Oleh: Daniel Mohammad Rosyid
@Rosyid College of Arts
Prabowo kini sedang bersih-bersih Jokowisme yang sisa-sisannya masih mliketi tangan dan kakinya sejak Wong Solo itu naik tahta dalam lakon 2 episode Petruk Dadi Ratu. Semula dipuja para die hard Jokower – banyak juga yang dari kampus – sebagai ikon kemenangan wong cilik atas dominasi aristokrasi sejak reformasi, the rise of Jokowi out of nowhere ditunjuk sebagai bukti demokrasi bisa berjaya di tengah massa dengan rata-rata pendidikan SMP. Jokowi dan Pilpres langsung yang melahirkannya didaku sebagai puncak kemenangan masyarakat sipil atas otoriterianisme Orde Baru yang didukung tentara.
Banyak die hard Jokowers di kampus-kampus itu terkejut setelah tahu kemudian bahwa Jokowi tidak membawa demokrasi, tapi membawa korporatokrasi dan duitokrasi mbelgedhes dari gorong-gorong. Baik Romo Magnis, GM maupun Butet dan juga banyak profesor kampus ternama menangisi nasib demokrasi di tangan Jokowi di akhir kekuasaannya justru dengan meninggalkan nepot Gibran sebagai wapres ketika agenda 3 periodenya gagal. Sampai hari ini, kaum reformis masih juga enggan mengakui kegagalan gerakan reformasi.
Banyak kampus, termasuk UGM, masih saja bebal untuk mengakui bahwa Jokowisme adalah anak kandung UUD 10/8/2002 hasil rekayasa kaum reformis sekuler radikal yang berhasil memanfaatkan kaum nasionalis sebagai useful idiots untuk mengganti UUD 18/8/1945. Adalah pakar filsafat Pancasila Prof.Kaylan UGM yang berhasil menunjukkan bahwa UUD 18/8/1945 tidak sekedar diubah, tapi diganti total. Bukan amandemen biasa dengan teknik addendum tapi total replacement.
Banyak brain washed minds di banyak kampus yang telah kesengsem demokrasi gagal memahami bahwa UUD 18/8/1945 telah dirumuskan oleh para ulama dan cendekiawan negarawan pendiri bangsa sebagai pernyataan perang melawan segala bentuk penjajahan sekaligus sebagai strategi menghadapi penjajahan tersebut. Segera setelah ditetapkan oleh Panitya Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), kekuatan-kekuatan nekolimik terus berusaha untuk melumpuhkan UUD 18/8/1945 itu dengan berbagai cara. Bahkan mereka berhasil menggantinya dengan UUD RIS 1949, lalu dengan UUDS 1950. Sembilan tahun setelah eksperimen konstitusi itu, akhirnya Bung Karno mengumumkan Dekrit Presiden 5/7/1959 kembali ke UUD 18/8/1945.
Setelah berhasil menjatuhkan Soekarno, lalu menjatuhkan Soeharto, dan juga BJ Habibie, kekuatan-kekuatan nekolimik dengan menunggangi kelompok-kelompok sekuler radikal berhasil mengganti UUD 18/8/1945 itu dengan UUD 10/8/2002. Ersatz capitalism era Soeharto berkembang pesat menjadi full-fledged capitalism di era Jokowi. Kini Prabowo menggunakan Menkeu Purbaya untuk menjinakkan full-fledged capitalism warisan Jokowi ini dengan Soemitronomics plus Habibinomics. Para pengemplang pajak dan pengeruk tambang yang selama ini ugal-ugalan berselingkuh dengan para bandit politik yang bersembunyi di partai-partai politik mulai merasa gerah dengan gaya koboi Purbaya yang mengobrak-abrik status quo mereka. Purbaya menolak menutup kerugian dan hutang proyek KA cepat Jakarta-Bandung itu dengan APBN.
