C. Potensi Kecacatan UU OL Cipta Kerja
Banyak kalangan menilai adanya kecacatan UU OL Ciker, baik menyangkut aspek substansi materiil maupun prosedural formil.
Menyoal cacat hukum, sesungguhnya dapat dibagi menjadi dua, yakni cacat materiil dan cacat formil yang kemudian terhadap dugaan cacat hukum ini dapat diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
Pengujian secara materiil adalah pengujian yang berkaitan dengan isi atau substansi dari suatu undang-undang. Sementara pengujian secara formil adalah pengujian yang berkaitan dengan apakah proses pembuatan undang-undang telah sesuai atau tidak dengan prosedur yang ditetapkan.
1. Dugaan Cacat Formil
Materi sudah diuraikan di muka, sedang dari aspek formal pembentukan UU ini prosesnya tidak dilakukan sebagai mana pembentukan UU, khususnya kurangnya partisipasi publik dan tata tertib pengesahannnya misalnya dalam rapat paripurna pengesahannya tidak ada materi UU yang diserahkan kepada anggota Dewan untuk dibaca dan dicermati.
Yang terjadi, hingga 7 Oktober 2020 ada pengakuan anggota Tim Perumus (Timmus) RUU Cipta Kerja bernama Ledia Amalia Hanifa belum memegang draf RUU Cipta Kerja yang telah bersih. Jika benar pengakuan mereka, maka UU Cipta Kerja ini telah diproses dengan melanggar Tata Tertib (Tatib) DPR sesuai
Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib.
Saya mengamini pernyataan Drajad H Wibowo bahwa dengan pelanggaran yang sangat fatal terhadap Tatib DPR di atas, Rapat Paripurna DPR pada 5 Oktober 2020 itu pemerintah dan DPR berarti menyetujui RUU Cipta Kerja yang berisi kertas kosong untuk disahkan.
Paripurna memang pengambil keputusan tertinggi di DPR. Namun, dengan pelanggaran yang sangat fatal terhadap Tatib DPR di atas, Rapat Paripurna DPR pada 5 Oktober 2020 itu mengesahkan naskah RUU Cipta Kerja yang berisi kertas kosong.
BACA JUGA :
2. Dugaan Cacat Materiil
Pada praktiknya, demokrasi pasti berkelindan dengan kapitalisme di negara yang menerapkan sistem hidup sekularisme. Sama-sama terlahir dari rahim sekularisme, demokrasi dikenal sebagai sistem politik/pemerintahan, adapun kapitalisme berperan sebagai sistem pengatur ekonomi.
Patut diduga RUU Omnibus Law dirancang berbasis paradigma kapitalisme. Kapitalisme menempatkan pertumbuhan ekonomi di atas segalanya. Kepentingan para kapitalis (pemilik modal) mendapatkan pelayanan terdepan. “Wajar” jika isi RUU tersebut jauh dari rasa keadilan dan kesejahteraan sosial terhadap rakyat.
Demokrasi dan kapitalisme adalah dua sisi mata uang yang tak berbeda. Kapitalisme mempersiapkan modal untuk menggulirkan demokrasi yang berbiaya tinggi. Dan demokrasi harus melengkapi peraturan dan perundang-undangan yang melanggengkan para kapitalis agar bebas mengeruk kekayaan negeri ini dan menguasai perekonomian negara.
Jadi, problematika omnibus law terjadi bukan semata akibat keserakahan manusia. Tetapi lebih dari itu, yaitu adanya sistem hidup yang memfasilitasi manusia terutama dari kalangan kaya dan berkuasa melampiaskan kerakusannya atas kelompok manusia lainnya yang lemah, baik lemah secara ekonomi maupun politik.
Ketika RUU Omnibus Law Cipta Kerja nanti lolos dan sah menjadi UU, maka posisi institusi DPR tak lebih sebagai “tukang stempel” yang berselingkuh dengan rezim untuk menghasilkan peraturan yang menguntungkan kedua belah pihak. Termasuk kepentingan kaum oligarki (investor dan korporat) yang menangguk untung dari keberadaan UU tersebut. Tepat jika Jefrey Winters menegaskan bahwa demokrasi di Indone9l)sia telah dikuasai oleh kelompok oligarki. Akibatnya sistem demokrasi di Indonesia semakin jauh dari cita-cita serta tujuan untuk menyejahterakan masyarakatnya.
Contoh Dugaan Cacat Materiil: Core..!
