Novel Terbaru Dr Muhammad Najib: “Jalur Rempah Sebagai Jembatan Timur dan Barat” (Seri-2): Menyusun Proposal

Novel “Jalur Rempah Sebagai Jembatan Timur dan Barat” karya Masterpiece Dr Muhammad Najib ini terinspirasi dari kisah Jalur Sutra atau Tiongkok Silk Road, yang kini muncul kembali dalam bentuk baru: One Belt One Road (OBOR) atau Belt and Road Initiative (BRI).

Penulis yang saat ini menjabat sebagai Duta Besar RI Untuk Kerajaan Spanyol dan UNWTO ini meyakini, Indonesia sebagai Jamrud Katulistiwa ini sebenarnya juga memiliki warisan sejarah yang bernilai. Sayangnya, kita belum mampu mengapitalisasi warisan leluhur yang dimiliki, seperti yang dilakukan Tongkok, meski peluang Indonesia sama besarnya.

Novel ini sendiri merupakan fiksi murni. Di sini, penulis mencoba mengangkat fakta-fakta sejarah, diramu dengan pemahaman subjektif penulis sendiri terhadap situasi terkait.

Ada berbagai peristiwa sejarah di masa lalu, yang seakan terjadi sendiri-sendiri dan tidak saling berkaitan. Maka dalam novel ini, penulis berupaya merangkai semua dengan menggunakan hubungan sebab-akibat. Sehingga menghasilkan Novel yang sangat menarik. Ceritanya mengalir, kaya informasi, dan enak dibaca. Selamat membaca dan menikmati.

Foto Ilustrasi: Jalur Sutra (garis merah), Jalur Rempah (garis biru)

Trending

Catetan Babe Ridwan Saidi (29): China Versus Taiwan, China Baru Yaqin, Chip Is Not Cheap

**********************************************************

SERI-2

Menyusun Proposal

Suasana pandemi Covid-19 masih menghantui dunia. Tidak terkecuali Spanyol dan Indonesia. Meski demikian, lembaga pendidikan tetap dituntut berjalan. Berbagai kebijakan diambil perguruan tinggi sesuai situasi dan kondisi masing-masing saat pandemi ini merajalela. Di kampusku, ada kebijakan working from home. Hampir semua dosen dan mahasiswa, beserta karyawan, beraktivitas dari rumah. Hanya orang-orang tertentu yang boleh ke kampus. Salah satunya aku. Sebagai Kepala Perpustakaan, aku wajib hadir tiga kali seminggu. Itu pun dengan pembatasan ketat. Selama di kampus, interaksi fisik dengan siapa pun tidak diizinkan.

Jadi bisa dikatakan, selama satu tahun pertama pandemi, aktivitas kampus tidak menentu. Namun perlahan, seluruh sivitas akademika bisa beradaptasi. Bahkan tidak disangka-sangka, terjadi percepatan dalam penggunaan teknologi informasi, yang semula kurang mendapat tempat. Kuliah, seminar dan ujian dengan Zoom semakin banyak dilakukan.

Dengan cara ini pula aku berkomunikasi dengan pihak fakultas di Universidad de Madrid atau Madrid University, tempatku berkuliah S-3 nanti. Komunikasiku terbilang lancar karena calon pembimbing merupakan dosenku saat S-2 di kampus itu. Beliau sebelumnya pernah menawarkan beasiswa karena prestasiku yang dipandang memuaskan. Namun dengan berbagai pertimbangan, aku memilih pulang terlebih dahulu ke Indonesia.

Berkomunikasi dengan universitas kulakukan lewat E-mail dan WA. Di Spanyol, penggunaan WA lazim dilakukan antar mereka yang sudah akrab atau kenal lama. Sementara itu, E-mail, digunakan untuk urusan formal atau mereka yang baru kenal.

Topik proposal disertasiku sendiri terinspirasi dari Proyek One Belt One Road (OBOR) atau Belt and Road Initiative (BRI) milik Tiongkok, suatu inisiatif yang kembali muncul sebagai Jalur Sutra baru. Jika di masa lalu Tiongkok punya Jalur Sutra, maka Indonesia tercatat memiliki Jalur Rempah. Lalu, mengapa kita tidak menciptakan Jalur Rempah baru seperti Tiongkok? Tiongkok berhasil mengapitalisasi warisan leluhurnya untuk membangun ekonomi di tingkat global. Dan ini terbukti berhasil. Lalu mengapa kita tidak mencoba melakukan hal serupa? Faktor alam menjadikan Indonesia memiliki keunggulan komparatif. Dipadukan dengan sejarah panjang serta pengalaman masyarakat, Indonesia sebenarnya juga memiliki berbagai keunggulan kompetitif.

