Oleh: Daniel Mohammad Rosyid
@Rosyid College of Arts
Belum lama berselang, Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS), di UINSA Surabaya melontarkan Piagam Surabaya yang salah satu isinya adalah menolak keras politik identitas, terutama pemanfaatan agama Islam dalam politik praktis. Tema AICIS 2023 itu adalah Recontextualizing Fiqh for Equal Humanity and Sustainable Peace.
AICIS 2023 adalah forum studi namun dengan menamai rumusan akhirnya sebagai Piagam Surabaya, sulit untuk menghindari kesan agenda politik dari konferensi ini. Bahkan dengan menamakannya sebagai Islamic Studies, nampak sekali agenda politik identitas yang justru hendak ditentangnya.
Thesis pokok yang diperjuangkan AICIS 2023 adalah bahwa politik harus bebas dari agama. Tempat-tempat ibadah tidak boleh berbicara politik. Jika politik adalah perjuangan untuk menjadikan nilai-nilai utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka hanya pikiran yang terlatih yang menyadari bahwa agenda ini bertentangan secara langsung dengan Pembukaan UUD45 sebagaimana disepakati para pendiri bangsa ini.
Apalagi dengan Piagam Jakarta yang para perumusnya bukan sekedar akademisi, tapi juga pemikir negarawan yang berasal dari berbagai latar belakang agama. Semangat para pendiri bangsa itu jelas : perjuangan kemerdekaan dan melawan penjajahan dalam segala bentuknya.
Sementara itu Piagam Surabaya malah mendambakan perdamaian dalam penjajahan yang berkelanjutan. Kemerdekaan tidak penting. Bukan sustainable peace, tapi sustained western dominance. Globalisasi adalah operasi bendera palsu untuk melestarikan dominasi Barat atas dunia ketiga.
Perang Ukraina vs Rusia makin menunjukkan Barat mulai kehilangan dominasinya saat ini. Sumber imajinasinya juga makin kering seperti dinyatakan oleh Emmanuel Macron, sehingga gravitasi dunia sedang bergeser ke Asia dengan China dan India sebagai kekuatan-kekuatan adidaya baru. Fareed Zakarya telah menggambarkan pergeseran ini sebagai A Post-American World.
Piagam Surabaya dengan demikian hanya agenda moderasi Barat yang sedang runtuh dan kehilangan relevansinya. Sasaran moderasi ini adalah Islam yang menurut sejarah adalah sumber pikiran dan semangat melawan penjajahan. Mungkin setelah gagal meng-aborigin-kan bangsa Indonesia, stratagi yang paling masuk akal adalah memoderasikan Islam dengan jalan menjauhkan Islam dari politik.
Ingatan kebangkrutan VOC melawan Diponegoro kini menghantui Barat. Bertema Rekontekstualisasi Fiqh demi Kesetaraan Kemanusiaan dan Perdamaian Berkelanjutan, sayang sekali banyak eks-IAIN saat ini justru menjadi corong Christiaan Snouck Hurgronje.
Jatingaleh, Semarang, 5 Mei 2023
Related Posts

Perang Dunia III di Ambang Pintu: Dr. Anton Permana Ingatkan Indonesia Belum Siap Menghadapi Guncangan Global

Dr. Anton Permana: 5 Seruan Untuk Presiden Prabowo, Saat Rakyat Mulai Resah dan Hati Mulai Luka

Menyikapi UUD 18/8/1945

Rocky Gerung: 3 Rim Karatan di Kabinet Prabowo

Novel “Imperium Tiga Samudra” (Seri 2) – Langit di Atas Guam

Setahun Rezim Prabowo, Perbaikan atau Kerusakan Menahun?

Serial Novel “Imperium Tiga Samudra” (1) – Peta Baru di Samudra Pasifik

Dalam Semangat Sumpah Pemuda Mendukung Pemerintah dalam Hal Pemberantasan Korupsi dan Reformasi Polri

Anton Permana dan Kembalinya Dunia Multipolar: Indonesia di Persimpangan Sejarah Global

Syahadah: Menjadi Saksi Dari Cahaya Yang Tak Bernama



pgslotDecember 6, 2024 at 10:50 am
… [Trackback]
[…] Info on that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/piagam-surabaya-corong-snouck-hurgronje/ […]
cinema ruleDecember 29, 2024 at 7:32 pm
… [Trackback]
[…] Find More here to that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/piagam-surabaya-corong-snouck-hurgronje/ […]