Saya mengindera bahwa RUU Omnibus Law ini seolah menjadi mimpi buruk bagi dunia ketenagakerjaan (baca : perburuhan). RUU ini justru menciptakan ‘penindasan baru’ bagi buruh. Beberapa hak-hak dasar buruh seperti terkait upah, uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak, status karyawan tetap (PKWTT), model karyawan kontrak (PKWTT), kesejahteraan buruh, yang sebelumnya diatur dengan cukup baik dan memperhatikan kepentingan buruh melalui UU No 13/2003, justru dikaji ulang sehingga dihilangkan atau banyak yang dihapuskan. Lihat misalnya terkait PHK dan pesangon pada Pasal 161. Pada UUK Pasal 161 disebutkan bahwa meskipun pekerja di-PHK dengan SP 1, 2 dan 3, pekerja tetap berhak mendapatkan pesangon, tetapi di UU OL CK tidak diatur lagi dan bahkan dihapuskan.
UU OL CK juga menghapuskan uang pesangon bagi pekerja/buruh yang di PHK karena peleburan, pergantian status kepemilikan perusahaan. Pekerja/buruh yang di PHK karena pergantian status kepemilikan perusahaan tidak akan diberi pesangon lagi oleh perusahaan awal, sebab hal ini sudah dihapus dalam RUU Cipta Kerja.
Perkembangan terbaru
Tirto.id 6/10/2020 mewartakan bahwa ada sekitar 35 investor global yang mewakili investasi (AUM) senilai 4,1 triliun dolar AS membuat SURAT TERBUKA kepada pemerintah Indonesia menyikapi Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja. Ke-35 investor itu berpandangan RUU yang baru saja disahkan pemerintah dan DPR ini akan merusak iklim investasi.
RUU Cipta Kerja dianggap bakal melanggar standar praktik terbaik internasional yang ditujukan untuk mencegah konsekuensi berbahaya dari aktivitas bisnis. Pada akhirnya hal ini akan menghalangi investor dari pasar Indonesia. Surat itu juga menyoroti kerangka perizinan, pemantauan kepatuhan lingkungan, konsultasi publik, dan sistem sanksi yang diyakini akan berdampak parah terhadap lingkungan, hak asasi manusia dan ketenagakerjaan. Kekhawatiran inilah yang menjadi sumber ketidakpastian yang dihindari investor.
“Selagi kami menilai perlunya reformasi aturan terkait berusaha di Indonesia, kami memiliki kekhawatiran mengenai dampak negatif pada perlindungan lingkungan hidup yang disebabkan oleh Omnibus Law Cipta Kerja,” ucap Senior Engagement Specialist Robeco Peter van der Werf dalam keterangan tertulis, Senin (5/10/2020).
Jadi, saya memandang bahwa rencana pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja patut diduga merupakan bentuk ketikadilan penguasa terhadap hak hidup dan konstitusional rakyat hingga potensi kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dinyatakan oleh ke-35 investor asing tersebut di muka.
Bersambung ke halaman berikutnya
Related Posts
Studi iklim menunjukkan dunia yang terlalu panas akan menambah 57 hari superpanas dalam setahun
Pendulum Atau Bandul Oligarki Mulai Bergoyang
“Perang” terhadap mafia dan penunjukan strategis: Analisis Selamat Ginting
20 Oktober: Hari yang Mengubah Lintasan Sejarah Indonesia dan Dunia
Vatikan: Percepatan perlombaan persenjataan global membahayakan perdamaian
Hashim Ungkap Prabowo Mau Disogok Orang US$ 1 Miliar (16,5 Triliun), Siapa Pelakunya??
Pembatasan ekspor Mineral Tanah Jarang Picu Ketegangan Baru China-AS
Penggunaan kembali (kemasan) dapat mengurangi emisi hingga 80%, kata pengusaha berkelanjutan Finlandia di Forum Zero Waste
Bongkar Markup Whoosh – Emangnya JW dan LBP Sehebat Apa Kalian
Kinerja Satu Tahun Presiden Prabowo dalam Perspektif Konstitusi
Penis Envy Mushroom Psilocybin for sale Oregon ORDecember 16, 2024 at 12:20 am
… [Trackback]
[…] Find More here to that Topic: zonasatunews.com/hukum/pierre-suteki-dugaan-cacat-hukum-pembentukan-uu-omnibus-law-cipta-kerja-apa-solusinya/ […]
แพคเกจทัวร์December 21, 2024 at 7:58 am
… [Trackback]
[…] Find More on to that Topic: zonasatunews.com/hukum/pierre-suteki-dugaan-cacat-hukum-pembentukan-uu-omnibus-law-cipta-kerja-apa-solusinya/ […]
free camsJanuary 11, 2025 at 5:19 am
… [Trackback]
[…] Find More here on that Topic: zonasatunews.com/hukum/pierre-suteki-dugaan-cacat-hukum-pembentukan-uu-omnibus-law-cipta-kerja-apa-solusinya/ […]