Oleh: M. Isa Ansori
Kolumnis dan Pengajar Psikologi Komunikasi dan Transaksional Analysis
Bentrok di Surabaya, Tangis di Tengah Gas Air Mata
Duduk bersimpuh seorang mahasiswa dengan cucuran darah di kening dan pelipis, sementara yang lainnya berlari dan menutupi mata mereka, karena semprotan gas air mata aparat. Sebuah cara bar bar meredamkan aksi demo, padahal demo itu dilakukan dengan cara damai. Karena kemampuan manajemen penanganan aksi aparat yang lemah dan memandang para demonstran sebagai perusuh dan musuh, maka perlakuan keras, kasar, dan cenderung brutal menjadi puluhan. Bukan hanya mahasiswa, para jurnalipun menjadi korban kebrutalan aparat.
Senin, 24 Maret 2025, langit Surabaya dipenuhi kepulan asap. Ribuan mahasiswa dari berbagai universitas memenuhi Jalan Gubernur Suryo, tepat di depan Gedung Negara Grahadi. Mereka datang bukan untuk mencari musuh, tapi untuk menyuarakan cinta—cinta pada negeri ini, cinta pada demokrasi, dan cinta pada TNI yang profesional.
Namun, cinta mereka dibalas dengan pentungan dan gas air mata.
Di tengah barisan mahasiswa yang berorasi, tiba-tiba terdengar suara tembakan gas air mata. Kepanikan terjadi. Mata perih, napas tersengal, tapi kaki-kaki mereka tetap berdiri. Jaket almamater yang biasanya menjadi simbol kebanggaan kini dipenuhi noda tanah dan air mata.
“Lawan! Jangan takut! Kita berdiri di atas kebenaran!” teriak seorang mahasiswa dari atas mobil komando.
Tapi aparat terus merangsek. Bentrokan pecah. Beberapa mahasiswa terjatuh, ada yang tersungkur terkena pentungan, ada yang diseret ke dalam kendaraan taktis. Meski tubuh mereka dihantam, suara mereka tetap menggema:
“TNI milik rakyat, bukan alat kekuasaan!”
Adegan serupa terjadi di berbagai kota: Malang, Yogyakarta, Semarang, dan banyak daerah lain. Mahasiswa yang memperjuangkan demokrasi menghadapi represi yang menyakitkan.
Cinta Kami pada TNI, Kegelisahan Kami pada Negeri Ini
Tidak ada mahasiswa yang membenci TNI. Mereka mencintai para prajurit yang gagah di perbatasan, yang bertaruh nyawa menjaga kedaulatan negara. Mereka mengagumi disiplin dan patriotisme tentara yang melindungi rakyat dari ancaman asing.
Tapi mereka juga tahu, sejarah mencatat bahwa ketika militer dibiarkan masuk ke ranah sipil, demokrasi yang diperjuangkan dengan susah payah bisa terancam.
“Kami ingin TNI tetap profesional, tetap menjadi kebanggaan rakyat, bukan alat politik!” seru seorang mahasiswa yang kakinya berdarah akibat bentrokan.
Kegelisahan mereka nyata.
Mereka melihat bagaimana kekuasaan yang tak terbatas bisa mengikis demokrasi. Mereka takut, kalau hari ini tentara masuk ke 14 kementerian, besok apakah mereka akan kembali mengatur kehidupan sipil seperti di masa Orde Baru? Apakah perbedaan pendapat akan kembali dianggap sebagai ancaman negara?
Mereka bertanya-tanya, apakah 26 tahun reformasi hanya akan menjadi ilusi?
Pak Prabowo, Dengarlah!
Pak Prabowo, Anda pernah menjadi bagian dari sejarah. Anda tahu bagaimana rasanya berada di garis depan, baik di medan tempur maupun di politik.
Tapi hari ini, lihatlah rakyat yang bersuara. Lihatlah mahasiswa yang terluka di jalanan.
Mereka bukan musuh Anda. Mereka adalah generasi yang akan mewarisi negeri ini. Jangan biarkan mereka tumbuh dalam ketakutan akan kembalinya otoritarianisme.
Pak Prabowo, jika Anda benar-benar mencintai Indonesia, dengarkanlah suara mereka. Jangan jadikan militer sebagai alat untuk menekan rakyat. Jadikanlah militer sebagai kebanggaan bangsa—profesional, netral, dan tetap berada dalam jalurnya sebagai penjaga kedaulatan, bukan sebagai pemain politik.
Pak Prabowo! Jangan biarkan mereka yang ada di sekelilingmu para opportunis menurutmu dari belakang dengan mengembangkan narasi sesat bahwa demo ini ditunggangi, dibayar oleh para mafia, sebuah tuduhan keji yang hanya akan membuatmu ditinggal oleh rakyat, mereka para opportunis itu berlindung kepadamu, ketika masih dianggap manis mereka akan bersamamu, tapi engkau sudah tak lagi bisa diambil manisnya, engkau akan ditinggalkan, ingat nasib Soeharto, juga seperti itu. Kembalilah bersama rakyat, karena dari rahim mereka engkau dilahirkan.
Kami, rakyat dan mahasiswa, hanya ingin satu hal: Indonesia yang demokratis, adil, dan bebas dari bayang-bayang masa lalu. Keberanianmu keluar dari cengkraman masa lalu ditunggu rakyat. Saatnya engkau buktikan janjimu akan timbul tenggelam bersama rakyat.
Gerbang Surabaya, 25 Maret 2025
EDITOR: REYNA
Related Posts
Berjihad Melawan Korupsi, Menyelamatkan Hak Anak Indonesia Menuju Indonesia Emas
Habib Umar Alhamid: Prabowo Pantas Ajak TNI dan Rakyat untuk Bersih-bersih Indonesia
HIPKA Tegas Tolak Politisasi Hukum Demi Stabilitas Pembangunan Ekonomi Kalbar
Skandal Tirak, Ketua BPD Nilai Rizky Putra “Mbah Lurah” Belum Layak Sebagai Calon Karena Belum Bebas Murni
Api di Ujung Agustus (Seri 33) – Pengkhianat Didalam Istana
Reformasi Polisi dan Kebangkitan Pemuda: Seruan Keras Dr. Anton Permana di Hari Sumpah Pemuda
Anton Permana dan Kembalinya Dunia Multipolar: Indonesia di Persimpangan Sejarah Global
PT Soechi Lines Tbk, PT Multi Ocean Shipyard dan PT Sukses Inkor Maritim Bantah Terkait Pemesanan Tanker Pertamina
ISPA Jadi Alarm Nasional: Yahya Zaini Peringatkan Ancaman Krisis Kesehatan Urban
Kerusakan besar ekosistem Gaza, runtuhnya sistem air, pangan, dan pertanian akibat serangan Israel
No Responses