JAKARTA — Wacana penetapan Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, sebagai Pahlawan Nasional kembali menimbulkan perdebatan panas di ruang publik. Bagi sebagian pihak, Soeharto adalah bapak pembangunan yang telah membawa Indonesia pada stabilitas dan kemajuan ekonomi. Namun bagi kalangan lain, namanya masih lekat dengan otoritarianisme, pelanggaran hak asasi manusia, dan praktik korupsi, kolusi, serta nepotisme (KKN) yang menjadi pemicu lahirnya Reformasi 1998.
Usman Hamid: Pengkhianatan terhadap Amanat Reformasi 1998
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menegaskan bahwa langkah pemerintah mengusulkan Soeharto sebagai pahlawan nasional merupakan bentuk pengkhianatan terhadap amanat Reformasi.
“Di dalam Reformasi 1998 telah ada ketetapan MPR mengenai penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dari kolusi, korupsi, dan nepotisme. Nama mantan Presiden Soeharto masuk dalam TAP MPR itu. Secara yuridis, seharusnya tidak boleh ada penetapan pahlawan nasional untuk beliau,” ujar Usman dalam diskusi di Kompas TV.
Menurut Usman, TAP MPR No. XI/MPR/1998 yang menyebut nama Soeharto sebagai bagian dari agenda pemberantasan KKN belum pernah dicabut secara resmi melalui sidang paripurna MPR. Ia menilai, jika pemerintah tetap memaksakan gelar tersebut, maka tindakan itu “melanggar ketetapan MPR yang masih berlaku.”
Lebih jauh, Usman menyoroti jejak kelam masa Orde Baru—mulai dari tragedi pembantaian 1965, peristiwa Tanjung Priok, Talangsari, hingga hilangnya aktivis prodemokrasi menjelang reformasi.
“Soeharto naik dengan darah ribuan anak bangsa. Ada pelanggaran HAM berat yang belum pernah diungkap dan dipertanggungjawabkan. Jika negara belum berani membuka kebenaran, maka rekonsiliasi belum bisa disebut tuntas,” tegasnya.
Ridwan Hisyam: Lihat Soeharto Secara Objektif, Banyak Jasa Bagi Bangsa
Pandangan berbeda datang dari politisi senior Partai Golkar, Ridwan Hisyam, yang menilai bahwa perdebatan ini seharusnya tidak terus mengoyak persatuan bangsa. Ia menyebut Soeharto sebagai tokoh pembangunan dan stabilitas nasional.
“Saya ini aktivis 77-78, salah satu mahasiswa yang dulu juga meminta Pak Harto mundur. Tapi setelah saya masuk ke dalam sistem dan menjadi anggota DPR, saya melihat dari dalam: negara ini banyak terbantu karena kepemimpinan beliau yang tegas,” ujar Ridwan.
Ia menilai, sejak kejatuhan Soeharto, Indonesia belum menunjukkan kemajuan signifikan dalam tata kelola pemerintahan dan ekonomi.
“Sudah 30 tahun reformasi berjalan, tapi justru makin banyak masalah. Saat zaman Pak Harto, ada pembangunan nyata, stabilitas, dan kedisiplinan,” lanjutnya.
Ridwan juga menepis klaim bahwa TAP MPR No. XI/MPR/1998 masih berlaku. Menurutnya, TAP tersebut telah dicabut pada 2024, dan secara hukum tidak ada halangan untuk mengusulkan Soeharto sebagai pahlawan nasional.
“Tidak ada satu pun keputusan pengadilan yang menyatakan Soeharto bersalah atau korupsi. SKP3 sudah keluar tahun 2006. Jadi, beliau secara hukum bersih,” tegasnya.
Persatuan Nasional atau Luka Lama?
Perdebatan ini memperlihatkan dua pandangan besar yang saling bertolak belakang.
Pihak yang menolak menganggap langkah pemerintah adalah upaya menghapus memori kolektif korban pelanggaran HAM dan semangat reformasi.
Sementara pihak yang mendukung menilai, bangsa ini harus “move on” dan menghargai jasa besar Soeharto dalam menjaga keutuhan NKRI.
Usman Hamid mengingatkan, persatuan sejati hanya bisa dibangun di atas keadilan:
“Persatuan tanpa keadilan hanyalah ilusi. Sebelum ada pengungkapan kebenaran, jangan bicara rekonsiliasi.”
Sebaliknya, Ridwan Hisyam menegaskan bahwa rekonsiliasi nasional harus mengedepankan semangat Pancasila dan gotong-royong.
“Kita harus berhenti saling menyalahkan. Semua tokoh bangsa punya jasa dan kekurangan. Mari kita bersatu untuk Indonesia yang lebih baik.”
Catatan Akhir
Wacana gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto menjadi ujian serius bagi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dalam menyeimbangkan dua arus besar sejarah: rekonsiliasi masa lalu dan stabilitas masa kini.
Apakah bangsa ini siap memaafkan tanpa melupakan, atau justru menambah luka sejarah yang belum sembuh?
Semuanya kini bergantung pada keberanian negara menghadirkan kebenaran dan keadilan.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Soeharto, Satu-satunya Jenderal TNI Yang 8 Kali Jadi Panglima

Kasusnya Tengah Disidik Kejagung, Sugianto Alias Asun Pelaku Illegal Mining Kaltim Diduga Dibacking Oknum Intelijen

Habib Umar Alhamid: Waspada, Ombak dan Badai Bisa Menerpa Pemuda-Pemudi Indonesia

Novel “Imperium Tiga Samudra” (Seri 2) – Langit di Atas Guam

OKI mendesak Dewan Keamanan untuk mendukung keanggotaan penuh Palestina di PBB

Jokowi, Pratikno dan Prabowo Bisa Terbakar Bersama – sama

Pongah Jadi Menko Tiga Kali

Jihad Konstitusi Kembali ke UUD 18/8/1945

Yahya Zaini Dukung Konsep “School Kitchen” Untuk MBG Yang Aman dan Dekat Anak

Ada Pengangkutan Belasan Ton Limbah B3 Asal Pertamina Tanjunguban dengan Tujuan Tak Jelas





No Responses