Pierre Suteki: Komunisme Musuh Bersama bukan “Khilafahisme”,Sanggupkah Kita Mendeteksi Moderasi Komunisme Dalam Kebijakan Publik?

Pierre Suteki: Komunisme Musuh Bersama bukan “Khilafahisme”,Sanggupkah Kita Mendeteksi Moderasi Komunisme Dalam Kebijakan Publik?
Pierre Suteki

C. Mendeteksi Moderasi Komunisme dan Penguatannya Melalui Kebijakan Publik

Moderasi sebagai pemahaman sisi berlawanan dari radikalisasi. Moderasi berarti proses melunakkan keradikalan sesuatu pemikiran hingga sikap dan tindakan melalui berbagai sarana baik narasi maupun keputusan kongkret. Komunisme itu paham yang radikal, revolusioner juga. Keradikalan komunisme di Indonesia pasca kegagalan pemberontakannya pada 30 September 1965 dapat kita deteksi hendak dilunakkan melalui berbagai kebijakan publik berupa keputusan dan putusan kelembagaan negara. Berikut beberapa kebijakan publik yang ditengarai sebagai bentuk moderasi komunisme di Indonesia.

1. Upaya pencabutan Tap MPRS No. XXV 1966 telah dilakukan sejak Presiden Abdurrahman Wahid.

Kompasiana 30/09/2012 mewartakan bahwa Presiden Republik Indonesia ke-4, K.H. Abdulrachman Wahid atau yang popular dengan nama Gus Dur adalah presiden Indonesia pertama sejak orde baru yang mengusulkan ide objektivitas sejarah ketika ia menggulirkan wacana pencabutan TAP MPRS XXV Tahun 1966. Gus Dur mengusulkan pencabutan Ketatapan Majelis tentang pembubaran PKI dan pernyataan pelarangan pengembangan ide Marxisme itu karena dianggapnya telah usang alias out of date.

Argumen Gus Dur saat itu tidak terbaca secara utuh karena gelombang protes atas usulannya telah lebih dahulu naik melebihi keinginan luhurnya. Dari media massa sedikitnya dapat diketahui tiga alasan objektif Gus Dur. Pertama, bahwa konsep-konsep Marxisme telah dipelajari terbuka di lingkungan perguruan tinggi. Kedua, era komunis telah berakhir seiring berakhirnya negara Uni Sofiet di ujung babak perang dingin. Ketiga, dendam sejarah masa lalu harus disingkirkan demi menata kehidupan Indonesia yang lebih baik ke depan.

Presiden Gus Dur menerima banyak sekali tekanan dari kelompok-kelompok yang menantang usulannya. MUI dalam rapat pleno 21 Maret 2000 secara tegas menentang wacana yang digulirkan presiden. Hartono Mardjono, anggota DPR dari Partai Bulan Bintang menyatakan akan meminta MPR menggelar sidang istimewa jika Gus Dur mencabut TAP MPRS XXV/1966. Partai Bulan Bintang juga menyatakan ketidaksetujuan mereka atas usul Gus Dur. Demikian halnya dengan FUII yang menggelar aksi massa sepanjang jalan Merdeka Utara.

Di sisi lain, dukungan atas ide Gus Dur juga mengalir. Banyak kalangan generasi muda yang mendukung wacana presiden Gus Dur. Demikian pula dukungan yang datang dari aktivis gerakan hak asasai manusia dan lingkungan perguruan tinggi.

Sebagaimana kita ketahui, kontroversi pencabutan TAP MPRS XXV/1966 telah berakhir bersamaan dengan berakhirnya kepemimpinan presiden Gus Dur. Bahkan, pada rapat fraksi komisi B DPR RI hari Minggu 3 Agustus 2003, semua fraksi sepakat tidak mencabut TAP MPRS XXV/1966. Fraksi TNI/Polri berpendapat, pemikiran untuk mencabut atau mempertahankan ketetapan majelis itu selayaknya ditempatkan dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia dan UUD 1945.

Dalam sidang tahunan MPR 2003, ketua MPR Amien Rais menandaskan bahwa MPR telah mencapai keputusan untuk tetap mempertahankan TAP MPRS XXV/1966. Keputusan ini sekaligus merupakan penetapan MPR atas ketetapan MPRS yang terdahulu.

2. Tidak menjadikan Tap MPRS XXV 1966 sebagai Pertimbangan dalam Pembentukan RUU HIP.

Untuk apa sebenarnya RUU HIP dan RUU BPIP ini dibuat? Kecurigaan saya ternyata terbukti ketika fraksi-fraksi pengusungnya sengaja menolak dimasukkannya Tap MPRS No. XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran PKI dan larangan menganut ideologi komunisme dan marxisme-leninisme. Protes umat Islam menggema menolak RUU HIP karena penolakan Tap MPRS tersebut sebagai politik hukumnya. Perkembangan terakhir, inisiator RUU HIP setuju memasukan Tap MPRS tersebut dengan syarat agar paham lain yang mengancam dan bertentangan dengan Pancasila dicantumkan juga sebagai ideologi terlarang. Sekjen PDIP menyebut ada dua ideologi yang dimaksud, yaitu Khilafahisme dan Radikalisme.

3. Hak dipilih Diberikan Kembali, Putusan MK Perkara Nomor 011-017/PUU-I/2003.

Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/kota telah mengingkari hak warga negara untuk menyatakan keyakinan politiknya dan bertentangan Hak Asasi Manusia yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Mahkamah Konstitusi, dalam putusan akhirnya yang disampaikan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Selasa (24/2/2003) petang, menyatakan bahwa pasal tersebut tak lagi mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sehingga bekas tahanan politik dari partai terlarang seperti Partai Komunis Indonesia juga berhak dipilih dalam Pemilu. Pasal 60 huruf g UU Pemilu itu menyebutkan bahwa mereka tak diberikan hak politiknya adalah “Bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam G30S/PKI atau organisasi terlarang lainnya.” 

