Oleh: M. Isa Ansori
Banjir Aceh Membongkar Rezim Bohong yang Masih Berkuasa
Di tengah duka banjir besar yang melanda Aceh dan sebagian Sumatra, publik justru dihadapkan pada tontonan absurd dari seorang Menteri, pernyataan bahwa tumbangnya “kayu-kayu telanjang” adalah hal lumrah akibat hujan ekstrem. Sebuah kalimat yang di hadapan rakyat yang kehilangan rumah, ladang, bahkan nyawa, bukan hanya terdengar dingin, tapi juga merendahkan akal sehat bangsa. Sebab semua orang bisa melihat bahwa yang tumbang bukanlah pepohonan hutan primer, bukan batang yang rapuh oleh usia, tetapi gelondongan—kayu-kayu besar yang telah ditebang, dipotong, dipersiapkan, dan siap angkut. Kayu industri, bukan kayu alamiah. Kayu ekonomi, bukan kayu ekologi.
Di hadapan kenyataan telanjang itu, menteri justru menampilkan sikap klasik yang diwariskan oleh rezim sebelumnya: menyangkal, menutupi, memutar, dan mereduksi fakta menjadi “kejadian biasa.” Di sinilah publik mulai bertanya: mengapa kabinet baru—yang seharusnya mewakili arah baru—berperilaku seperti kabinet lama?
Jawabannya sederhana dan pahit: karena wajah-wajah lama itu memang masih duduk di kursi yang sama, mengawal kepentingan yang sama, dengan kebiasaan yang sama—yakni menafsirkan kenyataan sebagai ancaman dan menjadikan kebohongan sebagai mekanisme bertahan hidup.
Prabowo memang presiden baru, tetapi kekuasaannya tak sepenuhnya baru. Ia lahir dari rahim politik yang dihamili rezim sebelumnya—rezim yang selama satu dekade mengubah kebohongan menjadi metode pemerintahan. Sebuah pola yang meyakini bahwa kebohongan yang diulang-ulang akan dianggap sebagai kebenaran, dan kebenaran yang diulang-ulang akan dianggap sebagai ancaman.
Maka tidak mengherankan jika Prabowo, dalam menyusun kabinet, harus bernegosiasi dengan bayang-bayang masa lalu. Wajah-wajah lama itu—yang telah mahir menutup realitas dan mengolah opini publik dengan ketenangan seorang profesional—kembali duduk di kursi kekuasaan, bukan karena kualitas, tetapi karena utang politik yang harus dibayar, sisa-sisa transaksi yang harus dirapikan, dan kepentingan yang harus dijaga.
Banjir Aceh dan Sumatra sebenarnya bukan hanya tragedi ekologis—ia adalah tragedi politik, karena ia memperlihatkan bagaimana negara ini dikelola oleh orang-orang yang tak nyaman berhadapan dengan fakta, apalagi fakta yang mengganggu kepentingan ekonomi.
Banjir itu membongkar banyak hal secara brutal:
Bahwa deforestasi masih berlangsung, meski pemerintah berbicara seolah telah menghentikannya.
Bahwa pengawasan hutan masih rapuh, meski laporan capaian selalu dipoles indah.
Bahwa gelondongan kayu masih mengalir dari hulu ke hilir, meski aparat selalu mengklaim telah menangkap “mafia kayu” setiap tahun.
Bahwa bencana ekologis di negeri ini bukan lagi “bencana alam”—melainkan bencana kebijakan.
Namun, alih-alih membaca bencana sebagai alarm, para pejabat memilih membaca bencana sebagai gangguan komunikasi publik. Alih-alih menjelaskan, mereka memilih meremehkan. Alih-alih bertanggung jawab, mereka mencari kalimat paling aman untuk menutupi noda yang tak bisa lagi ditutup.
Itulah warisan rezim lama yang masih hidup: reflek menyangkal—bahkan ketika jarak antara kebohongan dan kenyataan sudah selebar jurang.