Kekuatan-kekuatan nekolimik sejak awal telah mencekoki kampus-kampus ternama, terutama UGM dan UI, untuk melupakan prinsip-prinsip ekonomi pasal 33 UUD 18/8/1945. Kampus adalah sasaran utama westernisasi segera setelah proklamasi kemerdekaan. Kampus-kampus itu bahkan merestui peminggiran sistem MPR – yang dinilai kuno dan tidak demokratis – sebagai dasar sistem pemerintahan berdasar konstitusi, lalu secara rakus menelan habis prinsip-prinsip demokrasi liberal. Kampus-kampus ternama itu tanpa malu-malu menjadi pembela model, standar, dan nilai-nilai Barat sebagaimana terlihat dalam obsesi kampus untuk menjadi world-class university. Seperti sinyalemen William Blum, demokrasi adalah ekspor AS yang paling mematikan. UGM dan UI harus bertanggungjawab atas keteledoran akademik ini.
Ongkos politik yang makin mahal karena monopoli politik oleh partai-partai politik yang dimungkinkan oleh UUD 10/8/2002 ini bahkan telah meluber ke dunia kampus saat kekuasaan tiba-tiba ikut menentukan hasil pemilihan rektor. Kampus kemudian hanya menjadi perpanjangan tangan pemerintah, bukan institusi yang independen. Padahal independensi inilah satu-satunya alasan mengapa kampus memiliki kewenangan memberi gelar akademik sarjana, magister dan doktor.
Kampus-kampus kita kemudian secara perlahan tapi pasti menjadi kampus Zombie: Gedung-gedungnya makin megah, tapi ruh elan moralnya menghilang. Kampus gagal menjadi disaster early warning nodes saat deformasi kehidupan berbangsa dan bernegara makin menjauh dari cita-cita para pendiri bangsa, terutama di era Jokowi. Jika kampus memang benteng nurani bangsa, maka nurani itu ada di UUD 18/8/1945 karya ulama dan cendekiawan pendiri bangsa, bukan di UUD 10/8/2002 hasil reformasi yang justru membuang nurani itu.
Tiba saatnya kini kampus melakukan creative self disruption dengan memeriksa semua model, standard dan nilai yang sejak Reformasi 1998 makin menjauhkannya dari cita-cita kemerdekaan : mencerdaskan kehidupan bangsa dengan cara memperluas kesempatan untuk belajar merdeka, bukan untuk melestarikan mentalitas inlander pengikut setia model, standard dan nilai-nilai nekolimik. Kampus tidak boleh lagi sekedar menjadi penyedia tenaga kerja yang cukup trampil menjalankan mesin-mesin sekaligus cukup dungu untuk setia bekerja bagi kepentingan pemilik modal asing.
Di tengah perpindahan gravitasi global ke Asia, kekosongan kepemimpinan moral dan kekeringan imajinasi Barat, kampus-kampus Indonesia harus bangkit menjadi kekuatan intelektual baru sebagai alternatif dalam membangun dunia baru yang multipolar ini. Relevansi dengan kepentingan serta potensi-potensi agro-maritim nasional harus lebih dikedepankan daripada obsesi mutu berbasis standard Barat. Pijakan dan pedoman kebangkitan itu sudah disiapkan para ulama dan cendekiawan pendiri bangsa, yaitu UUD 18/8/1945.
Yogyakarta – Sabtu, 18 Oktober 2025
EDITOR: REYNA
Related Posts
Barang Busuk Luhut di Peron Kereta Cepat Jakarta–Bandung
Forum Kebangsaan Yogyakarta Memandang Indonesia Diambang Krisis Legitimasi Kepemiminan Nasional
Budaya Kita Perwakilan Musyawarah, Mengapa Pilpres Mesti One Man One Vote
Keseimbangan Sistemik: Membaca Kritik Ferri Latuhihin Kepada Purbaya
Mengenal Saifuddin Qutuz (Saif al-Din Qutuz) Tokoh Islam Penakluk Pasukan Mongol Dalam Perang ‘Ain Jalut (1260 M)
Mengenal Khalid bin Walid (592 – 642 M) Jenderal Yang Tidak Pernah Kalah Dalam 100 Perang
Halo Pak Polisi, Di Desa Kelapa Gading, Sei Bamban, Serdang Bedagai Ada Judi Tembak Ikan-Ikan
The New SITALAS: Wujud Komitmen Partisipasi Anak dalam Pembangunan Kota Surabaya
Mengenal Dahsyatnya Energi Vibrasi “Perasaan” Manusia
Kenapa Mamdani, Bukan Cuomo?
No Responses