D. Hukum Sulit Ditegakkan Jika Polisi “Ikut Kompetisi”.
Yel-yel seperti telah disebutkan di awal artikel ini tampaknya perlu didengungkan kembali di dunia maya dan dunia nyata. Namun, bukan dalam konteks kompetisi sepakbola, melainkan dalam konteks penegakan hukum, HAM dan kompetisi politik. Dalam hal ini ada keinginan sebagian rakyat untuk secara moral “mengkritisi” kebijakan publik selama pemerintahan negara berlangsung dan banyak diinisiasi oleh perkumpulan yang bernama KAMI. Sebelumnya, khususnya pada tahun 2019 lirik tersebut disuarakan netizen sebagai imbas dari dugaan keterlibatan oknum Korps Bhayangkara dalam kontestasi politik tanah air. Pada tahun 2019 beberapa kalangan menilai bahwa netralitas aparat kepolisian yang semestinya bisa berperan sebagai wasit dalam kompetisi pilpres dipertanyakan. Apakah hal itu terbukti? Tidak ada pihak yang berusaha membuktikan keterlibatan oknum polisi dalam kompetisi pilpres 2019 tahun lalu secara tuntas.
Kini selain KAMI ada KITA (Koalisi Indonesia Tetap Aman). Mungkinkah kita bisa menebak, seandainya disuruh memilih antara KAMI dengan KITA, polisi memilih mana untuk diikuti dan diperjuangkan? Pilih KAMI atau KITA? KITA atau KAMI? Meskipun polisi itu berada di bawah Presiden, maka alangkah baiknya polisi tidak ikut kompetisi alias bersikap netral, adil, tidak berat sebelah dan fair play. Jika polisi terjebak untuk menjadi pengawal salah satu dan turut memusuhi pihak lainnya, maka polisi akan mudah untuk menjadi alat pemerintah mewujudkan “kejahatannya”. Inilah yang diawal artikel ini dikatakan police state.
Kompasiana, tertanggal 22 Maret 2019 memberitakan bahwa masih segar dalam ingatan dan jejak digitalnya pun masih belum tenggelam terlalu jauh, acara Millenial Road Safety Festival (MRSF) yang digelar Mabes Polri di beberapa daerah disisipi aktivitas politik mengarah kampanye untuk kubu petahana. Dalam event MRSF di Jawa Timur pada 17 Maret 2019 lalu misalnya, turut diputar lagu berjudul Jokowi wae (Jokowi saja). “Jokowi wae mas, Jokowi wae, ojok liyane, ojok liyane Jokowi wae (Jokowi saja, jangan yang lain),” begitu bunyi bait lagu tersebut. Diberitakan kompasiana.com bahwa dalam acara MRSF itu, sejumlah poster Jokowi juga ikut terpampang. Acara MRSF yang digelar Polda Bali juga menuai kontroversi. Pasalnya, dalam acara yang digelar di lapangan Renon, Denpasar pada 17 Februari 2019, Gubernur Bali I Wayan Koster terang-terangan berkampanye mengajak massa yang datang untuk memilih Jokowi.
Jika berita yang diturunkan oleh kompasiana.com itu benar, maka kita juga perlu waspada terhadap perkembangan moral politik bangsa atas potensi turut sertanya aparat kepolisian dalam kompetisi politik sekarang ini. Adakah polisi berada di pihak KITA? Apakah polisi juga anti terhadap kelompok yang berusaha menyuarakan kebenaran dan keadilan? Apakah polisi tidak toleran terhadap perbedaan yang diusung oleh KAMI? Jika hal itu terjawab benar, maka keadaan itu sangat irosnis. Bukankah kita kita hidup di negara yang dikenal sebagai negara demokrasi? Di negara demokrasi, perbedaan pendapat, “oposisi”, aspirasi itu wajar, dan penyamarataan pendapat itu justru kontrapoduktif dengan “unity in diversity”.
E. Penutup
Dalam masyarakat terbuka, Karl Raimund Popper pernah menyatakan bahwa kritik itu sangat penting untuk membangun, membangkitkan bangsa dan negara. Oleh penguasa kritik seharusnya tidak boleh diposisikan sebagai musuh (enemy), melainkan sparing partner yang hendak membangun negeri secara bersama. KAMI seringkali hadir sebagai sparing partner pemerintah atau rezim yang sekarang berkuasa hendaknya juga tidak diposisikan sebagai lawan yang membahayakan negara. Mereka punya hak konstitusional yang harus dilindungi. Kegiatannya diayomi oleh Polisi sebagai garda terdepan dalam harkamtibmas dan penegakan hukum. Polisi harus dapat menjamin agar seseorang dan atau kelompok orang mampu memenuhi hak asasinya, termasuk dalam menyatakan hak berkumpul dan pendapat melalui acara demo dari awal hingga acara berakhir.
Berlatarbelakang adanya dugaan keterlibatan oknum polisi dalam ajang pemilu presiden 2019, tampaknya hal itu meninggalkan luka dan trauma bagi sebagian rakyat sehingga khawatir polisi terjebak pada pilihan antara KAMI dan KITA. Khawatir polisi tidak mampu menjamin pengayoman, perlindungan terhadap para pihak bahkan terjebak ikut berkompetisi. Hal ini tentu tidak boleh dijalankan karena dapat mengarah kepada pembentukan police state. Siapkah Anda, Saya, KAMI dan KITA berdemokrasi secara dewasa dan dijauhkan dari otoritarianisme, persekusi dan intimidasi. Pak Polisi, Anda tidak ingin demokrasi di negeri ini bunuh diri kan? Maka, jangan ikut kompetisi. Sekali lagi kita teriakkan yel-yel: “Tugasmu mengayomi..Tugasmu mengayomi.. Pak Polisi..Pak Polisi jangan ikut kompetisi..!”
Tabik..!!!
Semarang, 29 September 2020
EDITOR : SETYANEGARA
Related Posts
Budaya Kita Perwakilan Musyawarah, Mengapa Pilpres Mesti One Man One Vote
Keseimbangan Sistemik: Membaca Kritik Ferri Latuhihin Kepada Purbaya
Quo Vadis Kampus Era Prabowo
Habib Umar Alhamid: Prabowo Berhasil Menyakinkan Dunia untuk Perdamaian Palestina
Api di Ujung Agustus (Seri 29) – Jejak Operasi Tersembunyi
Api di Ujung Agustus (Seri 28) – Jantung Garuda Di Istana
Api di Ujung Agustus (Seri 27) – Jalur Rahasia Wiratmaja
Kelemahan Jokowi
Api di Ujung Agustus (Seri 26) – Bayangan Dalam Istana
Tanah Yang Diwariskan Nabi Ibrahim Pada Anak-anaknya Dan Tanah Hak Suku Filistin (Palestin) Dalam Ayat-ayat Taurat
BAU iraqNovember 17, 2024 at 8:00 am
… [Trackback]
[…] Read More Info here to that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/pierre-suteki-pak-polisi-tugasmu-mengayomi-jangan-ikut-kompetisi/ […]
5 carat diamond priceNovember 19, 2024 at 6:57 am
… [Trackback]
[…] Find More here to that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/pierre-suteki-pak-polisi-tugasmu-mengayomi-jangan-ikut-kompetisi/ […]
free webcam tokensDecember 6, 2024 at 1:38 am
… [Trackback]
[…] Read More to that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/pierre-suteki-pak-polisi-tugasmu-mengayomi-jangan-ikut-kompetisi/ […]