Ironisnya, Prabowo sendiri sebenarnya memiliki modal moral untuk memutus rantai kebohongan itu. Ia kerap berbicara tentang kejujuran, tentang keberanian menghadapi kenyataan, tentang reformasi besar yang ingin ia wujudkan. Publik berharap—dan berharap itu wajar—bahwa presiden baru ini akan menegaskan sikap baru terhadap kebenaran.
Tetapi harapan itu dipukul oleh kenyataan ketika sebagian besar kabinetnya justru diisi oleh mereka yang selama 10 tahun terakhir menjadi arsitek, penjaga, atau penikmat narasi kebohongan negara. Mereka yang terbiasa menolak realitas ketika realitas mengancam kekuasaan. Mereka yang berdiri kokoh di bawah payung oligarki dan melihat publik bukan sebagai subyek demokrasi, melainkan sebagai audiens yang dapat dipoles persepsinya.
Maka lahirlah kabinet yang gagap menghadapi kenyataan: kabinet penyangkal realitas. Dan banjir Aceh menjadi panggung perdananya. Prabowo harus sadar bahwa ia kini berdiri di titik kritis: antara menjadi presiden yang memperbaiki warisan, atau presiden yang mewarisi keburukan. Ia tidak bisa terus berlindung di balik alasan “transisi.” Tidak bisa terus bersandar pada pembenaran bahwa wajah lama tidak bisa dielakkan. Tidak bisa membiarkan menteri berbicara seolah publik ini bodoh, tuli, dan buta.
Aceh dan Sumatra telah memperlihatkan betapa bahayanya ketika negara menolak realitas ekologis namun tunduk pada realitas oligarki. Dan ketika seorang menteri menganggap gelondongan kayu di tengah banjir sebagai “kayu telanjang biasa,” itu bukan sekadar kegagalan komunikasi. Itu adalah simbol bahwa rezim bohong belum selesai. Bahwa jantung kekuasaan masih berdetak dengan logika yang sama: menyembunyikan kenyataan untuk menjaga kenyamanan politik.
Prabowo harus memilih, Apakah ia akan membiarkan kabinetnya tetap hidup dalam tradisi penyangkalan yang diwariskan rezim sebelumnya, atau ia akan menegaskan bahwa eranya adalah era baru—era di mana kebenaran tidak lagi menjadi musuh kekuasaan?
Banjir Aceh sudah memberi jawabannya: reformasi kabinet diperlukan—bukan besok, bukan nanti, tetapi sekarang. Sebab negara tidak bisa diselamatkan oleh pejabat yang takut pada kenyataan. Dan rakyat tidak bisa terus hidup di bawah kekuasaan yang menjadikan kebohongan sebagai kebijakan.
Kebenaran bukan ancaman, Kebenaran adalah satu-satunya hal yang masih bisa menyelamatkan republik ini.
Bali, 5 Desember 2025
Tentang Penulis :
M. Isa Ansori adalah Penulis dan Akademisi, Dewan Pakar LHKP PD Muhammadiyah Surabaya, Wakil Ketua ICMI Jatim
EDITOR: REYNA
Related Posts

Komisi Informasi Jateng Akan Buka Sidang Sengketa Salinan Ijasah Joko Widodo Dari SD Hingga S1

Pejabat Cengeng, Mundur..!

Pertumbuhan : Menukar Pohon dengan Mobil

Reaksi keras meningkat setelah Israel lolos ke Eurovision 2026, mendorong beberapa negara untuk mengundurkan diri.

Memadukan Agama, Ilmu, Dan Seni Dalam Kehidupan

WMO memperkirakan 55% kemungkinan La Nina lemah dalam beberapa bulan mendatang

Faizal Assegaf Usulkan Jalur Mediasi dalam Polemik Ijazah Jokowi di Forum ILC

Gila Beneran Gila, Rakyat Masih Terpukau Panggung Drama Politik Sandiwara

Mafia Menggila, Kedaulatan Robek!

Puskesmas Bandar Diduga Lakukan Malpraktek, Kepala Puskesmas ,Terancam Dilaporkan ke Polisi



No Responses