D. Mencari Jalan Keluar
Apabila terbukti UU OL Ciker ini cacat secara materiil maupun formil, maka implikasinya adalah pembatalan / pencabutan sebagian atau keseluruhan undang-undang tersebut. Jalan keluar lainnya juga bisa ditempuh untuk keluar dari kemelut omnibus law yaitu melalui Dekrit Presiden kembali ke UUD 1945 asli dan sekaligus pernyataan bahwa RUU Omnibus Law tidak diberlakukan hingga ada penggantian yang baru.
1. Pencabutan Melalui MK
Persoalan Tindak lanjut hasil JR di MK
Melalui UU No. 7 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 24 Tahun 2003, Ketentuan ayat (2) Pasal 59 dihapus sehingga Pasal 59 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 59
(1) Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disampaikan kepada DPR, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden, dan Mahkamah Agung.
(2) Dihapus.
Padahal, ketentuan dalam ayat 2 (UU No. 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan UU MK) itu berbunyi sbb:
“Jika diperlukan perubahan terhadap undang-undang yang telah diuji, DPR atau Presiden segera menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
Apa artinya? Sebenarnya, ayat itu ada atau tidak seharusnya tidak memengaruhi pelaksanaan Putusan MK karena ayat itu hanya menyatakan soal “perubahan UU” bukan soal “pelaksanaan putusan MK”. Hanya, sebagian orang menangkap kesan bahwa percuma mengajukan JR ke MK karena ketika menang pun tidak ada kewajiban Presiden atau DPR untuk SEGERA MENINDAKLANJUTI putusan MK dalam melakukan perubahan atas UU yang diuji. Ataukah ada makna lain dari niat penghapusan ayat itu? Apa hidden agenda atas perubahan masif dari segala macam UU kita sekarang ini? Hanya Pemerintah dan DPR yang bisa menjawabnya.
Saya pun jadi agak pesimis, karena ada fakta bahwa telah terungkap dari penelitian tiga dosen Fakultas Hukum Trisakti terkait kepatuhan konstitusional atas pengujian undang-undang oleh MK pada 2019. Dari hasil penelitian tersebut, terdapat 24 dari 109 putusan MK pada 2013-2018 atau 22,01% yang tidak dipatuhi oleh pemerintah. Sementara itu, 59 putusan atau 54,12% dipatuhi seluruhnya, 6 putusan atau 5,50% dipatuhi sebagian, dan 20 putusan lainnya atau 18,34% belum dapat diidentifikasi (katadata.co.id 28 Januari 2020). Jadi, terlalu berharap atas hasil JR MK mungkin terlalu berlebihan. Karena ternyata, semua tergantung dari political will Pemerintah.
2. Pencabutan (R) UU Melalui Perppu
Pernyataan pembatalan atau pencabutan suatu UU yang paling cepat dan murah adalah dengan Perppu jika memang telah dipenuhi syarat-syarat dikeluarkannya Perppu sebagaimana diatur dalam Pasap 22 Ayat (1) UUD NRI dan Putusan MK No. 38 Tahun 2009 (Tafsir Kegentingan Yang Memaksa) atau semua kembali kepada pertimbangan Presiden meski syarat-syaratnya kadang bisa dipaksakan seolah ada kegentingan yang memaksa atau ada istilah “kegentingan yang dipaksakan” bercermin pada keluarkannya Perppu Ormas No. 2 Tahun 2017 yang disahkan menjadi UU No. 16 Tahun 2017. Kalau secara objektif kita lihat apa yg mendesak Perppu Ormas? Tidak ada kegentingan yg memaksa, UU nya masih ada bahkan lebih demokratis (UU No. 17 Tahun 2013), jadi tidak ada kekosongan hukum. Sekali lagi, sangat benar jika penerbitan RUU sangat tergantung pada POLITICAL WILL Pemerintah.
3. Pencabutan (R) UU Melalui UU
Pencabutan melalui UU prosesnya sama dengan Pembentukan UU sebagImana diatur dalam Pasal 43 ayat 3 dan 4 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Ada 2 jenis pencabutan UU dengan UU yaitu:
(1) Pencabutan UU dengan Pengganti UU.
(2) Pencabutan UU tanpa Penggantian UU.
Namun demikian di UU No. 12 Tahun 2011 hanya mengenal Pencabutan UU dengan Pengganti UU.
BACA JUGA :
4. Demo, mogok nasional, pembangkangan publik, apakah menyelesaikan masalah?
Bagi perjuangan melawan keadilan, hasil bukanlah sesuatu yang diutamakan menjadi tujuan perjuangan. Proses menjadi penting dan di mana koordinat kita jauh lebih penting, yakni koordinat di sisi kebaikan dan kebenaran ataukah kita di sisi kebathilan? Menang kalah itu urusan Alloh, yang terpenting adalah usaha bersama para pembela kebenaran dan keadilan.
Mungkinkah kenekadan rezim legislator menyetujui bersama RUU Omnibus Law Cipta Kerja memicu distrust rakyat kepada rezim legislator dan sekaligus menunjukkan bahwa rezim legislator telah bersikap otoritarianisme? Jika iya, maka potensi terjadinya pembangkangan sipil (civil disobidience) sebagaimana dinyatakan oleh pakar HTN UGM, Arifin Mochtar sangat mungkin terjadi. Dan itu berarti dapat dimaknai akan terjadi “soft people power”.
5. Dekrit Presiden Kembali ke UUD 1945
Mungkin anda mengernyitkan dahi, kok kembali ke UUD 1945 sebagai solusi? Iya, karena dengan kembali ke UUD 1945 maka segala kekacauan akibat amandemen dapat ditata ulang. Di negeri ini harus ada Majelis yang posisinya tertinggi dengan segala kewenangannya dapat mengoreksi, mengendalikan bahkan mencabut mandat seorang presiden ketika sudah terbukti dinilai keluar dari GBHN. Presiden adalah Mandataris MPR untuk menjalankan GBHN yang ditetapkan oleh MPR. Jadi, Presiden tidak bisa berbuat semaunya sendiri karena MPR masih kuat tajinya. DPR juga akan menjadi kekuatan penyeimbang bagi Presiden sehingga prinsip check and balances dapat betul-betul dijalankan.
Dengan dekrit presiden ini, negara akan ditata ulang kembali, disesuaikan dengan tujuan awal Indonesia ini didirikan sebagai mana disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945. Mungkin agak menimbulkan rasa sakit koreksi itu, tapi ini juga jalan agar kekisruhan di negeri ini segera dapat diatasi. Terkait dengan UU Omnibus Law Ciker ini, sekaligus dalam dekrit dicantumkan pernyataan bahwa RUU Omnibus Law yang telah disepakati untuk disahkan oleh DPR dan Presiden tidak berlaku hingga ada UU penggantinya.
E. Penutup
Terkait dugaan adanya kecacatan baik dari sisi formil maupun materiil atas UU Omnibus Law Cipta Kerja tentu ada perbedaan antara pihak yang satu dengan yang lain, tergantung pula persepsi masing-masing. Analisis ini bukanlah absolut kebenarannya sehingga masih tetap perlu dikritisi bahkan difalsifikasi. Setidaknya saya hendak berusaha menyajikan hasil olah pikir saya atas pembentukan UU Omnibus Law yang terkesan terburu-buru sehingga banyak hal esensial yang terlewatkan dan berpotensi untuk dapat digugat hingga dicabut atau dibatalkan semua pasal yang dinilai terbukti melanggar Pancasila dan UUD NRI 1945. Belum lagi jika didasarkan pada aspek paradigmatik pembangunan manusia seutuhnya di Indonesia.
Tabik..!!!
Semarang, Selasa: 13 Oktober 2020
Related Posts

