Oleh: Dr. Mulyadi (Opu Andi Tadampali)
Dosen Ilmu Politik Universitas Indonesia
“Sedikitpun saya tidak ragu mengatakan bahwa ilmuan adalah pakar, karena semua ilmuan adalah pakar. Namun ada keraguan besar untuk menyebut pakar adalah ilmuan. karena tidak semua pakar adalah ilmuan” – Opu Andi Tadampali
Di perguruan tinggi, dunia akademik sudah sepatutnya diramaikan oleh aktivitas dosen baik sebagai pendidik profesional maupun sebagai ilmuan (Pasal 1 Ayat (2) UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru Dan Dosen). Itu lantaran dunia akademik bukanlah dunianya para “agen ilmu,” yaitu mereka yang mempropagandakan atau memanfaatkan ilmu tertentu untuk tujuan penindasan, penjajahan, diskriminasi, atau esploitasi terselubung. Lebih baik dari “agen ilmu” tentu adalah mereka yang menjadi “aktivis ilmu”, yaiu mereka yang memilih ilmu tertentu untuk tujuan mencerdaskan atau membebaskan manusia dari penindasan, penjajahan, diskriminasi, atau esploitasi terselubung.
Dalam hal dosen sebagai pendidik profesional, profesi dosen adalah profesi khusus dengan keahlian khusus untuk tujuan sosial khusus. Kata kunci ‘profesi khusus’ mengandung makna bahwa yang dapat menjadi pendidik profesional hanyalah orang-orang terpilih, yaitu mereka yang memiliki kapasitas politik, kapabilitas politik dan integritas politik yang tinggi, karena produknya adalah sarjana, magister dan doktor yang sujana: jujur, adil, bijaksana, dan beriman. Apalah gunanya jika yang dihasilkan adalah sarjana, magister dan doktor yang durjana: tidak jujur, tidak adil, tidak bijaksana, dan tidak beriman. Sedangkan kata kunci ‘keahlian khusus’ mengandung makna bahwa yang dapat menjadi pendidik profesional hanyalah orang-orang memiliki kemampuan khusus dalam hal mengubah sifat buruk, watak buruk, dan karakter buruk menjadi sifat baik, watak baik, dan karakter baik. Lalu kata kunci ‘tujuan sosial khusus’ mengandung makna bahwa yang dapat menjadi pendidik profesional hanyalah mereka yang memiliki tanggung jawab sosial tinggi terhadap keselamatan umat manusia: rakyat, bangsa, warga negara, penduduk, dan masyarakat.
Begitula dosen sebagai ilmuan, profesi dosen juga adalah profesi khusus dengan keahlian khusus untuk tujuan sosial khusus. Kata kunci ‘profesi khusus’ mengandung makna bahwa yang dapat menjadi ilmuan hanyalah orang-orang yang memiliki kemampuan melakukan aktivitas ilmiah atau kegiatan keilmuan, seperti penelitian ilmiah, berpikir ilmiah atau bernalar ilmiah, karena produknya adalah ilmuan baru. Apalah gunanya jika yang dihasilkan adalah sarjana, magister dan doktor yang tidak mampu menjadi ilmuan baru. Sedangkan kata kunci ‘keahlian khusus’ mengandung makna bahwa yang dapat menjadi ilmuan adalah mereka yang memiliki kemampuan “menciptakan ilmu”, karena produknya adalah ilmu pengetahuan baru. Ilmuan bukanlah seorang ahli yang dapat menduplikasi ilmu pengetahuan sebelumnya yang dalam istilah saya tidak lebih dari seorang “pengecer ilmu”. Lalu kata kunci ‘tujuan sosial khusus’ mengandung makna bahwa yang dapat menjadi ilmuan hanyalah mereka yang dapat menciptakan ilmu yang mampu membawa kebaikan umat manusia: rakyat, bangsa, warga negara, penduduk, dan masyarakat.
