Prof Nasih : Persepsi Salah Tentang Khalifah

Prof Nasih : Persepsi Salah Tentang Khalifah

Oleh: Dr. Mohammad Nasih

Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ, Pembangun Qur’anic Habits Camp di Rumah Perkaderan MONASH INSTITUTE Semarang dan Sekolah Alam Planet NUFO Pilanggowok Mlagen Rembang

Saya sengaja memilih kata yang lebih tegas untuk judul di atas, karena persoalan ini sesungguhnya sangatlah jelas, jika al-Qur’an, sunnah, dan sejarah hidup sahabat dibaca dengan tuntas. Di dalam al-Qur’an, diantara kata yang berarti pemimpin politik adalah khalifah. Menurut sumber sangat otoritif, Lisan al-Arab, karya Ibnu Mandhur, kata ‘khalifah’ berarti “orang yang menjadi pengganti orang sebelumnya dan menduduki kedudukannya” (alladzii yustakhlafu min man qablahu; istakhlafa dideskripsikan dengan ja’ala fulanan makana fulaanin).

Karena itu, dalam konteks politik, secara praktis khalifah menggambarkan seorang yang menggantikan orang lain yang sudah tidak lagi menjalankan tugas kepemimpinannya, baik karena meninggal dunia, atau karena memang diganti walaupun masih hidup.

Kata khalifah diulang hanya dua kali. Sekali berkaitan dengan Nabi Adam (al-Baqarah: 30) dan sekali tentang Nabi Daud (Shad: 26). Dari dua istilah itu, yang jelas menunjuk kepada kepemimpinan politik adalah khalifah sebagai status Nabi Daud.

“(Allah berfirman): “Wahai Dawud! Sesungguhnya engkau Kami jadikan khalifah (penguasa) di bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. Sungguh, orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat adzab yang berat, karena mereka melupakan hari Perhitungan.” (Shad: 26)

Indikator bahwa Nabi Daud diakui oleh al-Qur’an sebagai pemimpin politik adalah ia diperintahkan untuk menegakkan hukum di antara manusia. Dan dalam konteks ini, Nabi Daud adalah seorang raja yang mendapatkan kekuasaan karena ia adalah menantu Thalut yang status pemimpinnya oleh al-Qur’an disebut dengan “malik” (raja).

“Dan Nabi mereka berkata kepada mereka: “Sesungguhnya Allah telah mengangkat Talut menjadi rajamu.” Mereka menjawab: “Bagaimana Talut memperoleh kerajaan atas kami, sedangkan kami lebih berhak atas kerajaan itu darinya dan dia tidak diberi kekayaan yang banyak?” (Nabi) menjawab: “Allah telah memilihnya (menjadi raja) kamu dan memberikan kelebihan ilmu dan fisik.” Allah memberikan kerajaan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki dan Allah Mahaluas, Maha Mengetahui.” (al-Baqarah: 247)

Itu berarti, status khalifah Nabi Daud berlaku dalam sistem kerajaan yang mekanisme suksesi kekuasaannya adalah berdasarkan garis keturunan. Jika bukan anak, maka menantu. Dan Nabi Daud, sekali lagi, adalah menantu Thalut.

Dari sini nampak bahwa al-Qur’an berpandangan longgar tentang bentuk negara dan sistem pemerintahan. Yang terpenting, di dalamnya bisa diselenggarakan penegakan hukum, bukan semena-mena mengikuti hawa nafsu.

Nabi Muhammad, walaupun berstatus sebagai pemimpin politik tertinggi di Madinah, tidak pernah disebut sebagai khalifah. Di samping karena Nabi Muhammad adalah pemimpin pertama dalam konteks Madinah sebagai sebuah negara baru, mengingat namanya juga baru, sebelumnya Yatsrib, ini selaras dengan konsepsi al-Qur’an yang tidak menggabungkan kata khalifah dengan Allah misalnya.

