Pilkada Dimasa Corona : Masihkah Mengutamakan Keselamatan Rakyat Sebagai Hukum Tertinggi?

Pilkada Dimasa Corona : Masihkah Mengutamakan Keselamatan Rakyat Sebagai Hukum Tertinggi?
Pierre Suteki

IV. Strategi Tepat Sebagai Jalan Keluar Untuk Menyelenggarakan Pilkada Serentak di Masa Pandemi Corona.

Pilkada langsung pada Desember mendatang masih diselimuti sejumlah ketidakpastian mulai dari anggaran tambahan untuk alat kesehatan atau pelindung diri, teknis penyelenggaraan, dan sosialisasi baik kepada penyelenggara di daerah dan pemilih. Maka bukankah akan lebih baik jika disarankan agar pilkada sebaiknya diundur hingga Juni 2021 agar persiapan bisa dilakukan lebih matang. Hal ini pun belum ada kepastian karena masa puncak pandemi corona hingga sekarang belum dapat ditetapkan secara pasti oleh pemerintah.

Kendati demikian, ada strategi atau jalan keluar yang bisa dilakukan ketika keputusan untuk mengadakan pilkada di tengah pandemi ini bersikeras ingin tetap dilakukan di antaranya:

Pertama, perlu adanya terobosan Hukum. Perlu diinisiasi cara pemilihan kepala daerah dan wakilnya. Kepala daerah dan wakilnya dipilih oleh DPRD. Untuk itu harus ada perubahan UU PEMILU khususnya yang mengatur PILKADA. Di samping itu perlu dipersoalkan kembali apakah Pilkada langsung mempunyai landasan konstitusional? Dalam UUD 45, Pasal18 ayat (4) tidak memerintahkan untuk melakukan pilkada langsung. Pada pasal itu hanya diterangkan bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis. Atas dasar apa kita melaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung dengan biaya yang super mahal tersebut?

Sementara kondisi objektif hari ini juga belum mampu meyakinkan masyarakat terhadap hal-hal yang diperlukan untuk bisa melanjutkan pilkada di 2020. Jadi, bila dimungkinkan bisa saja Presiden dapat menerbitkan Perppu yang berisi bahwa untuk Pilkada di Masa Pandemi Corona ini Kepala Daerah dan Wakilnya tidak dipilih secara langsung melainkan melalui DPRD terkait.

Kedua, pertimbangan anggaran untuk melaksanakan pilkada secara langsung. Mengingat biaya setiap agenda dalam Pesta demokrasi dan dalam hal ini yaitu Pilkada itu sangat mahal, maka tentu saja anggaran atau biayanya yang harus siap dikeluarkan tentunya tidaklah sedikit, terlebih-lebih dilaksanakan pada masa wabah corona ini. Seluruh tahapan pilkada tentu harus menerapkan standar pencegahan Covid-19. Ini tentu membutuhkan tambahan anggaran yang sangat banyak, antara lain untuk pengadaan alat perlindungan diri (APD) dan perlengkapan disinfeksi di 270 wilayah pemilihan yang meliputi sembilan provinsi, 37 kota, dan 224 kabupaten.

Hal tersebut telah terkonfirmasi melalui adanya permintaan anggaran tambahan sebesar Rp 4,7 triliun yang diajukan KPU. Dan itupun telah disetujui oleh DPR dan pemerintah. Selain KPU, Bawaslu dan Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu (DKPP) juga mendapatkan tambahan anggaran masing-masing sebesar Rp 478,9 miliar dan Rp 39,05 miliar. Dan tentu saja seluruh tambahan biaya ini bersumber dari APBN dan APBD. Bayangkan juga jika saja dana sebesar itu dialokasikan untuk mengatasi wabah corona tentu akan lebih bijak, dan dapat menjaga marwah pemerintah karena bisa diterima oleh logika sehat dan perasaan mayoritas masyarakat kita.

Di sisi lain, jika kita tarik dari sejarah dalam sistem pemerintahan Islam, Khilafah Islamiyyah, mekanisme pengangkatan kepala daerah semacam ini cukup ditunjuk saja. Hal ini mirip dengan UU 5/74 tentang Pemerintahan di Daerah. Yang di dalam sistem khilafah, kepala daerah untuk wilayah setingkat provinsi disebut dengan Wali atau Amir sedangkan dalam sistem demokrasi kini disebut Gubernur. Selanjutnya untuk kepala daerah setingkat kabupaten/kota disebut Amil atau Hakim, yang jika disamakan dengan struktur dalam sistem saat ini disebut dengan Bupati atau Walikota.

Namun perbedaannya, kepala daerah dalam sistem khilafah (wali/Amir dan Amil) dipilih oleh Khalifah atau kepala negara dengan mendapatkan saran dan masukan dari Majelis Umat dan Majelis Wilayah. Majelis Umat merupakan lembaga perwakilan dari Umat ditingkat pusat. Sedangkan Majelis Wilayah merupakan lembaga perwakilan dari masyarakat yang ada di daerah.