Kemuculan “ilmuan hitam” sudah pasti tidak dapat dihindari, namun “ilmuan putih” akan tampil untuk meluruskannya. Dosen sebagai seorang ilmuan memiliki tanggung jawab moral untuk mengembangkan bidang ilmunya, dan selalu merasa bersalah jika berada di dalam lingkup ilmu yang bukan bidangnya. Bagi dosen sebagai ilmuan, target buruannya bukanlah jabatan fungsional tertinggi (guru besar atau profesor), melainkan produk sains, seperti teori atau model yang bermanfaat bagi umat manusia. Tidaklah etis dosen sebagai ilmuan jika ilmu yang diciptakannya justru membawa umat manusia kepada kehancuran.
Bagi seorang dosen, status sebagai pendidik profesional dan sebagai ilmuan bukanlah status otomatis yang diterima dari pengangkatannya sebagai dosen. Melainkan perjuangan gigih yang tak kenal lelah hingga melalui berbagai pengorbanan untuk memperoleh status itu. Namun tugas, fungsi, peran dan tanggung jawabnya yang amat berat dan melelahkan itu, justru itulah yang mengantarkannya untuk duduk di barisan paling depan sebagai manusia kelas satu dalam strata politik, manusia terhormat, mulia dan agung, sehingga jasanya tak bisa dinilai dengan uang, lencana dan tanda jasa.
Di tanah air, masih maraknya fenomena politisi atau mantan pejabat berburu menjadi “dosen tapi bukan dosen”, menjadi “pendidik tapi bukan pendidik” dan menjadi “ilmuan tapi bukan ilmuan” bukan hanya sangat memalukan, tapi juga hanya akan menghancurkan umat manuia: rakyat, bangsa, warga negara, penduduk, dan masyarakat.
Dosen Pencetak Manusia
Di era kuno Socrates adalah seorang filsuf, juga seorang guru tanpa buku dan tanpa kelas. Sebagai seorang filsuf sekaligus pendidik profesional dan ilmuan, Socrates telah “mencetak manusia” yang hidup sepanjang sejarah, seperti Plato, dan berupaya semaksimal mungkin mengikis quo vadis Athena dengan cara berkeliling ke pemuda pribumi untuk mempertanyakan negaranya yang kehilangan arah dan tujuan. Quo vadis adalah frasa Latin yang berarti “mau kemana”. Di hadapan para pemuda pribumi yang juga kecewa terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara, Socrates mengajukan pertanyaan yang terkesan sepele, “jika jam tangan kamu rusak, kemanakah gerangan engkau pergi memperbaikinya?”
Sudah tentu bukan sekedar jawaban benar belaka yang diharapkan dari Socrates mengajukan pertanyaan, karena diantara pemuda peribumi yang ditemuinya ternyata ada yang bisa menjawabnya dengan enteng. “Memperbaikinya tentu harus ke tukang service arloji”, sawab seorang pemuda pribumi. Lebih dalam dan luas dari pertanyaan itu, Socrates ingin agar para pemuda pribumi sebagai calon penyelenggara pemerintahan Athena memiliki kemampuan bernalar ilmiah tinggi: kemampuan berpikir kritis dan logis, sehingga tidak terbiasa meminta solusi. Bukankah penguasa yang terbiasa meminta solusi adalah penguasa yang krisis penalaran ilmiah untuk tidak mengatakan bahwa pikirannya tumpul atau otaknya membatu.
Melalui metode Socrates, kaum pemuda pribumi akhirnya terbiasa menggunakan norma religius, norma moral, nalar ilmiah dan nalaran etis dalam upaya berpartispasi dalam politik, meluruskan pemerintahan negaranya. Kaum pemuda pribumi pada khirnya terbiasa berpikir logis: koheren dan kohesi, dimana konklusi memiliki koherensi dengan proposisi (premis mayor) dan argumennya (premis minor).
