Novel Terbaru Dr Muhammad Najib: “Jalur Rempah Sebagai Jembatan Timur dan Barat” (Seri-9): Cordoba Menjadi Jantung Andalusia

Novel “Jalur Rempah Sebagai Jembatan Timur dan Barat” karya Masterpiece Dr Muhammad Najib ini terinspirasi dari kisah Jalur Sutra atau Tiongkok Silk Road, yang kini muncul kembali dalam bentuk baru: One Belt One Road (OBOR) atau Belt and Road Initiative (BRI).

Penulis yang saat ini menjabat sebagai Duta Besar RI Untuk Kerajaan Spanyol dan UNWTO ini meyakini, Indonesia sebagai Jamrud Katulistiwa ini sebenarnya juga memiliki warisan sejarah yang bernilai. Sayangnya, kita belum mampu mengapitalisasi warisan leluhur yang dimiliki, seperti yang dilakukan Tiongkok, meski peluang Indonesia sama besarnya.

Novel ini sendiri merupakan fiksi murni. Di sini, penulis mencoba mengangkat fakta-fakta sejarah, diramu dengan pemahaman subjektif penulis sendiri terhadap situasi terkait.

Ada berbagai peristiwa sejarah di masa lalu, yang seakan terjadi sendiri-sendiri dan tidak saling berkaitan. Maka dalam novel ini, penulis berupaya merangkai semua dengan menggunakan hubungan sebab-akibat. Sehingga Novel ini menjadi sangat menarik. Ceritanya mengalir, kaya informasi, dan enak dibaca. Selamat membaca dan menikmati.

Foto Ilustrasi: Jalur Sutra (garis merah), jalur Rempah (garis biru)

Trending

Pagi Ini Gunung Merapi Meletus, Semburkan Abu Vulkanik Tebal

**********************************************************

SERI-9

Cordoba Menjadi Jantung Andalusia

Aku memulai survei lapangan dengan mengunjungi Cordoba. Tempat ini merupakan ibu kota sekaligus pusat pemerintahan saat Islam berkuasa di Andalusia dan mencapai masa kejayaan selama ratusan tahun. Sebelumnya, kota ini masuk wilayah kekuasaan bangsa Visigoth, yang mengendalikan teritorinya dari Toledo.

Penguasa Muslim kemudian memindahkan ibu kota ke Cordoba. Bisa jadi karena kondisi tanah Cordoba yang datar dan subur sehingga potensial untuk dikembangkan. Secara geografis, Cordoba juga lebih dekat dengan Afrika Utara, yang memudahkan mobilisasi bantuan militer jika dibutuhkan.

Sejarah mencatat, lepasnya Cordoba bermula ketika Islam kalah dalam Perang Las Navas de Tolosa, yang dalam bahasa Arab disebut Ma’raqah al Uqab, pada tahun 1212. Keruntuhan Islam di Andalusia lalu hanya tinggal menunggu waktu. Puluhan tahun kemudian, giliran Cordoba, lalu kota lainnya direbut dari tangan Islam.

Akan halnya Cordoba, lepasnya wilayah ini menjadi pukulan telak bagi umat Islam. Cordoba bukan hanya sebagai ibukota Islam. Lebih dari itu, ia juga jantung sekaligus ruh Islam di wilayah tersebut.

Di Cordoba sekarang masih bisa ditemui sebuah bangunan religius, yang dulunya merupakan masjid terbesar dan terindah di seluruh dunia Islam pada masanya. Pada abad ke-13, saat Cordoba direbut pasukan Kristen, masjid ini difungsikan sebagai katedral.

Meski sudah ke sini beberapa kali, selalu saja ada rasa kagum dan bangga akan simbol kemegahan Islam ini. Autentisitas dan keindahan Masjid Cordoba masih menjadi inspirasi bagi masjid-masjid lain di seluruh dunia Islam. Lengkungan dan ornamennya, juga bentuk kubahnya yang unik, telah diadopsi dan ditiru di banyak masjid besar di dunia, termasuk Masjidil Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah, saat dua masjid suci tersebut direnovasi besar-besaran.

Meski selalu terpukau akan keindahan dan kemegahannya, di saat yang sama, perasaan sedih dan pilu melandaku. Semuanya bercampur-baur dan menyertai setiap langkahku menelusuri seluruh sudut masjid ini.

Seperti sebelumnya, Aku selalu berhenti dan berlama-lama berdiri di depan mihrab, tempat sang imam dahulu memimpin salat. Ada nilai magis tersendiri di sini. Sekarang di tempat ini tidak diperkenankan salat. Maka sebagai gantinya, Aku mengangkat tangan berdoa.

Tidak ingin rasanya Aku meninggalkan masjid indah ini. Namun Aku harus beranjak. Dengan perasaan berat, Aku melangkah mundur perlahan hingga ke gerbang utama.