Jadi, walaupun Nabi Muhammad adalah orang yang secara spiritual berkomunikasi langsung dengan Allah, tetapi beliau tidak disebut sebagai khalifatullah, karena tidak mungkin menggantikan Allah. Abu Bakarlah yang pada mulanya disebut khalifah. Awalnya, konsepsi khalifah ini sempat dipahami secara salah. Abu Bakar, pada saat awal menggantikan Nabi Muhammad karena telah meninggal, dipanggil khalifatullah. Namun, Abu Bakar langsung mengoreksi panggilan tersebut dengan menegaskan bahwa ia bukan khaliifatullaah, melainkan khaliifatu rasuulillaah (pengganti utusan Allah).

Yang dimaksudkan pengganti di sini pun adalah pengganti dalam urusan kepemimpinan politik, bukan kerasulan. Sebab, pintu kenabian telah ditutup, tidak ada lagi rasul setelahnya. “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (al-Ahzab: 40)

Khalifah dalam konsepsi itulah pula yang dilekatkan kepada Umar Bin Khaththab yang menggantikan Abu Bakar. Karena itu, beliau dipanggil dengan sebutan khaliifatu khaliifati rasuulillah (pengganti pengganti rasulillah). Panggilan ini, nampaknya karena kalah praktis, kemudian hilang digantikan oleh sebutan amiir al-mu’miniin (pemimpin orang-orang beriman).

Sebutan khalifatullah muncul kembali pada masa Abbasiyah, tepatnya ketika Abu Ja’far al-Manshur menyatakan diri “Ana khaliifatullah fil-ardl (Aku adalah khalifah Allah di bumi)”. Tentu saja ia memiliki motif untuk memperkuat legitimasinya sebagai pemimpin.

Persepsi yang telah dikoreksi oleh sahabat utama Nabi Muhammad tersebut kemudian juga muncul dalam gelar raja di tanah Jawa, misalnya gelar sultan Yogyakarta yang pada 2015 lalu dihapus, yaitu Senopati Ing Alaga Sayidin Panatagama Khalifatullah Ing Tanah Jawa.

Gelar khalifah yang disebutkan di atas, berbeda-beda konteks sistem kenegaraannya. Pada era empat yang pertama peminpin muslim, sebutan khalifah ternyata tidak dianggap mutlak. Terbukti Umar disebut dengan sebutan lain. Jika karena pemimpinnya disebut khalifah maka sistemnya disebut khilafah, maka mestinya sistem di bawah kepemimpinan Umar disebut imaarah.

Mekanisme suksesi kepemimpinan keempat pemimpin muslim paling awal itu pun berbeda-beda. Namun, tidak ada satu pun di antara mereka yang menjadi pemimpin karena pertimbangan garis keturunan, walaupun keempatnya adalah mertua dan menantu.

ADalam proses empat kali suksesi kepemimpinan itu, tidak pernah muncul sama sekali isu tentang hak penggantian kepemimpinan itu berdasarkan kepemimpinan. Yang muncul lebih soal kapasitas kepemimpinan.

Namun, dalam sejarah kepemimpinan politik berikutnya, baik Daulah Umayyah, Abbasiyah, maupun Utsmaniyah, pergantian kekuasaan didasarkan kepada garis keturunan. Itu berarti, ketiga daulah itu sesungguhnya adalah kerajaan.

Jika pun khilafah adalah benar-benar sistem tertentu yang baku, dan tiga daulah itu faktanya adalah kerajaan, maka mereka sesungguhnya telah menggunakan istilahnya saja, tetapi sistem yang senyatanya digunakan adalah lain lagi. Itu ibarat kerbau punya susu, tapi sapi punya nama. Wallahu a’lam bi al-shawab.

EDITOR : SETYANEGARA

 

Last Day Views: 26,55 K

3 Responses

  1. Diyala/baqubah/university/universalNovember 14, 2024 at 2:02 pm

    … [Trackback]

    […] Info on that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/prof-nasih-persepsi-salah-tentang-khalifah/ […]

  2. Huaylike VS LSM99 แทงหวยออนไลน์January 6, 2025 at 8:17 am

    … [Trackback]

    […] Information to that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/prof-nasih-persepsi-salah-tentang-khalifah/ […]

  3. รวมโรงงานจีนJanuary 6, 2025 at 8:19 am

    … [Trackback]

    […] Read More to that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/prof-nasih-persepsi-salah-tentang-khalifah/ […]

Leave a Reply