Perang Dunia III di Ambang Pintu: Dr. Anton Permana Ingatkan Indonesia Belum Siap Menghadapi Guncangan Global

Perang Dunia III di Ambang Pintu: Dr. Anton Permana Ingatkan Indonesia Belum Siap Menghadapi Guncangan Global
Anton Permana (kiri) dalam Podcast Refly Harun

JAKARTA — Dalam sebuah diskusi geopolitik dan pertahanan nasional ang digelar oleh Great Institute, dan baru-baru ini viral di YouTube, pengamat geopolitik dan pertahanan Dr. Anton Permana menyampaikan pandangan tajam dan bernas mengenai ancaman global yang mengintai Indonesia. Ia menyebut dunia saat ini sedang berada di ambang Perang Dunia III, dan Indonesia belum memiliki sistem pertahanan serta kesiapan strategis yang memadai untuk menghadapinya.

Empat Titik Api Dunia Mengitari Cina

Menurut Dr. Anton, lanskap geopolitik dunia saat ini diwarnai empat titik konflik besar:

Eropa Timur (Ukraina–Rusia)

Timur Tengah (Iran–Israel)

Asia Selatan (India–Pakistan)

Asia Timur (Cina–Taiwan dan Korea Utara–Korea Selatan)

“Tiga di antaranya sudah menjadi perang terbuka,” ujarnya. “Kalau kita lihat pola besarnya, empat titik konflik ini sebenarnya mengitari raksasa Cina.”

Ia menilai bahwa Amerika Serikat—terutama di bawah kepemimpinan Donald Trump—memainkan peran strategis dalam menciptakan instabilitas global sebagai bagian dari upaya “mengembalikan kejayaan Amerika.”

“Trump itu presiden yang identik dengan perang. Ia menciptakan krisis supaya ada momentum ekonomi dan politik bagi Amerika. Motonya Make America Great Again bukan sekadar slogan, tapi strategi geopolitik,” tutur Anton.

Energi, Titik Lemah Cina, dan Skenario Gangguan

Anton menjelaskan, titik lemah Cina bukan pada militernya, tetapi ketergantungannya terhadap impor energi dari Iran dan Pakistan.

“Kalau pasokan energi Cina terganggu, ribuan industrinya akan lumpuh. Itu sebabnya kawasan Asia Selatan menjadi ladang percobaan konflik yang terus dipicu,” katanya.

Menurutnya, perang Iran–Israel yang terjadi singkat adalah hasil rekayasa geopolitik yang melibatkan tekanan diplomatik dari berbagai negara di Timur Tengah.
“Sebelum Iran berperang, Trump keliling dulu ke Timur Tengah. Perang itu tidak mungkin terjadi tanpa zona udara dibuka oleh negara-negara tertentu. Artinya ada lobi dan penekanan,” jelas Anton.

Ilustrasi: Infografis pandangan Dr Anton Permana tentang pertahan keamanan Indonesia

Indonesia Rentan, Pertahanan Udara Lemah

Masuk ke konteks Indonesia, Anton mengingatkan bahwa kerentanan terbesar bangsa ini justru berada pada aspek pertahanan udara dan laut.

“Di Australia ada 23 pangkalan rudal yang mengarah ke Indonesia dengan jangkauan sampai 2.200 km,” ungkapnya.

“Sedangkan sistem pertahanan udara kita, NASAM-2 di Teluk Naga saja baru punya jangkauan 20–30 km. Selebihnya hanya hanut titik seperti Orlicon atau Star Trek dengan jarak 7–10 km. Kalau kita diserang rudal hipersonik, bagaimana cara menangkisnya?”

Anton juga menyinggung kemampuan laut dan udara Indonesia yang masih terbatas.

“Kapal perang kita (KRI) yang sanggup ocean going dan menghadapi ombak besar jumlahnya sedikit. Sementara kapal terbesar seperti KRI Martadinata belum memiliki kemampuan surface-to-air lebih dari 200 km. Pesawat tempur kita pun masih generasi ke-4,” ujarnya.

Ia menambahkan, anggaran pertahanan Indonesia belum mencapai 1% dari PDB, jauh di bawah Singapura dan negara tetangga lain.
“Padahal minimal 3% baru bisa dikatakan ideal. Dengan kondisi sekarang, essential force kita baru terpenuhi sekitar 60%,” tegasnya.

Seruan Pembentukan Dewan Keamanan Nasional

Anton kemudian menyoroti kelemahan mendasar dalam sistem pertahanan nasional: tidak adanya forum strategis permanen yang mengintegrasikan diplomasi, intelijen, dan militer.

“Forum seperti itu tidak ada. Sekarang waktunya kita membentuk Dewan Keamanan Nasional (DKN),” katanya penuh penekanan.

Menurutnya, DKN harus menjadi lembaga strategis yang langsung berada di bawah Presiden untuk merumuskan kebijakan pertahanan, geopolitik, dan keamanan nasional secara menyeluruh.

“Selama ini kita hanya punya Sekretariat Negara dan Sekretariat Kabinet. Tapi keduanya bukan forum strategis pertahanan. Presiden sebagai kepala negara butuh infrastruktur kebijakan yang kuat untuk berbicara atas nama bangsa,” jelas Anton.

Kita Tidak Boleh Naif, Dunia Sedang Bergeser

Menutup paparannya, Dr. Anton Permana mengingatkan bahwa dunia sedang mengalami pergeseran besar dari tatanan unipolar (AS sentris) menuju multipolar, di mana kekuatan baru seperti Cina, Rusia, dan negara-negara BRICS mulai menantang dominasi Barat.

“Kita tidak boleh naif. Setiap kali dunia bergeser, negara yang tidak siap akan jadi korban. Maka Indonesia harus memperkuat early warning system, sistem pertahanan terintegrasi, dan forum kebijakan keamanan nasional,” ujarnya.

Kesimpulan

Pernyataan Dr. Anton Permana menggambarkan realitas pahit: Indonesia, dengan kekayaan strategis dan posisi geografis penting, belum siap menghadapi ancaman perang global jika benar Perang Dunia III meletus.
Dari langit hingga laut, dari politik hingga energi, Anton mengingatkan:

“Uang bukan segalanya, tapi dalam pertahanan, segalanya butuh uang. Dan yang lebih penting: butuh kesadaran politik untuk membangun kedaulatan pertahanan.”

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K