Setelah itu, Aku melewati Sungai Guadalquivir melalui Jembatan Romawi, yang dibangun saat Romawi berkuasa di Spanyol. Dahulu, jembatan ini menjadi jalan masuk ke kompleks istana dan kota tua saat Islam berkuasa. Di ujung jembatan, ada gerbang yang dilengkapi dengan menara penjagaan, untuk mengawasi orang-orang yang keluar masuk kota tua saat itu.

Baca Juga:

• Novel Terbaru Dr Muhammad Najib: “Jalur Rempah Sebagai Jembatan Timur dan Barat” (Seri-7): Magellan dan Elcano, Penjelajah Samudra Pasifik Pertama
• Novel Terbaru Dr Muhammad Najib: “Jalur Rempah Sebagai Jembatan Timur dan Barat” (Seri-8): Perang Salib

Seiring berjalannya waktu, menara itu dinamai Torre de Calahorra, yang lalu berfungsi sebagai museum. Di dalamnya ada tampilan audio visual bagi pengunjung sehingga kita bisa menyaksikan kehidupan warga di zaman kejayaan Islam lampau di abad ke-10. Kehidupan istana, pasar, masjid, serta kegiatan belajar-mengajar tergambar di sini. Suasana rukun dan damai antar warga yang berbeda keyakinan – Islam, Kristen dan Yahudi – juga diperlihatkan.

Melihat seriusnya Aku memperhatikan berbagai koleksi museum, seorang pemandu turis mendekatiku. Ia lantas bertanya dalam bahasa Spanyol.

“Eres Musulman?” Ia bertanya apakah Aku beragama Islam.

“Si,” jawabku.

“De donde eres?” tanyanya lagi menanyakan asalku.

“Indonesia,” jawabku lagi.

Mendengar ini wajahnya sontak berbinar. Ia mengatakan Indonesia adalah negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Masyarakat Muslimnya sangat baik. Ia kemudian memperkenalkan diri. Namanya Mehdi. Keluarganya berasal dari Maroko. Tetapi ia lahir dan besar di Spanyol.

Aku lalu menyatakan pendapatku tentang arti penting museum ini.

“Benar sekali. Meski demikian, tidak banyak pelancong Muslim yang datang ke Cordoba mau menyempatkan diri ke museum ini,” ujarnya dengan mimik sedih.

“Nanti saya bantu untuk mempromosikannya,” ujarku setengah menghibur, lalu mengucapkan adios.

“Hasta luego,” balasnya tersenyum.

Aku meneruskan perjalanan. Kakiku melangkah menyusuri jalan-jalan kota tua yang sempit. Pelancong manca negara lalu-lalang di jalan. Tak ketinggalan pula turis lokal.

Setelah melewati empat belokan, Aku sampai di Casa Arabe. Casa Arabe berarti Rumah Arab. Bangunan tua ini cukup luas dan memiliki arsitektur khas Arab yang unik dan indah. Di sini juga ada taman bernuansa Arab, yang dilengkapi air mancur dan tanaman melati yang wangi. Melati cantik ini ditata sedemikian rupa sehingga untaiannya terjuntai menutupi sebagian dinding.

Di bagian dalam Casa Arabe terdapat perpustakaan dan ruang seminar yang sangat modern, meski tidak besar, berkapasitas 50 orang. Dari brosur wisata yang kubaca, ada informasi bahwa Casa Arabe merupakan museum.

Aku mendekati seorang penjaga.

“Que tal?” kataku menyapa.

“Como te ayudo?” jawabnya menawarkan bantuan.

“Kapan museum ini berdiri?” tanyaku.

“Tempat ini belum lama menjadi museum. Tapi bangunan ini sendiri sudah berdiri lama dan merupakan salah satu warisan kejayaan Islam di sini,” jelasnya.

“Bagaimana ceritanya hingga menjadi museum?”

“Di era demokrasi timbul kesadaran tentang pentingnya menjaga toleransi di masyarakat Spanyol yang beragam, baik dari sisi etnisitas maupun agama. Juga muncul semangat kuat untuk mengembangkan pariwisata dan mendorong pertumbuhan ekonomi.”

“Oh… begitu. Saya juga melihat ada ruang seminar di sini,” tanyaku lebih lanjut.

“Tempat ini memang kerap digunakan oleh berbagai perguruan tinggi untuk mengadakan seminar bertemakan Arab atau Islam. Berbagai komunitas Islam di sini juga sering memanfaatkannya. Misalnya untuk pameran seni.”

“Gracias,” ujarku sambil berpamitan sesudah puas dengan penjelasannya.

BERSAMBUNG

EDITOR: REYNA

Bagi yang berminat dengan karya-karya novel Dr Muhammad Najib dapat mencari bukunya di Google Play Books Store, melalui link dibawah ini:

Judul Novel: Di Beranda Istana Alhambra
https://play.google.com/store/books/details?id=IpOhEAAAQBAJ

Judul Novel: Safari
https://play.google.com/store/books/details?id=LpShEAAAQBAJ

Judul Novel: Bersujud Diatas Bara
https://play.google.com/store/books/details?id=WJShEAAAQBAJ

Related Posts