Oleh: Radhar Tribaskoro
Saya ingin memberikan standing applause atas reshuffle kabinet yang dilakukan Presiden Prabowo beberapa hari lalu. Sebuah langkah yang menandai bahwa ia tidak buta dan tidak tuli terhadap gelombang keresahan rakyat. Ia memilih bertindak: mengganti, merombak, dan—setidaknya untuk sementara—mencoba merebut kembali kepercayaan publik yang goyah. Belum sempurna, tentu. Tapi ada satu hal yang ditegaskan: ia ingin kabinet berintegritas, dan ia ingin pemberantasan korupsi tanpa kompromi. Meski begitu, sebelum kita percaya pada janji dan tekad itu, ada baiknya kita bertanya lagi: apa sebenarnya yang kita maksud dengan “korupsi”? Dan mengapa ia begitu abadi, seakan menolak mati?
Korupsi, kata orang, adalah musuh bangsa. Tapi ia selalu hadir seperti saudara tua yang tak bisa kita usir. Ia bukan lagi sekadar maling yang menyusup di malam hari, melainkan tuan rumah yang duduk di ruang tamu, disuguhi teh manis, diajak bicara, dan akhirnya diterima. Sejak republik ini lahir, ia telah menempel pada kulit sejarahnya.
Pada tahun 1950-an, ketika republik masih muda, devisa dikeruk melalui permainan impor beras dan tekstil. Sebagian elite politik ikut bermain, sebagian birokrat tersenyum di balik meja. Presiden Soekarno sendiri mengakui: korupsi sudah merasuk. Ia mendirikan sebuah badan pemberantasan, tapi tubuh institusi itu lemah. Ia tak mampu menegakkan tulang punggung.
Dua dasawarsa kemudian, di bawah bendera Orde Baru, korupsi menemukan rumahnya yang nyaman. Pertamina, di bawah Ibnu Sutowo, menggelembungkan utang hingga 10 miliar dolar—angka yang menakjubkan di tahun 1970-an. Soeharto menguasai negara dengan patronase: kekuasaan dibagi seperti kue pesta. Siapa yang loyal, diberi bagian. Maka korupsi bukanlah penyimpangan, tapi instrumen. Ia menjadi darah dalam peredaran politik.
Reformasi 1998 membawa harapan. Orang percaya bahwa demokrasi akan melahirkan kebersihan. Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk, pengadilan tipikor berdiri, ratifikasi konvensi internasional diteken. Nama-nama besar dijebloskan ke penjara: menteri, gubernur, ketua DPR. Tapi harapan itu segera berubah jadi ironi. Korupsi tidak berhenti, ia hanya bertransformasi. Dari pusat, ia merembes ke daerah. Dari satu geng elite, ia bercabang ke ratusan dinasti lokal.
Apa yang sesungguhnya terjadi?
Barangkali jawabnya ada dalam sebuah konsep yang dingin, akademis, tapi tak kalah tajam: habitus. Pierre Bourdieu, sosiolog Prancis itu, menyebut habitus sebagai sejarah yang telah berubah menjadi alamiah, disposisi yang merasuk ke tubuh sosial dan membuat manusia bertindak tanpa sadar. Habitus bukan sekadar kebiasaan, ia adalah cara pandang, cara merasa, cara bereaksi—yang diwariskan, diulang, dan akhirnya terasa “normal”.
Dalam politik Indonesia, habitus itu bernama korupsi.
Sejak awal, pejabat negeri ini belajar bahwa kekuasaan bukanlah pelayanan, melainkan akses ke sumber daya. Bahwa jabatan bukan amanah, melainkan hak istimewa untuk membagi rente. Bahwa setoran, uang pelicin, dan loyalitas politik adalah mekanisme bertahan hidup. Korupsi menjadi bagian dari logika kekuasaan—terlarang di teks hukum, tapi wajar dalam praktik sehari-hari.
Michael Johnston, seorang ilmuwan politik Amerika, menulis tentang empat sindrom korupsi. Pertama, influence market, yang lazim di negara maju: pengaruh politik dijual ke korporasi. Kedua, elite cartel: elite berbagi rente dalam kesepakatan diam-diam. Ketiga, oligarchs and clans: patron lokal membangun dinasti. Keempat, official moguls: pejabat berkuasa mutlak memperkaya diri.
Indonesia, sialnya, mengidap semuanya.
Di Jakarta, sindrom elite cartel menampilkan wajahnya: partai-partai bersekongkol dalam koalisi besar, berbagi kursi dan proyek. Di daerah, oligarchs and clans tumbuh subur: anak, menantu, ipar, semua bergantian menjadi bupati. Sementara di puncak kekuasaan, tak jarang muncul official moguls: pejabat tinggi yang menentukan kontrak infrastruktur dengan pena yang bisa menggerakkan triliunan rupiah.
Korupsi, dengan begitu, tak lagi berdiri sebagai kasus per kasus. Ia menjelma jadi ekosistem, atau seperti yang kerap dikatakan, kanker. Perbedaannya jelas: sebuah kasus bisa diselesaikan dengan operasi. Kanker, sebaliknya, menyebar ke seluruh tubuh, merusak jaringan, dan membuat tubuh itu hidup dalam sakit yang permanen.
Di titik ini, kita perlu jujur: korupsi di Indonesia bukanlah anomali. Ia adalah normalitas yang dibentuk oleh habitus.
