Politik Identitas

Politik Identitas

Oleh: Sulung Nof
Pendiri dan Sekjen REKANAN (Rekan Anies Baswedan)

Saban kali puasa, tembang “Tombo Ati” mengingatkan kita pada masa-masa indah dan damainya suasana di Bulan Ramadhan. Ini persis seperti makna liriknya yang membawa ketenangan hati.

“Tombo ati iku limo perkarane.” Itulah sepenggal lirik pada awal lagu yang lima abad lalu telah diciptakan oleh Sunan Bonang, salah seorang Wali Songo asal Tuban, Jawa Timur.

Ketika Opick mengaransemen ulang senandung “Tombo Ati” dengan sentuhan musik modern pada 2005, bisa dikatakan mayoritas publik di Indonesia begitu menikmati mahakarya ini.

Saat itu, publik nyaris tidak mendengar label yang memarjinalkan. Padahal kalau dibedah, lagu ini sungguh menunjukkan identitas berlapis, yaitu keagamaan (Islam) dan kedaerahan (Jawa).

Kita tentu sepakat bahwa agama membawa nilai kebaikan. Nilai itulah yang diaplikasikan dalam sendi kehidupan, baik dalam bidang ekonomi, politik, termasuk budaya (seperti: musik, film, dll).

Tanpa nilai, maka aktivitas ekonomi tidak mengenal kaidah halal dan haram. Tanpa nilai, maka ekspresi budaya menjadi tidak beradab. Pun tanpa nilai, perilaku politik menjadi ugal-ugalan dan brutal.

Pertanyaannya, mengapa belakangan ini “Politik Identitas” dijadikan amunisi untuk memarjinalkan Anies Baswedan sebagai Calon Presiden RI 2024? Apakah karena beliau satu-satunya kandidat terkuat?

Selama ini Anies Baswedan dituduh jualan ayat. Faktanya, justru yang lompat pagar dengan mengutip ayat Al-Quran surat Al-Maidah ayat 51 —secara sembrono adalah Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok.

Selama ini Anies Baswedan dituding jualan mayat. Faktanya, tidak ada bukti bahwa ada warga di DKI Jakarta yang jenazahnya tidak dishalatkan. Justru merekalah yang menjual isu tersebut.

Bahkan ketika itu Anies Baswedan sempat menulis surat yang menyatakan kesediaannya memimpin shalat jenazah jika tak ada warga yang bersedia menunaikan fardhu kifayah tersebut.

Apakah Anies Baswedan salah sewaktu “berbicara dengan bahasa kaumnya” dalam rangka menimba ilmu bersama para ulama, habaib, dan asatidz di suatu majelis taklim, masjid, atau mushalla?

Publik justru mendambakan seorang pemimpin seperti Anies Baswedan yang mampu menjadi imam shalat dengan bacaan Al-Quran yang fasih. Itu tandanya beliau tidak melakukan pencitraan.

Apakah Anies Baswedan salah sewaktu “berbicara dengan bahasa kaumnya” dalam rangka berinteraksi dengan para pemuka agama lain? Beliau datang untuk meresmikan gereja, pura, dan wihara.

Saat menjadi gubernur, beliau tuntaskan puluhan izin tempat ibadah. Kebijakan yang nondiskriminasi juga diwujudkan dalam anggaran. Contohnya BOTI (Bantuan Operasional Tempat Ibadah).

Prinsip keadilan “Membesarkan yang kecil, tanpa mengecilkan yang besar” juga diterapkan dalam kebijakan di masa Anies Baswedan menjabat. Contohnya adalah IUMK (Izin Usaha Mikro dan Kecil).

Dengan penjelasan singkat melalui tulisan ini, maka publik diharapkan tidak terjebak dalam propaganda hitam (seperti: Politik Identitas, Radikal-Radikul, dan lainnya) yang menyebabkan kita terpedaya.

Jangan sampai Indonesia kehilangan kesempatan emas untuk melakukan perubahan dan perbaikan di bawah kepemimpinan Anies Baswedan sebagai Presiden RI 2024-2029 —bi idznillah.

Kita ingin kembali pada suatu masa di mana muncul kehangatan dan keakraban sesama warga negara tanpa labelisasi yang memarjinalkan. Suatu masa seperti lagu “Tombo Ati” yang viral pada 2005.

Selamat menyambut bulan suci Ramadhan 1444 H.

Bandung, 22-03-2023

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K