Oleh : Profesor Pierre Suteki
Pertanyaan saya adalah: Betulkah Penegakan Hukum Gagal? Apa indikator gagal? Gagal atau belum berhasil? Belum berhasil apa? Tentu BRINGING JUSTICE TO THE PEOPLE yang ditandai dengan PENEGAKAN HUKUM yang baik, adil, tidak diskriminatif, tidak brutal, dan menghormati HAM.
Coba kita tengok bagaimana wajah praktik dan sistem hukum di Indonesia hingga tahun 2021. Hukum dan Politik itu berkelindan. Ini hasil penelitian Pak Mahfud MD untuk kepentingan disertasinya. Bagaimana SITUASI POLITIK KITA SEKARANG? Kita simak pernyataan Menkopolhukam sebagai berikut:
“Politik dan keamanan nasional yang terbaik dibanding bidang yang lain. Unjuk rasa masih banyak tapi masalah perburuhan. Perburuhan. Omnibus law ya. Yang lain saya kira tidak lagi,” kata Mahfud MD sebagaimana dilihat di rekaman video salah satu acara detikcom, Jumat (31/12/2021).
“Tapi demo-demo di berbagai daerah dengan teriakan TAKBIR dan persekusi tidak ada lagi. Dulu kan bupati ini didemo dengan pakaian gamis,” katanya lagi.
Ukuran kondusif antara lain: ada nggak teriakan TAKBIR? Wah. Aneh bukan? Alasannya mungkin seperti pernyataannya kemarin: FPI BUBAR RAKYAT SENANG. Lalu, bagaimana dengan HUKUM? Merujuk hasil survei beberapa lembaga, Mahfud MD menyebut bahwa kinerja yang relatif masih jelek di bawah koordinasinya adalah di bidang hukum.
“Hukum agak jelek tapi tetap lebih baik dari 2019 pada saat pertama saya ditunjuk jadi menteri. Waktu itu Presiden menyodorkan data (indeksnya) 49,4%, sekarang sudah 52% lebih,” kata Mahfud MD dalam video itu.
Pendapat saya akan saya awali dari adanya FAKTA hukum TERKINI menyangkut HBS dan Gus Nur. Menyusul adanya pernyataan Ulama, advokat Jabodetabek pada tanggal 30 Desember 2021.
Menurut saya, ini adalah puncak-puncak bagaimana upaya MENGKANDANGKAN ULAMA begitu tampak (mulai dari HRS, Gus Nur, kini HBS). Dalam pernyataan sikap ditegaskan bahwa pada akhir Desember tahun 2021, rezim Jokowi tidak henti-hentinya melakukan kriminalisasi terhadap ulama.
Beredarnya Surat Pemanggilan terhadap Gus Nur untuk dieksekusi Jaksa Surabaya dan terbitnya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) terhadap Habib Bahar Bin Smith (HBS) adalah bukti kriminalisasi ulama sedang dan terus terjadi di era kepemimpinan Jokowi.
Menurut saya, terkait dengan HBS mestinya tidak perlu ada SPDP karena soal pencemaran nama baik hrs ditangani berdasar KUHP bukan UUITE. Jadi harus yang merasa tercemar namanya yang melaporkan. Harus Jendral Dudung sendiri, bukan orang lain. Kita perhatikan ucapan Mahfud MD:
Menurut Mahfud MD, untuk revisi UU ITE ini sudah masuk ke DPR RI dua minggu lalu atau sekitar 16 Desember 2021 dan akan menjadi prioritas di 2022.
“Revisi UU ITE ini dilakukan agar tak ada lagi pasal karet. Mencemarkan nama baik itukan selama ini diancam UU ITE. Sekarang tidak lagi. Sanksi pencemaran nama baik kita pakai KHUP, bukan dengan UU ITE,” jelasnya.
Selain sanksi pakai KUHP, pelapor pencemaran nama baik ini harus dilaporkan yang bersangkutan, tidak boleh orang lain.
“Sebelum diajukan ke pengadilan, harus pakai restorative justice dulu,” jelas Guru Besar Hukum Tata Negara di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta ini.
Berkenaan dengan FAKTA SPDP HBS, Advokat, Ulama dan Aktivis se Jabodetabek telah membacakan pernyataan bersama yang pada intinya MENGECAM PROSES HUKUM atas kedua ulama tersebut. Inilah sebagian POTRET HUKUM kita.
Sekarang kita tengok secara teoretik bagaimana wajah hukum secara umum pada tahun 2021, diawali 2020. Menurut Lawrence M Friedman hukum itu sebuah sistem yang terdiri dari 3 komponen, yakni legal substance (peraturan), legal structure (kelembagaan dan APH) dan legal culture baik, Internal Legal Culture (ILC) maupun External Legal Culture (ELC). Ketiganya sangat berpengaruh dlm PROSES HUKUM, yakni pembentukan hukum dan penegakannya.
Saya melihat proses hukum di tahun 2021 masih berjalan “dying” sehingga terkesan “ugal-ugalan” yang puncaknya ditandai dengan:
A. PEMBENTUKAN MATERI HUKUM
Lebih banyak bersifat TOP DOWN bahkan Stubborn Law Making: dipertahankannya UU Omnibus Law Cipta Kerja yang cacat baik dari sisi formil maupun materiil. MK memutuskan: Inkonstitusional bersyarat dan UU CK tetap berlaku. Sebuah putusan yang sangat ambigu.
Demikian juga untuk Permenristekdikti PPKS, UU Pesantren berkarakter yang sama. DPR dan Presiden sebagai lembaga legislatif terkesan tidak mampu mewakili aspirasi rakyat dan terkesan “nggugu karepe dhewe”, mengikuti kemauan sendiri dan secara kebetulan didukung oleh lembaga yudikatif baik di MA maupun MK.
Related Posts
Pengaduan Masyarakat atas Dugaan Korupsi Kereta Cepat Jakarta Bandung: KPK Wajib Usut Tuntas
Daniel M Rosyid: Reformasi Pendidikan
Budaya Kita Perwakilan Musyawarah, Mengapa Pilpres Mesti One Man One Vote
Keseimbangan Sistemik: Membaca Kritik Ferri Latuhihin Kepada Purbaya
Quo Vadis Kampus Era Prabowo
Habib Umar Alhamid: Prabowo Berhasil Menyakinkan Dunia untuk Perdamaian Palestina
Api di Ujung Agustus (Seri 29) – Jejak Operasi Tersembunyi
Api di Ujung Agustus (Seri 28) – Jantung Garuda Di Istana
Api di Ujung Agustus (Seri 27) – Jalur Rahasia Wiratmaja
Kelemahan Jokowi
Daniel M Rosyid: Eijkman Korban Ngawurisme - Berita TerbaruJanuary 2, 2022 at 8:24 pm
[…] BACA JUGA : Prof Suteki: Refleksi 2021 dan Prediksi 2022. Kegagalan, Masalah, dan Solusi Bidang Hukum […]
Buy Body-Solid G9S Multi-Stack Weight Lifting Home Gym Complete Body ExerciseDecember 15, 2024 at 9:29 am
… [Trackback]
[…] Find More on on that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/prof-suteki-refleksi-2021-dan-prediksi-2022-kegagalan-masalah-dan-solusi-bidang-hukum/ […]
ออกแบบลายเซ็นJanuary 21, 2025 at 6:15 pm
… [Trackback]
[…] Here you can find 15423 more Information on that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/prof-suteki-refleksi-2021-dan-prediksi-2022-kegagalan-masalah-dan-solusi-bidang-hukum/ […]