Purbaya vs Luhut: Ketegangan di Balik Kebijakan Fiskal dan Investasi

Purbaya vs Luhut: Ketegangan di Balik Kebijakan Fiskal dan Investasi
Luhut Binsar Panjaitan

JAKARTA — Hubungan antara Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dan Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan tengah menjadi sorotan publik. Sejumlah kebijakan strategis yang melibatkan keuangan negara menunjukkan adanya perbedaan pandangan antara keduanya, terutama terkait penggunaan dana APBN, investasi INA, dan skema pembentukan “family office”.

Perselisihan kebijakan ini mencuat setelah Purbaya menegaskan bahwa pemerintah tidak akan menggunakan dana APBN untuk menutup utang proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau Whoosh. Menurutnya, tanggung jawab pelunasan seharusnya dilakukan oleh BPI Daya Anangata Nusantara (Danantara), lembaga pengelola dividen BUMN, bukan dari kas negara.

“APBN bukan untuk menutup utang proyek yang bisa diselesaikan melalui mekanisme bisnis,” ujar Purbaya dalam keterangannya, seperti dikutip dari Detik Finance (17/10/2025).

Pernyataan itu segera mendapat tanggapan dari Luhut. Ia menegaskan bahwa tidak ada pihak yang meminta APBN digunakan untuk proyek tersebut. “Siapa yang minta APBN? Tidak ada,” ucap Luhut di sela rapat ekonomi di Jakarta. Ia menyebut restrukturisasi utang Whoosh berjalan sesuai rencana dan tidak membebani keuangan negara.

Perbedaan pandangan juga muncul dalam wacana pembentukan “family office” — sebuah lembaga investasi swasta yang diusulkan Luhut untuk menarik dana global ke Indonesia. Purbaya menyatakan belum memahami sepenuhnya konsep yang diajukan dan memilih untuk tidak memberikan dukungan fiskal sebelum ada kajian rinci.

“Kalau itu pakai dana negara, saya belum tahu konsepnya,” kata Purbaya seperti dikutip Bloomberg Technoz (16/10/2025).

Luhut kemudian meluruskan bahwa inisiatif “family office” tidak akan menggunakan uang negara, melainkan mendorong arus investasi swasta. “Tidak ada uang negara di situ, ini investasi murni,” tegasnya, seperti dilaporkan Inilah.com.

Sementara itu, Luhut juga mengusulkan agar Kementerian Keuangan menambah dana Rp50 triliun untuk Lembaga Pengelola Investasi Indonesia (INA) guna memperkuat daya saing investasi nasional. Namun, kebijakan itu belum mendapatkan respons positif dari Purbaya.

Meski demikian, hubungan keduanya tidak sepenuhnya tegang. Dalam beberapa kesempatan, Luhut justru memuji langkah Purbaya yang menempatkan dana pemerintah sekitar Rp200 triliun di bank-bank BUMN untuk menstimulasi pasar. Ia menyebut kebijakan itu sebagai “langkah cerdas yang mampu menggerakkan likuiditas nasional.”

Namun, di balik pujian tersebut, banyak pihak menilai bahwa dinamika antara dua tokoh ekonomi ini mencerminkan perbedaan filosofi dalam mengelola perekonomian nasional. Purbaya dikenal berhati-hati dalam kebijakan fiskal dan menekankan efisiensi penggunaan APBN, sementara Luhut lebih menonjolkan pendekatan pro-investasi dan percepatan proyek strategis.

Sejumlah pengamat menilai, ketegangan yang muncul adalah hal wajar dalam proses penentuan arah kebijakan ekonomi. “Ini bukan konflik personal, tapi perbedaan pendekatan. Purbaya ingin disiplin fiskal, Luhut ingin percepatan investasi,” ujar seorang analis kebijakan ekonomi kepada CNN Indonesia.

Kini, publik menanti bagaimana kedua pejabat senior tersebut menyelaraskan visi kebijakan demi menjaga stabilitas fiskal dan kepercayaan investor. Karena bagaimanapun, keseimbangan antara kehati-hatian anggaran dan keberanian investasi akan sangat menentukan arah ekonomi Indonesia ke depan.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K