Dengan kapasitas itulah Majelis Umat dan Majelis Wilyah dapat mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian seorang kepala daerah. Baik level Provinsi maupun level daerah Kota. Jika terjadi perbedaan pendapat antara Majelis Umat dan Majelis Wilayah maka yang lebih diutamakan yaitu pendapat dari Majelis Wilayah karena merupakan representasi utama masyarakat daerah.

Mekanisme tersebut mirip dengan model pemilihan Kepala daerah di era Pra-reformasi (masa Orba). Dalam tekhnisnya kepala daerah dipilih oleh DPRD lalu diajukan beberapa nama untuk dipilih langsung oleh kepala negara. Dengan mekanisme yang simpel seperti itu tentu saja tidak perlu menyiapkan dana atau anggaran yang sangat mahal dan kepala daerah yang terpilih tidak akan punya beban besar “Utang” maupun intervensi dari para pemodal yang menjadi pengusungnya seperti yang banyak terjadi pada kepala daerah – kepala daerah yang terpilih pada sistem hari ini.

Bila kita cermati kembali hal demikian sejalan dengan MUI, Hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia ke-IV yang digelar di Tasikmalaya tahun 2012 lalu yang merekomendasikan kepala daerah akan lebih afdal jika dipilih oleh DPRD provinsi, kota, atau kabupaten. Sedangkan, wakilnya bisa dipilih oleh gubernur, wali kota, atau bupati terpilih. Untuk mengawal jalannya proses pemilihan, DPR bisa membuat RUU yang tegas mengatur secara eksplisit.

Mekanisme pemilihan pemimpin ataupun kepala daerah dalam sistem Islam adalah sebaik-baik acuan untuk sebuah sistem pemerintahan. Selain praktis, mekanisme dengan biaya yang sangat murah sehingga tidak akan berujung pada pemborosan uang negara maupun dana dari masyarakat sendiri yang dihambur-hamburkan untuk tujuan yang tak bermanfaat. Akan tetapi dana atau anggaran tersebut bisa dimanfaatkan fokus untuk pembangunan, pemberdayaan, dan kesejahteraan masyarakat terlebih-lebih saat dalam menghadapi musibah pandemi.

Penunjukan kepala daerah ditunjuk langsung oleh sang Khalifah/kepala negara yang sudah dibai’at umat karena mempunyai otoritas dalam mengangkat para penguasa di bawahnya, baik Gubernur (Wali) maupun Kepala Daerah Kab/Kota (Amil) untuk membantunya dalam mengurus rakyat. Hal demikian sangat berbeda dengan sistem demokrasi sekarang, ketika rakyat sudah memilih Kepala negara (presiden) dan menyerahkan kekuasaannya, tapi sisi lain rakyat juga masih harus memilih kepala daerah yang notabene merupakan pembantu Presiden di daerah.

Hal yang tidak kalah penting juga dalam sistem Islam, kepala daerah yang terpilih dipilih karena ketaqwaan dan kapasitasnya sebagai pembantu Khalifah untuk menjalankan seluruh perintah syara’. Bukan atas dasar kekuatan modal atau dinasti politik dan oligarki yang dipenuhi dengan cara-cara yang kotor dan tidak syar’i seperti yang tampak pada sistem demokrasi yang rawan konflik, korupsi maupun manipulasi.

Walhasil, pemilihan kepala daerah dalam sistem Islam, Khilafah jauh lebih efisien dan efektif. Sangat berbeda dengan sistem demokrasi yang sangat mahal, dan dengan biaya yang mahal itupun belum tentu sebagai jaminan akan menghasilkan para pemimpin atau kepala daerah yang berkualitas. Karena tentunya kita pasti ingin mendapatkan kepala daerah yang berkualitas namun dengan biaya yang murah bukan? Maka model pemilihan Kepala daerah dalam sistem khilafah bisa menjadi contoh atau referensi yang dapat diajukan.

BACA JUGA : 

Last Day Views: 26,55 K
Tags: ,

3 Responses

  1. Pakar Pidana Menyebut Pernyataan Moeldoko Dan Ganjar Ngawur, Menyebar Hoax !! - Berita TerbaruOctober 6, 2020 at 12:15 pm

    […] Pilkada Dimasa Corona : Masihkah Mengutamakan Keselamatan Rakyat Sebagai Hukum Tertinggi? […]

  2. SLOTXO168 เว็บตรงNovember 17, 2024 at 10:44 pm

    … [Trackback]

    […] Information on that Topic: zonasatunews.com/hukum/pilkada-dimasa-corona-masihkah-mengutamakan-keselamatan-rakyat-sebagai-hukum-tertinggi/ […]

  3. Telegram中文版下载December 25, 2024 at 9:19 am

    … [Trackback]

    […] Find More Info here to that Topic: zonasatunews.com/hukum/pilkada-dimasa-corona-masihkah-mengutamakan-keselamatan-rakyat-sebagai-hukum-tertinggi/ […]

Leave a Reply