Tahun 1629 Iskandar Muda mengirim ratusan kapal menyerbu Malaka. Meski sempat membuat Portugis kewalahan, tapi akhirnya situasi berbalik dan Portugis berhasil menghancurleburkan armada Aceh. Menurut catatan Portugis, seluruh kapal Iskandar Muda dihancurkan dan sekitar 19.000 prajurit tewas.”
Setelah membaca makalahku, Usted memintaku menceritakan sejumlah peristiwa mengenai ekspedisi Portugis di Nusantara.
“Setelah menduduki Malaka tahun 1511, Portugis melanjutkan ekspedisinya ke sejumlah wilayah Nusantara. Tahun 1512 Portugis berhasil tiba di Ternate. Mereka diperbolehkan membangun pos dagang di sana. Dari sini Portugis bergerak menuju Sulawesi dan berhasil menjalin hubungan dagang dengan Kesultanan Gowa, yang berkedudukan di Kota Makassar saat ini. Portugis juga menuju Nusa Tenggara Timur, khususnya Pulau Timor, kemudian ke barat menyusuri pesisir Utara Pulau Jawa. Sejauh Portugis berkeinginan mengembangkan misi dagang berdasarkan prinsip saling menguntungkan, mereka diterima dengan baik oleh kesultanan atau kerajaan Islam setempat,” ujarku menggarisbawahi.
“Adakah provokasi Portugis yang membuat kerajaan lain terganggu?” tanya Usted.
“Tahun 1527, Armada Portugis – terdiri dari enam kapal jenis galleon atau galiung, yang dilengkapi 21-24 pucuk meriam serta 600 prajurit bersenjata lengkap – mendekati Pelabuhan Sunda Kelapa atau dalam dialek Sunda disebut Sunda Kalapa. Namun Portugis tidak menyangka bahwa merekalah yang malah dipukul mundur. Lima tahun sebelumnya, tepatnya 21 Agustus 1522, Portugis dan Kerajaan Sunda Hindu, yang berpusat di Pajajaran, membuat sebuah padrao – perjanjian dalam bentuk prasasti berbentuk tugu batu. Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa Portugis boleh membangun loji – kompleks perkantoran sekaligus perumahan yang dilengkapi dengan benteng – di Sunda Kalapa. Raja Sunda juga akan memberikan Portugis 1.000 keranjang lada sebagai tanda persahabatan. Sebagai gantinya, Sunda Kalapa menerima komoditas yang diperlukan dari Portugis. Perjanjian ini ternyata ditanggapi berbeda oleh beberapa kesultanan Islam. Kerajaan Demak, yang merupakan kerajaan Islam pertama di Nusantara, menganggap bahwa perjanjian persahabatan Sunda-Portugal tersebut merupakan bentuk provokasi dan ancaman baginya. Saat itu Kerajaan Demak sedang berada di era keemasan, di bawah pimpinan SultanTrenggono. Lantas, Sultan Demak ini menugaskan Fadhillah atau Maulana Fadhillah untuk merebut Sunda Kalapa dari Portugis. Pada tanggal 22 Juni 1527, pasukan gabungan Demak-Cirebon di bawah pimpinan Fadhillah berjaya merebut Sunda Kalapa. Sesudah berhasil mendepak Portugis, Fadhillah, yang lahir di Samudra Pasai, memperoleh gelar baru: Fatahillah, artinya ‘kemenangan dari Allah’. Orang Portugis menyebutnya Falatehan. Atas prestasinya itu, laksamana pasukan Cirebon yang juga adik ipar dari Sultan Demak ini, diangkat oleh sang Sultan sebagai pemimpin Sunda Kalapa. Nama Sunda Kalapa diubah menjadi Jayakarta, yang artinya Kota Kemenangan.”
“Bagaimana dengan daerah lainnya?” tanya Usted.
“Melihat Portugis yang ternyata memiliki niat buruk, maka daerah lain menjadi lebih waspada. Portugis sendiri melakukan intervensi berbeda-beda tergantung kondisi yang dihadapinya. Misalnya, Portugis melakukan campur tangan dalam perebutan kekuasaan lokal, menyebarkan agama negaranya ke masyarakat setempat, serta menjalankan persaingan dagang yang tidak sehat,” Aku menjelaskan sembari menunggu respons Usted lagi.
Baca Juga:
- Novel Terbaru Dr Muhammad Najib: “Jalur Rempah Sebagai Jembatan Timur dan Barat” (Seri-17): Perang Salib di Front Ketiga
- Novel Terbaru Dr Muhammad Najib: “Jalur Rempah Sebagai Jembatan Timur dan Barat” (Seri-18): Hubungan Perang Salib dengan Rempah-Rempah
“Bisa diberikan contoh?” tanyanya.
