Pongah Jadi Menko Tiga Kali

Pongah Jadi Menko Tiga Kali
Luhut Binsar Panjaitan

Oleh: Syaefudin Simon
Kolumnis

Tiga kali jadi Menko! Hebat, katanya. Luhut Binsar Pandjaitan tampak bangga betul dengan rekam jejaknya di kabinet: Menko Polhukam, Menko Marves, dan “Menko Segala Urusan.” Ia menepuk dada, seolah negeri ini berdiri tegak di atas keringat dan kebijakannya. Padahal, kalau mau jujur sedikit saja, kursi-kursi empuk itu bukan hasil prestasi gemilang, melainkan hasil konspirasi elitis—persekutuan antara kekuasaan dan kekayaan. Sebuah oligarki yang merayakan dirinya sendiri.

Luhut adalah simbol sempurna dari wajah politik Indonesia hari ini: gabungan antara kekuasaan, bisnis, dan kesombongan. Dalam dirinya melebur semua itu. Ia bicara soal nasionalisme, tapi bisnisnya lintas benua. Ia mengaku cinta lingkungan, tapi konsesi tambangnya mengoyak bumi. Ia menggurui rakyat soal moral kerja keras, tapi kekayaannya tumbuh subur di lahan yang dulu hijau.

Katanya, jadi Menko itu pengabdian. Tapi rakyat tahu, pengabdian macam apa yang menghasilkan pulau-pulau nikel yang rusak, sungai-sungai yang mati, dan hutan yang tinggal legenda. Di bawah pengawasan “tangan besi”-nya, ribuan hektar hutan di Papua dan Kalimantan hilang demi sawit dan tambang. Sementara di Jakarta, ia sibuk bicara tentang ekonomi hijau dan investasi bersih. Ironis? Tidak. Itu memang jurus khas pejabat senior negeri ini: bicara etika di podium, berbisnis di belakang layar.

Tiga kali jadi Menko, tapi apa hasilnya? Ekonomi rakyat tetap saja jongkok, pengangguran masih menganga, utang menumpuk, dan kekayaan alam terus dikeruk tanpa malu. Tapi Luhut tetap pongah. Seolah negeri ini tak bisa berjalan tanpa dirinya. Ia bercerita tentang “kepercayaan presiden” seolah itu lisensi untuk kebal kritik, kebal hukum, bahkan kebal logika.

Padahal, kalau tidak karena “restu sang majikan”, mungkinkah ia bisa sekokoh itu di istana? Semua tahu, karier politik Luhut menanjak bukan karena kejeniusan ekonomi, melainkan karena kesetiaan personal—loyalitas yang dibayar dengan kekuasaan. Ia bukan teknokrat yang menumbuhkan ekonomi rakyat, tapi penjaga gerbang istana yang memastikan bisnis keluarga besar tetap aman sentosa.

Di luar sana, rakyat antri minyak goreng, harga beras melambung, listrik naik, air susah. Tapi di ruang rapatnya, angka-angka pertumbuhan ekonomi terlihat manis. Luhut tampil dengan presentasi menawan, bicara “optimisme nasional”, “resiliensi ekonomi”, “transformasi digital.” Kata-kata yang hanya indah di PowerPoint, tapi hampa di dapur rakyat.

Pongahnya luar biasa. Ketika dikritik, ia balas dengan nasihat. Ketika rakyat protes, ia bilang “jangan baper.” Seolah kritik adalah dosa, dan pejabat seperti dirinya adalah nabi yang tak boleh disentuh. Padahal, dari proyek tambang hingga bisnis karbon, semuanya berputar di lingkar yang sama: nama-nama lama, kroni lama, dan kepentingan lama. Semua terhubung rapi dalam jaringan “trust fund” kekuasaan yang tak tersentuh hukum.

Lucunya, ia sering menasihati pejabat muda agar tak serakah. Padahal siapa yang lebih serakah dari pejabat yang sudah sepuh tapi masih ingin mengatur segalanya—dari energi, tambang, pariwisata, hingga politik luar negeri. Semua ingin dikontrol. Semua ingin dipegang. Mungkin di kamusnya, “pengabdian” memang sinonim dari “kekuasaan tak terbatas.”

Kini, saat rakyat menuntut pemerintahan bersih dan transparan, Luhut malah pamer pengaruh. Tiga kali jadi Menko, katanya, itu bukti kepercayaan. Tapi kepercayaan siapa? Rakyat jelas tidak. Investor mungkin iya. Oligarki tentu saja. Ia bangga dipuji presiden, tapi lupa bahwa sejarah tak menulis gelar, melainkan jejak. Dan jejak Luhut, sayangnya, lebih banyak meninggalkan lubang daripada kesejahteraan.

Bayangkan, tiga kali jadi Menko, tapi tak ada tonggak kebijakan monumental yang benar-benar mengubah hidup petani, nelayan, atau buruh. Yang berubah justru peta konsesi tambang dan daftar perusahaan tambang nikel yang makin panjang. Semakin besar tambang, semakin dalam kantong para penguasa. Negeri ini dijual potong demi potong, dengan senyum pejabat yang berkata, “Demi kemajuan bangsa.”

Kalau tiga kali jadi Menko adalah prestasi, maka hutan-hutan yang habis, sungai yang tercemar, dan laut yang berlubang juga pantas disebut karya besar. Mungkin begitulah ukuran kebanggaan zaman ini: makin besar dampak kerusakannya, makin tinggi pangkatnya.

Jadi, wajar kalau rakyat nyinyir. Karena di negeri yang masih banyak anak putus sekolah dan desa tanpa listrik, pejabat tua yang pongah karena jabatan tiga kali itu bukan inspirasi—melainkan ironi.

Bangga jadi Menko tiga kali? Harusnya malu. Karena jabatan tanpa manfaat rakyat, hanya akan tercatat sebagai noda sejarah. Dan Luhut, dengan segala keangkuhannya, sedang menulis bab terakhir dari sebuah era di mana kekuasaan dan keserakahan masih bersatu padu di bawah bendera “pengabdian.”

Dan ketika nanti sejarah menilai, mungkin satu-satunya kalimat yang pantas disematkan adalah ini: ia memang kuat, tapi tak bijak; ia berkuasa lama, tapi tak meninggalkan apa-apa selain kerakusan.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K