Telah terjadi PELONGGARAN untuk konsolidasi faham komunisme sedangkan patut diduga kegiatan mereka makin berani dan terang-terangan. Apakah negara lain yg demokratis dan menjunjung tinggi HAM juga melakukan pembatasan hak politik? Ya! Jerman (de-Nazi-sasi), Amerika Serikat (terkait Al Qaeda).

Saya sependapat dengan dissenting opinion Hakim MK Achmad Roestandi tentang pembatasan hak dipilih eks anngota PKI dan yang terlibat itu konstitusional. Di Indonesia, berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pembatasan seperti itu bisa dilakukan oleh pembuat undang-undang terhadap semua hak asasi manusia, yang tercantum dalam keseluruhan Bab XV HAK ASASI MANUSIA, kecuali terhadap hak-hak yang tercantum dalam pasal 28 I, yaitu :

a. hak hidup.
b. hak untuk tidak disiksa.
c. hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani.
d. hak beragama.
e. hak untuk tidak diperbudak.
f. hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum.
g. hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.

Pembatasan yang diatur dalam Pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak termasuk dalam salah satu hak yang disebut dalam Pasal 28 I ayat (1). Oleh karena itu
pembatasan dalam Pasal 60 huruf g tidak bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dari keterangan Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah terungkap bahwa ketika Pasal 60 huruf g dibahas telah secara mendalam dipertimbangkan alasan-alasan pembatasan tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 I ayat (1) dan Pasal 28 J ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Menurut Hakim Achmad Roestandi, pembatasan yang ditentukan oleh pembuat undang-undang sebagaimana tercantum dalam Pasal 60 huruf g bukanlah pembatasan yang bersifat permanen, melainkan pembatasan yang bersifat situasional, dikaitkan dengan
intensitas peluang penyebaran kembali faham (ideologi) Komunisme/ Marxisme-Leninisme dan konsolidasi Partai Komunis Indonesia (PKI).

Sebagaimana diketahui penyebaran ideologi komunisme dan konsolidasi PKI tidak dikehendaki oleh rakyat Indonesia, dengan tetap diberlakukannya TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 oleh MPR hingga saat ini. Menurut keterangan ahli, Dr. Thamrin Amal Tomagola, TAP MPR itu secara formal adalah sah,
karena dibuat oleh lembaga negara yang berwenang. Bahwasannya pembatasan ini bersifat situasional, dapat ditelusuri dengan semakin longgarnya perlakuan terhadap bekas anggota PKI dan lain-lain dari undang-undang Pemilu yang terdahulu ke undang-undang Pemilu berikutnya.

Dalam undang-undang Pemilu sebelumnya bekas anggota PKI dan lain-lain, bukan saja dibatasi hak pilih pasif (hak untuk dipilih), tetapi juga hak pilih aktif (hak untuk memilih). Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dibatasi hanya hak pilih pasif saja.

4. Penerbitan SKKPH oleh Komnas HAM

Antaranews.com Jatim 1 Oktober 2019 memberitakan bahwa Yayasan Pusat Kajian Komunitas Indonesia atau “Center for Indonesian Community Studies” (CICS) menyatakan keberatan terhadap penerbitan Surat Keterangan Korban Pelanggaran HAM (SKKPH) bagi orang-orang eks-Partai Komunis Indonesia (PKI).

Ketua CICS Arukat Djaswadi kepada wartawan di Surabaya menjelaskan SKKPH bagi orang-orang eks-PKI disetujui untuk diterbitkan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). 

CICS khawatir SKKPH yang telah diterbitkan nantinya dibawa ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan selanjutnya bisa menjadi jalan bagi PKI untuk kembali mendapatkan legitimasi di Indonesia. Menurut pengakuan Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965 Bedjo Untung, sampai hari ini sudah 3.000-an SKKPH yang diterbitkan.

CICS, lanjut Arukat, mempertanyakan konsekuensi dari SKKPH yang telah diterbitkan.
Jadi, melalui SKKPH, eks-PKI diakui lembaga negara sebagai korban, berarti pelaku pemberontakan 1965 bukan PKI, dengan begitu mereka bersih. Selanjutnya menuntut kompensasi, ganti rugi, rehabilitasi dan mendesak negara minta maaf, TAP MPRS XXV 1966 dicabut, akhirnya PKI hidup lagi.

Last Day Views: 26,55 K
Tags: ,

3 Responses

  1. live bdsm videosNovember 14, 2024 at 12:04 am

    … [Trackback]

    […] Here you will find 56025 more Information on that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/pierre-suteki-komunisme-musuh-bersama-bukan-khilafahismesanggupkah-kita-mendeteksi-moderasi-komunisme-dalam-kebijakan-publik/ […]

  2. free tokensDecember 15, 2024 at 4:51 am

    … [Trackback]

    […] Read More Information here on that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/pierre-suteki-komunisme-musuh-bersama-bukan-khilafahismesanggupkah-kita-mendeteksi-moderasi-komunisme-dalam-kebijakan-publik/ […]

  3. สล็อตเว็บตรง ไม่ผ่านเอเย่นต์ ฝากถอนออโต้January 19, 2025 at 2:16 pm

    … [Trackback]

    […] Read More to that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/pierre-suteki-komunisme-musuh-bersama-bukan-khilafahismesanggupkah-kita-mendeteksi-moderasi-komunisme-dalam-kebijakan-publik/ […]

Leave a Reply