Pierre Suteki: Mengulik RUU Omnibus Law CLBK di Bidang Pertanahan: Benarkah Issue Kepentingan Umum Diperluas, HGB 80 Tahun dan Penghapusan HM?

Pierre Suteki: Mengulik RUU Omnibus Law CLBK di Bidang Pertanahan: Benarkah Issue Kepentingan Umum Diperluas, HGB 80 Tahun dan Penghapusan HM?
Pierre Suteki

Oleh : Pierre Suteki, Guru Besar UNDIP Semarang

Simpang siur perbincanangan tentang pertanahan di tengah hiruk pikuk pengesahan RUU Omnibus Law CLBK (Cipta Lapangan Bisnis dan Kerja) masih terus terjadi. Di samping ada campur bawur RUU yang berbagai versi simpang siur juga disebabkan karena proses komunikasi hukum yang tidak berjalan secara lancar. Rezim legislator kurang melakukan komunikasi dengan seluruh elemen masyarakat terkait secara terbuka, jelas dan tuntas sehingga terjadi misunderstanding. Tulisan singkat berikut akan mencoba mengurai beberapa persoalan pertanahan, yakni tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, soal Amdal dalam Pengadaan Tanah dan soal HGB dan issue Penghapusan Tanah SHM.

A. Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Ada perubahan signifikan terkait dengan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, yakni soal nomenklatur “kepentingan umum” itu sendiri. Dalam UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Pasal 10 disebutkan bahwa tanah untuk kepentingan umum digunakan untuk pembangunan:

a. Pertahanan dan keamanan nasional;
b. Jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasi kereta api;
c. Waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya;
d. Pelabuhan, bandar udara, dan terminal;
e. Infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi;
f. Pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik;
g. Jaringan telekomunikasi dan informatika Pemerintah;
h. Tempat pembuangan dan pengolahan sampah;
i. Rumah sakit Pemerintah/Pemerintah Daerah;
j. Fasilitas keselamatan umum;
k. Tempat pemakaman umum Pemerintah/Pemerintah Daerah;
l. Fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik;
m. Cagar alam dan cagar budaya;kantor Pemerintah/Pemerintah Daerah/desa;

n. Kantor Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, atau Desa.

 BACA JUGA :

o. Penataan permukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah, serta perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan status sewa;
p. Prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah/Pemerintah Daerah;
q. Prasarana olahraga Pemerintah/Pemerintah Daerah; dan
r. Pasar umum dan lapangan parkir umum.

Selain tambahan huruf n, masih ada tambahan apa yang dimaksud dengan pembangunan untuk kepentingan umum dalam Pasal ini yaitu:

s. Kawasan Industri Hulu dan Hilir Minyak dan Gas yang diprakarsai dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah;

t. Kawasan Ekonomi Khusus yang diprakarsai dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah;

u. Kawasan Industri yang diprakarsai dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, pemerintah daerah, BadanUsaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah;

v. Kawasan Pariwisata yang diprakarsai dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah;

w. Kawasan Ketahanan Pangan yang diprakarsai dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah; dan

x. Kawasan pengembangan teknologi yang diprakarsai dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah.

RUU Omnibus Law CLBK tersebut menambah pengadaan lahan untuk kepentingan umum yang terkait dengan UU 41 Tahun 2009 tentang “Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan” yang prinsipnya lebih hanya menunjang kepentingan investasi, bukan kepentingan umum. Dapat dikatakan bahwa jika tidak ada prinsip kehati-hatian (precautionary principle) RUU Omnibus CLBK ini menjadi sarana untuk mengaburkan definisi-definisi kepentingan umum sehingga berbagai usaha untuk memperkaya diri sendiri atau kelompok bisnis bisa disulap dengan kedok “kepentingan umum”. Terkesan semuanya hendak diklaim sebagai kepentingan umum. Ada proyek pariwisata disebut kepentingan umum, kawasan ekonomi khusus, dan lain-lain itu masuk sebagai kepentingan umum. Jadi, kalau pengaturan pelaksanaan tidak ketat, maka banyak tanah milik adat yang berpotensi “dirampas” baik oleh negara atau pun pihak lain atas restu atau “diprakarsai” oleh pemerintah dengan dalih bagi pembangunan untuk kepentingan umum.