Premis Mayo: Semua jam tangan rusak (seharusnya)diperbaiki
Premis Minor: Jam tangan Pemuda pribumi rusak
Konklusi : Jam tangan Pemuda Pribumi (seharusnya)diperbaiki
Premis Mayor: Semua negara (seharusnya)melayani seluruh warganya
Premis Minor: Pemuda pribumi warga negara Athena
Konklusi : Negara Athena (seharusanya)melayani Pemuda Pribumi
Dalam konteks klasik, epistimologi quo vadis di dunia akademik adalah upaya mengembalikan konsistensi pendidik profesional dan ilmuan yang hilang ditelan kekuasaan, dengan cara menghadirkan kembali kesadaran kritis melalui norma religius, norma moral, nalar ilmiah dan nalaran etis. Sedangkan dalam konteks modern, “quo vadis” lebih umum digunakan sebagai pertanyaan retoris untuk menanyakan tentang arah atau tujuan dari keberadaan pihak tertentu. Sudah tentu tujuan dari pertanyaan mendalam itu adalah untuk introspeksi dan refleksi diri untuk kembali kepada arah atau tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Di dunia kampis, itu adalah upaya untuk “mencetak manusia sujana”
Namun upaya Socrates “mencetak manusia sujana” bukannya tanpa resiko. Aktivitas Sorates yang bekeliling ke penjuru negeri untuk “mencetak pemuda pribumi yang sujana” terbukti membuat tipis telinga penguasa. Critias pemimpin rezim politik oligarkis Tiga Puluh Tiran menuduh Socrates sebagai provokator yang harus diganjar dengan hukuman setimpal. Dalam kalimat saya yang menirukan subtansi ucapan Critias yang berniat membunuh Socrates , “Dari pada rezim kehilangan banyak waktu untuk mengklarifikasi pernyataan Socrates yang menyesatkan itu, lebih baik mulutnya dibungkam dengan segelas racun”. Metode Socrates yang oleh orang awam dianggap sepele, tapi oleh penguasa justru dianggap sebagai aktivitas yang sangat berbahaya, membuat Socrates harus membayarnya dengan nyawa di hadapan tiga hakim Pengadilan Beracun.
Dosen Pencipta Ilmu
Karl Marx membutuhkan puluhan tahun untuk membaca seluruh isi perpustakaan Universitas Berlin. Bagi Marx itu bukanlah cara terbaik untuk mengetahui sebanyak mungkin ilmu orang, atau cara lain untuk menyalurkan kesenangan dirinya. Juga bukan cara terbaik untuk mencari ilmu tertentu yang nantinya akan “dijajakan” kepada peminatnya, atau untuk dipropagandakan kepada pihak tertentu dengan imbalan setimpal dari pemesannya.
Marx membaca sebanyak mungkin isi perpustakaan untuk memastikan bahwa ilmu baru yang akan diciptakannya betul-betul orisinil dalam arti belum ada ilmuan sebelumnya yang pernah mencetuskannya. Lebih utama dari hasil bacaannya adalah sebagai masukan untuk teori yang akan dibangunnya, sehingga memiliki kekuatan abstraksi, deskripsi, eksplanasi, evaluasi dan prediksi dalam menyorot fenomena yang menjadi fokus perhatiannya, yakni ekonomi politik.
Sebagai seorang “pencipta ilmu” sebagaimana terbukti di kemudian hari dimana karya mahsurnya ‘Das Kapital’ menjadi rujukan berbagai teori, Marx memperlihatkan tradisi akademik yang kuat berupa keharusan duduk berlama-lama membaca sebelum duduk berlama-lama menulis tentang fenomena ekonomi politik dan politik ekonomi berupa peksploitasi kapitalisme beserta implikasi dan konsekuensinya. Pesan yang kurang lebih sama, saya kerap sampaikan di forum ilmiah bahwa “setidaknya saya membutuhkan waktu minimal sepuluh tahun untuk duduk belajar agar saya bisa berdiri berbicara selama satu jam.”