Bourdieu mengingatkan: habitus terbentuk dari sejarah panjang, dari struktur yang memaksa. Orde Lama menanamkan logika bahwa perusahaan negara adalah sumber patronase. Orde Baru menyempurnakannya dengan patronase terpusat. Reformasi melanjutkannya dengan patronase terdesentralisasi. Dari struktur itulah lahir pejabat yang permisif, oportunis, kompromistis. Mereka mungkin mengutuk korupsi di depan mimbar, tapi membisiki bawahannya untuk menyiapkan dana taktis.
Habitus itu direproduksi setiap kali pejabat naik jabatan dengan membeli tiket politik. Ia direproduksi setiap kali kontraktor menyiapkan amplop untuk memenangkan tender. Ia direproduksi setiap kali masyarakat menganggap “uang rokok” sebagai hal biasa. Inilah mengapa pemberantasan korupsi sering gagal: yang dilawan bukan hanya orang, melainkan struktur sosial yang telah menjadikan korupsi sebagai kebiasaan “alami”.
Tapi apakah kita harus menyerah?
Tidak. Justru di sinilah perlunya keberanian untuk mengubah habitus. Dan itu hanya mungkin bila struktur yang membentuknya diguncang.
Pertama, politik. Biaya politik mahal adalah akar patronase. Selama partai dibiayai oleh sponsor gelap, pejabat akan terus merasa berhak mengambil “balik modal”. Maka pembiayaan partai harus diatur ulang, dengan subsidi negara yang transparan.
Kedua, birokrasi dan BUMN. Jabatan harus diberikan berdasarkan merit, bukan patron. Bila direksi BUMN terus diperlakukan sebagai hadiah politik, habitus pejabat akan tetap oportunis. Kita perlu sistem seleksi yang diawasi publik, terbuka, dan berbasis kinerja.
Ketiga, transparansi. Korupsi hidup dalam gelap. Maka anggaran, kontrak, dan laporan harus dibuka. Teknologi digital memungkinkan itu: e-procurement, blockchain, audit publik. Tanpa keterbukaan, habitus lama akan tetap berkuasa.
Keempat, hukum. Hukuman harus konsisten, tanpa pandang bulu. Kita memerlukan shock therapy. Penjara tidak cukup; aset harus disita. Korupsi harus dipukul di jantungnya: insentif ekonomi.
Kelima, budaya publik. Masyarakat pun harus ikut. Selama rakyat masih berkata “biar sedikit asal kebagian”, selama jual-beli suara dianggap lumrah, habitus korupsi akan terus dipelihara. Pendidikan politik harus menanamkan etika pelayanan, bukan sekadar aturan.
Rasanya memang terlalu berat. Seperti ingin mengangkat gunung. Tapi sejarah mengajarkan bahwa habitus bisa berubah bila ada rupture dalam struktur. Tiongkok berhasil menanam habitus baru melalui kaderisasi partai dan disiplin kolektif. Botswana dan Rwanda mengubah arah dengan penegakan hukum yang keras dan kepemimpinan yang berani. Indonesia pun pernah mencicipi itu: ketika KPK berdiri dengan taring tajam di awal 2000-an, ada rasa takut di kalangan pejabat. Sayang, gigi itu kemudian dipatahkan.
Hari ini, kita kembali pada pilihan lama: menyerah pada habitus korupsi, atau berani mengguncang strukturnya.
Korupsi di Indonesia bukanlah cerita tentang beberapa tikus yang mencuri di lumbung padi. Ia adalah cerita tentang lumbung yang sejak awal dibangun tanpa dinding kokoh, sehingga semua orang merasa wajar untuk mengambil segenggam. Dari pejabat tinggi sampai rakyat kecil, semua pernah merasakan dan membenarkannya.
Tetapi sebuah bangsa tidak bisa dibangun di atas normalitas korupsi. Ia akan terus pincang, tersandera, tak beranjak.
Maka, barangkali inilah saatnya kita berkata: cukup sudah. Saatnya membangun struktur yang memaksa lahirnya habitus baru—habitus pelayanan, bukan rente; habitus keterbukaan, bukan kompromi; habitus keberanian, bukan asal aman.
Tanpa itu, republik ini akan terus hidup dengan kanker yang pelan-pelan melumpuhkan. Dan sejarah hanya akan menulis kita sebagai bangsa yang tak pernah berani melawan dirinya sendiri.
Cimahi, 13 September 2025
EDITOR: REYNA
Related Posts

Zohran Mamdani adalah Pahlawan Kita

Soeharto, Satu-satunya Jenderal TNI Yang 8 Kali Jadi Panglima

Pro-Kontra Soeharto Jadi Pahlawan Nasional: Antara Rekonsiliasi dan Pengkhianatan Reformasi

Kasusnya Tengah Disidik Kejagung, Sugianto Alias Asun Pelaku Illegal Mining Kaltim Diduga Dibacking Oknum Intelijen

Habib Umar Alhamid: Waspada, Ombak dan Badai Bisa Menerpa Pemuda-Pemudi Indonesia

Novel “Imperium Tiga Samudra” (Seri 2) – Langit di Atas Guam

OKI mendesak Dewan Keamanan untuk mendukung keanggotaan penuh Palestina di PBB

Jokowi, Pratikno dan Prabowo Bisa Terbakar Bersama – sama

Pongah Jadi Menko Tiga Kali

Jihad Konstitusi Kembali ke UUD 18/8/1945



No Responses