Selain itu, RUU ini juga memberikan memberinya kewenangan luar biasa kepada presiden untuk memanfaatkan kawasan hutan, izin pertanahan, dan lain-lain, yang kemudian bisa diatur dalam PP atau Perpres. Seluruh kewenangan daerah ditarik semua ke pusat. Hal ini dapat ditemukan dalam perubahan Pasal 8 UU No.2 Tahun 2012. Sementara sebenarnya menurut UU Otonomi Daerah, urusan pertanahan seharusnya menjadi urusan wajib atau kewenangan Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota).

BACA JUGA :

B. Perihal Pengadaan Tanah Tanpa AMDAL

Perlu dipertimbangkan adanya potensi bahaya RUU CLBK terhadap ketersediaan lahan dan sumber daya alam yang berkelanjutan. Omnibus Law berpotensi banyak bertentangan dengan peraturan-peraturan perlindungan lahan yang telah lebih dulu disahkan dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria dan UU No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Lahan.

Misalnya pada UU Pengadaan Lahan (UU No. 2 Tahun 2012) yang ditambahkan pada Pasal 19 A, B dan C RUU CLBK yang menyebutkan pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang luasnya di bawah 5 [hektare] tidak diperlukan:

(1) AMDAL,
(2) Pertimbangan teknis,
(3) di luar kawasan gambut atau sempadan pantai dan
(4) kesesuaian pemanfaatan ruang.

Dalam hal izin usaha, kita mengenal kebijakan Online Single Submission (OSS). Sebuah kebijakan yang dinilai lebih mementingkan percepatan ekonomi ketimbang pelestarian lingkungan. OSS adalah sistem perizinan usaha yang diberlakukan pemerintah mulai Juli 2018. Berkat OSS, investor dan pebisnis kini bisa mengurus izin usaha secara online, dengan praktis, tanpa harus melewati birokrasi yang berbelit-belit.

PP No.24 Tahun 2018 (tentang OSS) membolehkan Pelaku Usaha dengan Izin Usaha Berbasis Komitmen untuk melakukan pengadaan tanah, perubahan luas lahan, pengadaan peralatan dan sarana, pengadaan sumber daya manusia, penyelesaian sertifikasi, pelaksanaan uji coba produksi, dan pelaksanaan produksi, meskipun AMDAL belum dilakukan. Ketiadaan AMDAL ini dapat mengakibatkan dampak pada lingkungan hidup.

UU 32/2008 sesungguhnya sudah mengatur bahwa AMDAL merupakan syarat yang harus dipenuhi sebelum penerbitan izin usaha. Namun, sistem OSS menabrak aturan tersebut. Dengan mengatur izin berdasarkan komitmen, PP OSS ini secara jelas telah menghilangkan pentingnya substansi AMDAL. Kita mendapat kesan seolah-olah asal tidak korupsi, asal ekonomi lancar, boleh merusak lingkungan. Pola pikir demikian sangat berbahaya terhadap kelestarian lingkunangan. Selain itu, secara jangka panjang penerapannya akan berdampak pada penurunan jumlah petani, yang dapat mempengaruhi kondisi ketersediaan pangan.

Bersambung ke halaman berikutnya

Last Day Views: 26,55 K
Tags: ,

2 Responses

  1. adswarNovember 11, 2024 at 6:39 am

    … [Trackback]

    […] Read More to that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/pierre-suteki-mengulik-ruu-omnibus-law-clbk-di-bidang-pertanahan-benarkah-issue-kepentingan-umum-diperluas-hgb-80-tahun-dan-penghapusan-hmk-di-bidang-pertanahan/ […]

  2. Food RecipesDecember 28, 2024 at 2:32 am

    … [Trackback]

    […] Read More on on that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/pierre-suteki-mengulik-ruu-omnibus-law-clbk-di-bidang-pertanahan-benarkah-issue-kepentingan-umum-diperluas-hgb-80-tahun-dan-penghapusan-hmk-di-bidang-pertanahan/ […]

Leave a Reply