Saat aku menjalani sidang proposal di hadapan tiga dosen penguji. Salah satunya calon pembimbingku. Satu lagi dosen Sejarah, dan terakhir dosen mata kuliah Ilmu Politik dan Masalah-Masalah Global.

Proposal kutulis dalam bahasa Inggris. Namun pertanyaan bisa diajukan penguji dalam bahasa Inggris, Spanyol atau Arab. Calon pembimbingku ahli Sejarah Spanyol dan Islam. Ia menguasai bahasa Arab dan Inggris sebagai bahasa kedua. S-3 yang kuambil bertipe research – yang lazim ditawarkan oleh berbagai universitas di Eropa. Dengan ini mahasiswa bisa lebih cepat lulus dibandingkan universitas lain di Amerika atau Australia.

Dalam sidang yang berlangsung selama dua jam muncul berbagai pertanyaan.

“Apa yang Saudara pahami tentang rempah-rempah?” Calon pembimbingku, yang juga Ketua Tim Penguji, mengawali pertanyaan.

“Rempah-rempah, selain berfungsi sebagai bumbu masak, juga dimanfaatkan sebagai obat dan bahan kecantikan,” ujarku.

“Fungsi rempah-rempah sebagai bumbu masak, obat atau suplemen sudah dikenal sejak lama. Tetapi untuk ramuan kecantikan rasanya belum banyak yang memanfaatkan.” Begitu ia menjelaskan.

“Penggunaan rempah-rempah untuk kecantikan di Indonesia bervariasi di masing-masing daerah. Yang paling menonjol di Jawa dan Madura. Di Jawa ada konsep inner beauty, yakni dengan cara pijat dan meminum ramuan tradisional, yang disebut jamu. Di Bali disebut loloh. Jamu memang sangat penting bagi perempuan, khususnya mereka yang menginjak remaja. Jamu juga bermanfaat bagi ibu bersalin untuk memulihkan kondisi fisik setelah melahirkan bayi. Selain itu, jamu bisa membuat pemakainya tetap awet muda. Untuk pijat atau massage, racikan jamu digunakan sebagai pelentur otot, relaksasi sesudah bekerja keras atau setelah melakukan pekerjaan yang membuat syaraf kaku,” jelasku panjang lebar.

“Apakah Anda tahu bahwa rempah-rempah juga dapat digunakan untuk pengawet makanan?”

Aku terdiam karena memang tidak mengetahui hal ini. Aku kemudian diminta mendalami seluk-beluk rempah-rempah untuk memperkaya penelitianku. Lalu, Ketua Tim mempersilakan dosen di kanannya untuk bertanya.

 “Apa jenis rempah-rempah yang menjadi ciri khas Indonesia?”

“Cengkeh. Bahasa Inggrisnya clove,” jawabku mantap.

“Di mana banyak ditemukan?”

“Di Kepulauan Maluku Utara, terutama Pulau Ternate dan Tidore. Tetapi sejak era kolonialisme Belanda, tanaman ini juga dibudidayakan di wilayah lain, seperti Madagaskar dan Zanzibar.”

“Mmmh…. Apakah kolonialisme hanya berdampak buruk bagi Indonesia, sebagaimana banyak ditulis dalam buku-buku Pelajaran sekolah di Indonesia ?”

“Tentu tidak. Tetapi dampak buruknya memang jauh lebih banyak.”

“Bisa diberikan contoh positifnya?”

“Harga rempah-rempah melambung tinggi sehingga meningkatkan ekonomi sejumlah komunitas Masyarakat pada waktu itu.  Selain itu, kaum penjajah juga membawa jenis-jenis rempah baru.”

“Ok, cukup. Terima kasih,” ujarnya menoleh ke calon pembimbingku.

Kini giliran penguji terakhir. “Saya ingin mengetahui pemahaman Anda mengenai para penjelajah awal yang berpengaruh terhadap perdagangan, termasuk rempah-rempah. Saat itu harga komoditas ini sangat tinggi,” ujarnya sembari mencermati raut wajahku.

“Dari Eropa, ada Vasco da Gama dan Ferdinand Magellan. Keduanya berdarah Portugis. Ada pula Sebastian Elcano dari Spanyol. Sementara dari dunia Islam, ada Ibnu Batutah dari Maroko,” jawabku perlahan.

“Bisa Anda jelaskan lagi?”