Tekad Marx “menciptakan ilmu” ditunjukkan oleh waktunya yang dialokasikan lebih banyak untuk duduk membaca dan menulis ketimbang waktunya untuk mengurus keluarganya. Perpustakaan kampus yang menyediakan koleksi ilmu-ilmu terdahulu telah memotivasinya untuk mengaktifkan seluruh potensi dirinya dalam menggali agama, filsafat, sains dan seni dalam rangka “menciptakan ilmu baru”.
Sekedar untuk diingat bahwa karya mahsurnya Das Kapital yang berisi teori-teori kritis merupakan kritik mendalam Marx terhadap kapitalisme dan aplikasinya dalam ekonomi dan masyarakat. Karya mashur ini terdiri dari tiga jilid utama, yaitu: (1) jilid pertama, “Proses Produksi Kapital” (1867), membahas tentang proses produksi kapitalis dan teori nilai surplus; (2) jilid kedua, “Proses Sirkulasi Kapital” diterbitkan oleh Friedrich Engels (1885), membahas tentang proses sirkulasi kapital dan realisasi nilai surplus; dan (3) jilid ketiga, “Proses Produksi Kapitalis secara Menyeluruh” yang juga diterbutkan Friedrich Engels (1894), membahas tentang proses produksi kapitalis secara keseluruhan dan distribusi surplus nilai. Sedangkan jilid keempat yang populer dengan “Teori Surplus Value” (terbit antara 1905-1919) yang disunting oleh Karl Kautsky dan diterbitkan setelah kematiannya tidak sepenuhnya karya Marx. Isinya merupakan campuran antara hasil editing dan kompilasi catatan-catatan atau manuskrif yang ditulis Marx tahun 1862-1863.
Sebagai “pencipta ilmu”, Marx menunjukkan selain karyanya Das Kapital tidak redandan dengan pemikiran ekonomi politik sebelumnya, juga dipenuhi teori-teori penting, diantaranya, yaitu:
(1) Teori Nilai Kerja, yang menegaskan bahwa nilai suatu barang ditentukan oleh jumlah waktu kerja yang dibutuhkan untuk memproduksinya;
(2) Teori Surplus Value, yang menegaskan bahwa surplus value adalah nilai yang dihasilkan oleh pekerja melebihi nilai upah yang mereka terima, dan surplus value ini menjadi sumber keuntungan bagi pemilik modal;
(3) Teori Eksploitasi, yang menegaskan bahwa kapitalisme mengeksploitasi pekerja dengan membayar mereka kurang dari nilai yang dihasilkan, sehingga menciptakan ketidaksetaraan ekonomi dan sosial;
(4) Teori Alienasi, yang menegaskan bahwa kapitalisme menyebabkan alienasi pekerja dari proses produksi dan produk mereka, sehingga mengurangi kualitas hidup pekerja;
(5) Teori Krisis Kapitalisme, yang menegaskan bahwa kapitalisme akan mengalami krisis yang berulang karena adanya kontradiksi internal dalam sistem tersebut, seperti penurunan tingkat keuntungan dan peningkatan kemiskinan;
(6). Teori Kelas Sosial, yang menegaskan bahwa perjuangan kelas antara pemilik modal dan pekerja merupakan penggerak utama perubahan sosial;
(7). Teori Fetisisme Komoditas, yang menegaskan bahwa dalam masyarakat kapitalis hubungan sosial antara manusia tampak sebagai hubungan antara benda, sehingga menciptakan ilusi bahwa nilai komoditas berasal dari sifat intrinsiknya sendiri.
Teori Konflik Marx yang inheren dengan Teori Kelas Sosial: merupakan pengembangan teori sosiologi, menyatakan bahwa masyarakat dibagi menjadi dua kelas yang saling bertentangan, yaitu: (1) kelas dominan (borjuis), yaitu mereka yang memiliki alat produksi dan mengendalikan sumber daya ekonomi; dan (2) kelas yang didominasi (proletar), yaitu mereka yang tidak memiliki alat produksi dan harus menjual tenaga kerja mereka untuk bertahan hidup. Menurut Marx, konflik antara kelas dominan (borjuis) dan kelas didominasi (proletar) merupakan sumber perubahan sosial dan sejarah. Kelas dominan akan terus berusaha mempertahankan kekuasaannya, sementara kelas yang didominasi akan terus berusaha mengubah keadaan untuk mencapai kesetaraan.
