Pierre Suteki : Enam Solusi Silang Sengkarut Omnibus Law Cipta Kerja

Pierre Suteki : Enam Solusi Silang Sengkarut Omnibus Law Cipta Kerja
Professor Suteki, Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

KETIGA : Pencabutan (R) UU Melalui UU

Pencabutan melalui UU prosesnya sama dengan Pembentukan UU sebagaimana diatur dalam Pasal 43 ayat 3 dan 4 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Ada 2 jenis pencabutan UU dengan UU yaitu:

(1) Pencabutan UU dengan Pengganti UU.
(2) Pencabutan UU tanpa Penggantian UU.

Namun demikian di UU No. 12 Tahun 2011 hanya mengenal Pencabutan UU dengan Pengganti UU.

KEEMPAT : Demo, mogok nasional, pembangkangan publik, apakah menyelesaikan masalah?

Bagi perjuangan melawan keadilan, hasil bukanlah sesuatu yang diutamakan menjadi tujuan perjuangan. Proses menjadi penting dan di mana koordinat kita jauh lebih penting, yakni koordinat di sisi kebaikan dan kebenaran ataukah kita di sisi kebathilan? Menang kalah itu urusan Allah, yang terpenting adalah usaha bersama para pembela kebenaran dan keadilan.

Mungkinkah kenekadan rezim legislator menyetujui bersama RUU Omnibus Law Cipta Kerja memicu distrust rakyat kepada rezim legislator dan sekaligus menunjukkan bahwa rezim legislator telah bersikap otoritarianisme? Jika iya, maka potensi terjadinya pembangkangan sipil (civil disobidience) sebagaimana dinyatakan oleh pakar HTN UGM, Arifin Mochtar sangat mungkin terjadi. Dan itu berarti dapat dimaknai akan terjadi “soft people power”.

Demonstrasi yang terjadi tanggal 13 Oktober 2020 sebenarnya telah berlangsung dengan baik, tertib dan lancar. Namun, keadaan menjadi mencekam setelah berakhirnya demo dari pihak PA 212, GNPF dan ANAK NKRI. Di sore hari terjadi kerusuhan hingga perkampungan, sekretariat ormas dan masjid. Tentu hal ini seharusnya tidak perlu terjadi. Jika ini berlangsung terus, maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi perlawanan warga yang meluas.

Lebih baik aparat penegak hukum juga menahan diri untuk melakukan sweeping. Apalagi tersiar berita bahwa telah terjadi penyerbuan di kantor PW GPII dan PII di Menteng 89 dan ternyata berakhir dengan menggangkut 16 orang pengurusnya. Ini menurut saya merupakan tindakan yang sudah keterlaluan. Apakah hal ini tidak akan memicu gelombang aksi penolakan yang lebih besar?

BACA JUGA :

KELIMA : Dekrit Presiden Kembali ke UUD 1945

Mungkin anda mengernyitkan dahi, kok kembali ke UUD 1945 sebagai solusi? Iya, karena dengan kembali ke UUD 1945 maka segala kekacauan akibat amandemen dapat ditata ulang. Di negeri ini harus ada Majelis yang posisinya tertinggi dengan segala kewenangannya dapat mengoreksi, mengendalikan bahkan mencabut mandat seorang presiden ketika sudah terbukti dinilai keluar dari GBHN. Presiden adalah Mandataris MPR untuk menjalankan GBHN yang ditetapkan oleh MPR. Jadi, Presiden tidak bisa berbuat semaunya sendiri karena MPR masih kuat tajinya. DPR juga akan menjadi kekuatan penyeimbang bagi Presiden sehingga prinsip check and balances dapat betul-betul dijalankan.

Dengan dekrit presiden ini, negara akan ditata ulang kembali, disesuaikan dengan tujuan awal Indonesia ini didirikan sebagai mana disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945. Mungkin agak menimbulkan rasa sakit koreksi itu, tapi ini juga jalan agar kekisruhan di negeri ini segera dapat diatasi. Terkait dengan UU Omnibus Law Ciker ini, sekaligus dalam dekrit dicantumkan pernyataan bahwa RUU Omnibus Law yang telah disepakati untuk disahkan oleh DPR dan Presiden tidak berlaku hingga ada UU penggantinya.

KEENAM : Pembentukan Omnibus Law pada Level Peraturan Pemerintah

Setelah ada Pencabutan RUU Omnibus Law, maka Perlu segera dibentuk Omnibus Law pada Grade hukum Peraturan Pemerintah, bukan pada grade UU. Mengapa? Karena lebih simpel dan tidak perlu melibatkan DPR. Yang penting adalah Pemerintah punya prinsip menyejahterakan rakyat disamping mempermudah dan memperbaiki iklim investasi. PP secara normatif tidak boleh bertentangan dengan UU. Sedangkan UU yg selama ini ada merupakan hasil dari kerja sama yang baik antara Presiden dengan DPR. Jadi mestinya sudah demokratis.

Ketika ditemukan ada UU yang tidak baik dan tidak sesuai dengan UUD mengapa Pemerintah tidak mengajukan saja Judicial Review ke MK? Jadi, ketika tidak ada upaya JR ke MK maka sebenarnya UU itu seharusnya tetap dianggap baik dan tidak harus dihapus atau dicabut ataupun dibatalkan sebagian pasal-pasalnya.

Terkait dugaan adanya kecacatan baik dari sisi formil maupun materiil atas UU Omnibus Law Cipta Kerja tentu ada perbedaan antara pihak yang satu dengan yang lain, tergantung pula persepsi masing-masing. Analisis ini bukanlah absolut kebenarannya sehingga masih tetap perlu dikritisi bahkan difalsifikasi. Setidaknya saya hendak berusaha menyajikan hasil olah pikir saya atas pembentukan UU Omnibus Law yang terkesan terburu-buru sehingga banyak hal esensial yang terlewatkan dan berpotensi untuk dapat digugat hingga dicabut atau dibatalkan semua pasal yang dinilai terbukti melanggar Pancasila dan UUD NRI 1945. Belum lagi jika didasarkan pada aspek paradigmatik pembangunan manusia seutuhnya di Indonesia.

Tabik..!!!
Semarang, Rabu: 14 Oktober 2020

EDITOR : SETYANEGARA

Last Day Views: 26,55 K
Tags: , , ,

4 Responses

  1. Ricco888January 18, 2025 at 9:11 pm

    … [Trackback]

    […] Find More Information here to that Topic: zonasatunews.com/terkini/pierre-suteki-enam-solusi-silang-sengkarut-omnibus-law-cipta-kerja/ […]

  2. สอนวิธีการดู บอลต่อ บอลรองJanuary 18, 2025 at 9:57 pm

    … [Trackback]

    […] Info on that Topic: zonasatunews.com/terkini/pierre-suteki-enam-solusi-silang-sengkarut-omnibus-law-cipta-kerja/ […]

  3. แทงบอล วอเลท คืออะไร?January 18, 2025 at 10:41 pm

    … [Trackback]

    […] Information on that Topic: zonasatunews.com/terkini/pierre-suteki-enam-solusi-silang-sengkarut-omnibus-law-cipta-kerja/ […]

Leave a Reply