Baca Selanjutnya:

• Novel Terbaru Dr Muhammad Najib: “Jalur Rempah Sebagai Jembatan Timur dan Barat” (Seri-3): Silaturahim Dengan Pak Dubes
• Novel Terbaru Dr Muhammad Najib: “Jalur Rempah Sebagai Jembatan Timur dan Barat” (Seri-4): Kuliah Pertama

“Para penjelajah Eropa biasanya mendapatkan dukungan dari penguasa sebagai sponsor tunggal. Ada perjanjian tertulis yang dinilai menguntungkan kedua belah pihak.”

“Apa yang dimaksud menguntungkan kedua belah pihak?”

“Bagi kerajaan-kerajaan Kristen di Eropa saat itu, akan ada penambahan kekayaan negara, penyebaran agama serta perluasan wilayah. Sementara bagi penjelajah, di samping ada keuntungan ekonomi, juga ada bonus kemasyhuran nama sebagai pelaut dan penjelajah unggul.”

“Apa bedanya dengan penjelajah Muslim yang namanya tadi Anda sebut?”

“Ibnu Batutah melakukannya untuk tujuan pribadi, meski ada motivasi agama – yakni menunaikan ibadah haji. Biayanya dari kantong sendiri, bukan dari sponsor tertentu yang menuntut pengembalian modal.”

“Apakah semua penjelajah berhasil mencapai tujuan?”

“Nama-nama di atas dapat dikatakan berhasil, meski mereka melakukannya dengan susah-payah – penuh tantangan dan pengorbanan.” Ujarku perlahan.

“Ok, baiklah. Cukup,” katanya mengakhiri.

Calon pembimbingku kemudian memberikan pertanyaan penutup. “Sebelum kita akhiri, apa yang ingin Anda katakan tentang Indonesia?”

“Indonesia adalah bangsa yang mendiami wilayah besar yang sangat strategis – berada di antara dua samudra, Hindia dan Pasifik; Tempat bertemunya dua bangsa besar yang memiliki peradaban sangat tua, Tiongkok dan India. Penghubung dua benua yakni Asia dan Australia. Indonesia juga tempat berlalu-lalang dan bertemunya berbagai bangsa dari penjuru dunia. Di kala itu, kapal merupakan transportasi andalan untuk orang dan barang. Bangsa Eropa, Afrika, Arab dan India, yang berada di belahan Barat, harus melewati wilayah Indonesia untuk sampai ke Tiongkok, Jepang atau Korea, yang berada di Timur. Australia dan Selandia Baru, yang terletak di wilayah Selatan, juga harus melewati Indonesia untuk sampai ke Jepang, Tiongkok, Korea atau Rusia. Kini, meski moda transportasi sudah mengandalkan pesawat, namun angkutan laut tetap berperan penting, khususnya untuk mengangkut barang-barang berukuran besar.”

Aku melanjutkan penjelasan.

“Indonesia juga memiliki tanah subur dan kaya akan sumber daya alam. Cuaca yang bersahabat betul-betul memanjakan penghuninya. Penduduk Indonesia bisa bercocok tanam sepanjang tahun. Berbagai tumbuhan dan hewan berkembang biak di sini, baik asli lokal maupun dari luar. Belum lagi kekayaan alam yang terkandung di perut bumi,  bernilai ekonomi sangat tinggi.”

“Ketika manusia menyadari bahwa bumi itu bulat, dua bangsa penjelajah awal: Portugis dan Spanyol berlomba mencari koloni baru. Mereka bergerak ke arah yang berbeda. Portugal ke Timur dan Spanyol ke Barat. Mereka kemudian bertemu di Maluku Utara, yakni Ternate dan Tidore, yang berada di bagian Timur Nusantara.”

BERSAMBUNG

Baca Juga Seri-1:

• Novel Terbaru Dr Muhammad Najib: “Jalur Rempah Sebagai Jembatan Timur dan Barat” (Seri-1) : Kembali ke Madrid

EDITOR: REYNA

Bagi yang berminat dengan karya-karya novel Dr Muhammad Najib dapat mencari bukunya di Google Play Books Store, melalui link dibawah ini:

Judul Novel: Di Beranda Istana Alhambra
https://play.google.com/store/books/details?id=IpOhEAAAQBAJ

Judul Novel: Safari
https://play.google.com/store/books/details?id=LpShEAAAQBAJ

Judul Novel: Bersujud Diatas Bara
https://play.google.com/store/books/details?id=WJShEAAAQBAJ

Related Posts