“Hubungan Portugis dengan Kesultanan Ternate yang semula sangat baik menjadi retak, bahkan berubah menjadi konflik berdarah disebabkan campur tangan Portugis dalam politik internal istana,” jawabku perlahan.
“Apakah ada hal tertentu yang disukai dari Portugis dan apa yang tidak disenangi?” tanya Usted kembali.
“Yang disukai, tentu saja, jika kedatangannya membawa keuntungan ekonomi bagi masyarakat setempat. Yang tidak disenangi adalah tindakan Portugis yang kerap ikut campur urusan internal kerajaan, diikuti kegiatan penyebaran agama yang dianutnya,” jawabku lugas.
Usted tampak berpikir sesaat sebelum lanjut bertanya, “Apakah Anda tahu alasan Portugis meninggalkan negerinya dan bersedia menempuh perjalanan samudra yang penuh risiko?”
“Gold atau kekayaan, Gospel atau penyebaran agama Katolik, serta Glory atau kejayaan,” jawabku mantap.
“Lalu, bangsa mana yang mengancam keberadaan Portugis di Nusantara?”
“Pertama, bangsa Spanyol saat membantu Kesultanan Tidore melawan Kesultanan Ternate. Perseteruan terbuka pecah antara Portugis dan Spanyol hingga harus dimediasi Paus. Kedua, kedatangan armada dagang Belanda,” jawabku.
“Bisa diceritakan awal mula kehadiran Belanda di Nusantara?” tanya Usted bernada menguji.
“Tahun 1606 VOC, aliansi dagang Belanda, tiba di Malaka, yang saat itu merupakan pusat administrasi dan perdagangan rempah-rempah di Asia. VOC berangkat dari Belanda tanggal 12 Mei 1605 dengan membawa 11 kapal. Tanggal 17 Januari 1607, armada ini tiba di Pelabuhan Banten. Dari Banten, mereka bertolak ke Jayakarta pada tanggal 7 Februari dan sampai pada 11 Februari 1607. Ketika itu yang memimpin armada ini adalah Admiral Cornelis Matelief de Jonge. Namun armada ini dihadang Portugis. VOC menderita kerugian besar, termasuk nyawa pasukannya. Tahun 1641, armada dagang Belanda ini kembali menyerbu Malaka. Kali ini dengan persiapan yang lebih matang, termasuk menjalin aliansi dengan penguasa sekitar, yakni Johor. Persekutuan Johor-VOC ini mampu membuat Portugis bertekuk lutut. VOC pun berhasil merebut Malaka.”
BERSAMBUNG
EDITOR: REYNA
Bagi yang berminat dengan karya-karya novel Dr Muhammad Najib dapat mencari bukunya di Google Play Books Store, melalui link dibawah ini:
Judul Novel: Di Beranda Istana Alhambra
https://play.google.com/store/books/details?id=IpOhEAAAQBAJ
Judul Novel: Safari
https://play.google.com/store/books/details?id=LpShEAAAQBAJ
Judul Novel: Bersujud Diatas Bara
https://play.google.com/store/books/details?id=WJShEAAAQBAJ

Related Posts
Api di Ujung Agustus (Seri 33) – Pengkhianat Didalam Istana
Api di Ujung Agustus (Seri 31) – Bayangan Kudeta Makin Nyata
Api di Ujung Agustus (Seri 30) – Jejak Jaringan Tersembunyi
Api di Ujung Agustus (Seri 29) – Jejak Operasi Tersembunyi
Api di Ujung Agustus (Seri 28) – Jantung Garuda Di Istana
Api di Ujung Agustus (Seri 27) – Jalur Rahasia Wiratmaja
Api di Ujung Agustus (Seri 26) – Bayangan Dalam Istana
Api di Ujung Agustus (Seri 25) – Garuda Hitam Membara
Api di Ujung Agustus (Seri 24) – Kartu As Gema
Api di Ujung Agustus (Seri 23) – Dua Api, Satu Malam
Novel Terbaru Dr Muhammad Najib: “Jalur Rempah Sebagai Jembatan Timur dan Barat” (Seri-21): Ternate dan Tidore Sebagai Pulau Rempah-Rempah Yang Diperebutkan - Berita TerbaruSeptember 30, 2023 at 5:45 am
[…] Novel Terbaru Dr Muhammad Najib: “Jalur Rempah Sebagai Jembatan Timur dan Barat” (Seri-19): Mala… […]