Ada tiga asumsi utama teori konflik Marx, yaitu: (1) konflik merupakan sesuatu yang inheren. Konflik merupakan bagian dari struktur masyarakat sehingga tidak dapat dihilangkan; 2) kelas sosial merupakan sumber konflik. Perbedaan kelas sosial dan kepentingan yang berbeda antara kelas-kelas tersebut merupakan sumber utama konflik; dan (3) perubahan sosial melalui perjuangan kelas. Perubahan sosial terjadi melalui perjuangan kelas antara kelas dominan dan kelas yang didominasi.
Pakar dan Ilmuan
Pakar dan ilmuwan memiliki perbedaan signifikan dalam hal kontribusinya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Pakar adalah seseorang yang memiliki pengetahuan dan keahlian dalam bidang tertentu, tetapi tidak memberikan kontribusi pada pengembangan ilmu pengetahuan tersebut. Sedangkan ilmuan adalah eseorang yang tidak hanya memiliki pengetahuan dan keahlian dalam bidang tertentu, tetapi juga memberikan kontribusi pada kemajuan ilmu pengetahuan tersebut. Jika pakar lebih fokus pada penerapan ilmu pengetahuan dalam praktik, sedangkan ilmuwan lebih fokus pada pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri.
Sebagai contoh, seorang dosen ilmu politik yang memiliki pengetahuan dan keahlian dalam ilmu politik, dan dapat mengajarkan ilmu pengetahuan politik tersebut kepada mahasiswanya, maka kepadanya dapat disebut sebagai pakar ilmu politik. Namun jika dosen ilmu politik tersebut selain terbukti berkontribusi dalam perkembangan dan pertumbuhan ilmu politik melalui penemuannya, berupa teori atau model misalnya, juga mengajarkan sains politik kepada mahasiswanya, maka kepadanya disebut sebagai ilmuan politik sekaligus pakar ilmu politik.
Di semua kampus, dosen yang pakar sangat mudah ditemukan. Sebaliknya, sangat sulit menemukan dosen yang ilmuan dalam maknanya yang ketat, lantaran tidak ditemukannya kontribusinya dalam perkembangan dan pertumbuhan ilmu pengetahuan melalui penemuannya berupa teori atau model. Menjadi dosen sebagai ilmuan memang sangat sulit karena mensyaratkan kemampuan melakukan riset mandiri yang relatif panjang dengan hasil berupa revisi teori atau falsifikasi teori. Mungkin banyak dosen yang memiliki kemampuan riset ilmiah dengan napas panjang tetapi akan terbentur lagi pada biaya yang sangat terbatas. Akhirnya menjadi dosen sebagai pendidik profesional dan dosen sebagai ilmuan dua-duanya tetap menjadi tanda tanya.
EDITOR: REYNA
Related Posts
Kisah Nama Presiden Prabowo Soebianto
Perkuat Fondasi Diplomasi Investasi melalui Penyusunan Bahan Posisi Perjanjian Internasional
Jokowi dan Skandal Ijazah Berjamaah
Aliansi Perjuangan Rakyat Desak Kejagung Usut Tuntas Pembelian Kapal Tanker Pertamina Yang Diduga Fiktif
Yahya Zaini dorong generasi muda Indonesia untuk memanfaatkan program Magang Nasional
Reformasi POLRI : Dari Dalam Atau Dari Luar?
Syeikh Siti Jenar-Walisongo dan KDM-Ulama
Demokrasi Pancasila Sudah Menghilang
Manuver KDM: Perspektif Teologi
Kedatangan Jokowi ke Prabowo Seperti Debt Collector Utang Politik
No Responses