WMO memperkirakan 55% kemungkinan La Nina lemah dalam beberapa bulan mendatang

Faizal Assegaf Usulkan Jalur Mediasi dalam Polemik Ijazah Jokowi di Forum ILC

Gila Beneran Gila, Rakyat Masih Terpukau Panggung Drama Politik Sandiwara

Mafia Menggila, Kedaulatan Robek!

Puskesmas Bandar Diduga Lakukan Malpraktek, Kepala Puskesmas ,Terancam Dilaporkan ke Polisi

HMI Cabang Kota Semarang Mencetak Sejarah, Formateur Terpilih Hafal Al Qur’an dan Pelaksanaan Konfercab Yang Lebih Cepat

Jejak Panjang Dewi Astutik, Buron 2 Ton Sabu Yang Dibekuk di Kamboja: Operasi Intelijen Senyap Lintas Negara

Buron Penyelundup 2 Ton Sabu Senilai Rp5 Triliun Ditangkap di Kamboja

Donasi Meledak 10 Miliar dalam Sehari, Ferry Irwandi Terharu: Target 500 Juta Tembus 20 Kali Lipat

MTs Darul Hikmah Kabupaten Ngawi Menerima 280 Wakaf Al Quran Dari Singapura



Penis Envy Mushroom Psilocybin for sale Oregon ORDecember 16, 2024 at 12:20 am
… [Trackback]
[…] Find More here to that Topic: zonasatunews.com/hukum/pierre-suteki-dugaan-cacat-hukum-pembentukan-uu-omnibus-law-cipta-kerja-apa-solusinya/ […]
แพคเกจทัวร์December 21, 2024 at 7:58 am
… [Trackback]
[…] Find More on to that Topic: zonasatunews.com/hukum/pierre-suteki-dugaan-cacat-hukum-pembentukan-uu-omnibus-law-cipta-kerja-apa-solusinya/ […]
free camsJanuary 11, 2025 at 5:19 am
… [Trackback]
[…] Find More here on that Topic: zonasatunews.com/hukum/pierre-suteki-dugaan-cacat-hukum-pembentukan-uu-omnibus-law-cipta-kerja-apa-solusinya/ […]