Pilkada Dimasa Corona : Masihkah Mengutamakan Keselamatan Rakyat Sebagai Hukum Tertinggi?

Pilkada Dimasa Corona : Masihkah Mengutamakan Keselamatan Rakyat Sebagai Hukum Tertinggi?
Pierre Suteki

III. Potensi Bahaya Pilkada Serentak Jika Dilaksanakan Pada Masa Pandemi Corona

Langkah atau kebijakan pemerintah yang bersikeras untuk tetap melaksanakan agenda pesta demokrasi di tengah pandemi ini juga menyisakan kesan bahwa pemerintah seakan minim empati dan rasa kemanusiaan. Bagaimana tidak, di saat rakyat sedang mengalami berbagai kesulitan, bertarung jiwa dan raga dalam melawan wabah corona pemerintah justru lagi-lagi mengambil langkah sepihak yang terkesan mengenyampingkan keselamatan rakyat.

Pada saat rakyat diminta secara ketat untuk tidak menggelar pesta besar yang menimbulkan kerumunan di musim pendemi ini, pemerintah justru berkali-kali melakukannya. Seperti pembagian sembako di depan Istana oleh Presiden Jokowi pada beberapa waktu lalu, konser musik yang diinisiasi oleh BPIP, dan sekarang adanya agenda untuk melaksanakan pesta pilkada secara langsung. Sungguh kebijakan-kebijakan yang kontradiktif dengan apa yang menjadi tanggung jawab pemerintah sebagai pengemban amanah rakyat dan pengurus negara terutama saat menghadapi masa pandemi ini.

Di sisi lain, kebijakan untuk tetap memaksakan pesta demokrasi di 270 daerah itu juga akan berpotensi memunculkan berbagai persoalan baru. Bukan saja terkait kesehatan dan keselamatan masyarakat, tapi juga terkait proses pelaksanaan sistem demokrasi itu sendiri.

Setidaknya ada tujuh “Bahaya” yang akan dihadapi rezim, apabila pilkada langsung tetap dilaksanakan di masa pandemi corona, antara lain:

Pertama, kualitas penyelenggaraan pilkada terdegradasi, buruk. Prinsip yang dapat menjaga marwah Pilkada tidak lain berupa asas-asas pilkada khususnya JUJUR dan ADIL. Di tengah pandemi corona itu yang akan dianut adalah aliran pragmatisme, dan apalagi karena kemiskinan warga pemilih dan calon membutuhkan suara itu sering terlibat dalam transaksi ekonomi.

Kedua, keselamatan dan kesehatan warga negara terancam. Masa puncak pandemi corona hingga sekarang belum pasti. Angka infeksi penyakit masih pasang surut meskipun para warga telah menjalankan program PSBB.

Ketiga, partisipasi pengguna hak pilih rendah karena pertimbangan pandemi yang belum mereda. Salah satu kerawanan ialah tingkat partisipasi rendah lantaran tren wabah korona yang saat ini masih meningkat dan masyarakat menghindari aktivitas berkerumun. Meskipun Juru Bicara Gugus Petugas Percepatan Covid diganti, tren kejadian covid-19 beberapa hari ini ada 1.000-an orang lebih yang dinyatakan positif covid-19. Sementara itu, tingkat partisipasi rakyat dalam pemilu pada saat situasi normal tidak lebih dari 60 s/d 70 persen, apalagi di saat pandemi corona. Diperkirakan partisipasi rakyat dalam pilkada akan menurun drastis.

Keempat, transaksi jual-beli suara sangat potensial menguat. Politik transaksional pada pilkada di tengah pandemi bakal menguat lantaran kebutuhan ekonomi warga yang meningkat dan pragmatisme kandidat kepala daerah. Kandidat mungkin merasa ruang geraknya sudah semakin susah karena protokol kesehatan yang harus mereka patuhi, maka pendekatan pragmatis akan dipilih dengan akan melakukan jual-beli suara.

Kelima, Politisasi program penanganan covid-19. Khususnya para calon incumbent akan memanfaatkan kesempatan penanganan covid sekaligus untuk curi start kampanya terselubung. Misalnya, melalui pembagian bantuan negara sembako, namun diklaim sebagai bantuan pribadi, bungkusnya ada foto diri dan narasi pribadi.

Keenam, politik bumi hangus setelah jadi kepala daerah. Kesulitan-kesulitan suksesnya memenangkan calon di pilkada dapat makin mendorong pasangan pemenang dan tim suksesnya segera setelah pelantikan merapatkan barisan untuk melakukan pergantian gerbong “kabinet”. Pejabat yang mendukung akan dipertahankan atau dipromosikan. Sebaliknya, yang dianggap lawan akan dicopot atau di-nonjobkan.

Ketujuh, pebisnis democracy berpotensi marak terjadi. Meskipun pilkada serentak ini membuat para bandar politik (pebisnis democracy) kurang bisa lagi bermain di setiap daerah yang melaksanakan pilkada, namun diprediksikan masih tetap akan terjadi. Para bandar politik ini biasanya menjadi penyandang dana untuk para kontestan dengan janji imbalan proyek-proyek infrastruktur, konsesi tambang, HPH dan segala macam potensi yang bisa dikeruk dari daerah itu.

Jadi, demokrasi melalui Pilkada ini ternyata melahirkan pebisnis-pebisnis demokrasi yg tidak hanya berbisnis barang dan jasa, tanpa melihat lagi halal atau haram, tetapi lebih jauh lagi, mereka juga membisniskan demokrasi itu sendiri. Bisnis demokrasi lengkap dengan layanan purna jual dalam bentuk korupsi, manipulasi, kolusi dan saudara-saudaranya.

BACA JUGA :

Last Day Views: 26,55 K
Tags: ,

3 Responses

  1. Pakar Pidana Menyebut Pernyataan Moeldoko Dan Ganjar Ngawur, Menyebar Hoax !! - Berita TerbaruOctober 6, 2020 at 12:15 pm

    […] Pilkada Dimasa Corona : Masihkah Mengutamakan Keselamatan Rakyat Sebagai Hukum Tertinggi? […]

  2. SLOTXO168 เว็บตรงNovember 17, 2024 at 10:44 pm

    … [Trackback]

    […] Information on that Topic: zonasatunews.com/hukum/pilkada-dimasa-corona-masihkah-mengutamakan-keselamatan-rakyat-sebagai-hukum-tertinggi/ […]

  3. Telegram中文版下载December 25, 2024 at 9:19 am

    … [Trackback]

    […] Find More Info here to that Topic: zonasatunews.com/hukum/pilkada-dimasa-corona-masihkah-mengutamakan-keselamatan-rakyat-sebagai-hukum-tertinggi/ […]

Leave a Reply