Pierre Suteki : Problematik RUU Omnibus Law Cipta Kerja, Anti-Democratic?

Pierre Suteki : Problematik RUU Omnibus Law Cipta Kerja, Anti-Democratic?
Pierre Suteki

D. Hukum bukan hanya persoalan aturan

Orang sering lupa bahwa hukum itu merupakan sebuah bangunan yang bukan hanya dikonstruksi oleh aturan-aturan. Hukum merupakan bangunan yang terdiri atas:
(1) Segi sistem peraturannya
(2) Segi ideologinya
(3) Segi kelembagaannya
(4) Segi struktur sosialnya
(5) Segi sarana fisiknya

Dengan demikian memperbaiki kehidupan hukum di suatu negeri tidak akan pernah cukup bila hanya dititikberatkan pada reformasi di bidang peraturan hukumnya dengan mengabaikan penyangga bangunan hukum lainnya. Apakah ada jaminan ketika peraturannya baik kemudian penegakannya juga baik? Ataukah ada sebuah kepastian bila peraturan hukumnya buruk, bolong-bolong, ruwet dan berbelit lalu buruk pula kehidupan hukum di suatu negeri? Bukankah ada ungkapan bijak yang berbunyi: THE MAN BEHIND THE GUN? Jadi the man adalah penentu utama bagaimana tujuan memanfaatkan the gun itu dapat terwujud. Sebaik apa pun the gun, tetapi ketika berada di tangan the man yang buruk, maka the gun tidak mungkin efektif bahkan boleh jadi melukai dan membunuh kawan atau diri the man sendiri.

Pada tahun 1970-an, Robert B. Seidman melakukan penelitian tentang peranan lembaga informal dalam penegakan hukum di Afrika jajahan Inggris. Ketika Inggris datang ke Afrika, kehidupan hukum Afrika sangat buruk, banyak “bolong-bolong”-nya, inkonsisten, korup dan banyak intrik hukum serta politiknya. Inggris merasa tidak mungkin dalam waktu sekejap dapat dilakukan perombakan total terhadap sistem hukum di Afrika kala itu. Oleh karenanya, Inggris mencari cara untuk mengatasinya dengan menetapkan apa yang disebut dengan “English Gentlement” yang berisi karakter untuk:
(1) Tinggi hati (menjaga martabat),
(2) Tidak korup dan tidak mau disuap,
(3) Jujur dan,
(4) Adil.

Keempat karakter itulah yang menambal “bolong-bolong”-nya hukum Afrika saat itu sehingga kehidupan hukum menjadi baik meskipun yang dipakai adalah hukum yang buruk. Namun, ketika Inggris meninggalkan Afrika, kehidupan hukum Afrika menjadi terpuruk kembali.

Tigaratus tahun sebelum Masehi, Ulpianus telah menancapkan tiga prinsip utama hukum alam, yakni honeste vivere (hiduplah dengan jujur), alterum non laedere (terhadap orang lain di sekitarmu janganlah merugikan), dan suum cuique tribuere (kepada orang lain berikanlah apa yang menjadi haknya). Tiga prinsip dasar tersebut sebenarnya merupakan dasar sekalian moralitas manusia sehingga apabila ketiganya diposisikan sebagai perintah, maka perintah itu bersifat perintah yang tidak bisa ditawar-tawar oleh manusia (imperative chategories). Perintah itulah yang dapat memanusiakan manusia dan menjadikan penegak hukum yang humanis. Jujur, tidak merugikan orang lain dan adil adalah sifat-sifat penegak hukum yang humanis tersebut.

Ketika hidup ini belum sedemikian complex dan complicated, ketiga sifat itu mungkin tidak selangka dalam kehidupan sekarang yang serba instan dan interaksi antar manusia bersumbu pendek, dan suka menerabas seperti istilah yang pernah dipopulerkan antropolog Koentjaraningrat (1980).

Ada beberapa mentalitas buruk, menurut Koentjaraningrat, yang terus dipelihara sebagian besar bangsa ini dan diwariskan turun-temurun kepada generasi selanjutnya. Beberapa mentalitas buruk itu antara lain:
(1) Suka menerabas,
(2) Meremehkan mutu atau kualitas,
(3) Tidak percaya diri,
(4) Berdisiplin semu, dan
(5) Suka mengabaikan tanggung jawab.

Menerabas itu melakukan pemintasan jalan guna meraih sesuatu secara cepat atau instan. Sebagian besar masyarakat kita tidak mau mengambil jalan yang semestinya dilalui karena memakan waktu lama. Mereka berpikir untuk apa susah-susah, padahal ada jalan yang lebih mudah. Menerabas juga sering diasosiasikan dengan mentalitas yang melangkahi rambu-rambu kepatutan.

Bersambung ke halaman berikutnya

Last Day Views: 26,55 K
Tags: ,