Oleh: Daniel Mohammad Rosyid @KITA
Gerakan reformasi 1998 telah mempertaruhkan nasib Republik ini pada sekelompok kaum sekuler liberal dan kiri radikal, memperalat kaum nasionalis sebagai useful idiots dengan mengganti UUD 18/8/1945 melalui serangkaian perubahan ugal-ugalan menjadi UUD 10/8/2002. Seperti yang ditangisi GM, Butet dkk, UUD baru itu telah melahirkan Jokowisme : korporatokrasi, korupsi yang meluas dan mendalam, hutang yang menggunung, polisi dan KPK sebagai instrumen presiden untuk menjinakkan lawan-lawan politiknya, dan resentralisasi melalui UU Omnibus Law Cipta Kerja. Kaum reformis memimpikan demokrasi, bebas korupsi, dan desentralisasi. Yang mereka terima adalah sebaliknya.
Kaum reformis itu bak Kurawa sesaat memang telah memenangkan perjudian itu, namun kemudian setelah 10 tahun terakhir melalui lakon Petruk Dadi Ratu, mereka sendiri terbukti bangkrut. Monopoli politik radikal oleh partai politik dan monopoli kamtibmas oleh polisi di bawah Presiden Jokowi adalah pliket UUD 10/8/2002 yang paling sulit dibersihkan oleh presiden Prabowo Subiyanto saat ini. Ketiga cabang pemerintahan justru menjadi excecuthieves, legislathieves, dan judicathieves.
Demokrasi yang diimpikan kaum reformis ternyata menjadi korporatokrasi mbelgedhes. Saat politik makin langka, dan mahal, maka hanya kaum berduit atau yang disokong taipan yang mampu hidup di jagad politik Republik. Partai politik yang ujug-ujug muncul dalam UUD 10/8/2002 itu menjadi non-state actors yang paling berbahaya. Persis seperti sinyalemen Noam Chomski : parpol adalah organisasi yang paling berbahaya di planet ini, bukan ISIS, atau Al Qaeda. Apalagi HTI atau FPI. Monopoli politik oleh parpol ini harus segera dihentikan.
Karena tidak memiliki latar belakang Parpol, Jokowi telah memperalat polisi sebagai parpol terselubung dengan kemampuan yang makin mematikan sekaligus mesin uang yang sangat efektif. Di samping untuk menjinakkan lawan-lawan politiknya seperti Megawati, Jokowi juga memanfaatkannya untuk menggalang dukungan para konglomerat taipan untuk mendukung logistik Polri dan, kemudian Partai Solidaritas Indonesia. Jokowi belajar dari Prabowo yang mendirikan Gerindra, namun berbeda motivasinya.
Baik parpol dan parcok adalah dua lembaga yang kini paling miskin kepercayaan publik karena dipandang sarat dengan praktek koruptif. Setelah KPK dilumpuhkan melalui UU pembentukannya, agenda pemberantasan korupsi makin jelas jauh panggang dari api. Korupsi sebagai extra-ordinary crimes telah memangkas kemampuan negara untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, serta ikut serta membangun ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Ini berati membajak tujuan Republik ini yang didirikan oleh para ulama dan cendekiawan pendiri bangsa pada 17/8/1945 sebagai amanat UUD 18/8/1945.
Melalui UU Omnibus Law Cipta Kerja, agenda desentralisasi dibegal atau dilaksanakan setengah hati. Pengerukan berbagai sumberdaya alam di seluruh pelosok Republik dilakukan semakin ekstraktif oleh sekelompok elite parpol yang berada di sekitar Istana di Jakarta dengan menarik kembali kewenangan daerah. Geliat ketidakpuasan daerah atas praktek-paktek resentralisasi ini makin menguat akhir-akhir ini. Saat derah-daerah yang kaya sumberdaya alam itu dilihat Jakarta sebagai asset, orang-orang daerah di Aceh, Riau, Maluku, atau Papua, makin dilihat sebagai liabilities.
Telah terjadi keterbelahan yang makin parah selama 25 tahun reformasi ini. Tidak saja elite makin jauh dari wong cilik, Jakarta makin jauh dari Halmahera atau Natuna, manusia Indonesiapun makin jauh dari Tuhannya. Rasio Gini bertahan di sekitar 0.4, kesenjangan konsumsi energi perkapita makin jomplang. Prabowo telah menjadikan agenda pemberantasan korupsi yang sangat penting, sambil mengubah kebijakan fiskal yang makin berpihak pada UMKM. Untuk memacu pertumbuhan tinggi sekitar 7-8 % pertahun yang inklusif selama 10 tahun ke depan, sektor maritim perlu lebih diprioritaskan terutama dengan menghadirkan pemerintahan di laut yang lebih efektif. Penguatan desentralisasi ke daerah-daerah otonom memerlukan program maritime mainstreaming agar pembangunan lebih merata sekaligus memgurangi beban pembangunan di darat, terutama di P. Jawa.
Perjudian kaum reformis ala UUD 10/8/2002 itu telah gagal membawa cita-cita proklamasi untuk menjadi bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. KITA sebagai Pandawa perlu mengkonsolidasikan semua potensi, aspirasi, dan aksi rakyat semesta sebagai modal budaya bangsa untuk membersamai presiden Prabowo agar berani kembali menegakkan amanat UUD 18/8/1945.
Surabaya, 6 Oktober 2025
EDITOR: REYNA
Related Posts
“Perang” terhadap mafia dan penunjukan strategis: Analisis Selamat Ginting
20 Oktober: Hari yang Mengubah Lintasan Sejarah Indonesia dan Dunia
Vatikan: Percepatan perlombaan persenjataan global membahayakan perdamaian
Hashim Ungkap Prabowo Mau Disogok Orang US$ 1 Miliar (16,5 Triliun), Siapa Pelakunya??
Pembatasan ekspor Mineral Tanah Jarang Picu Ketegangan Baru China-AS
Penggunaan kembali (kemasan) dapat mengurangi emisi hingga 80%, kata pengusaha berkelanjutan Finlandia di Forum Zero Waste
Bongkar Markup Whoosh – Emangnya JW dan LBP Sehebat Apa Kalian
Kinerja Satu Tahun Presiden Prabowo dalam Perspektif Konstitusi
Ketegangan antara Kapolri dan Istana: Dinamika di Balik Penundaan Tim Reformasi Kepolisian
Purbaya vs Luhut: Ketegangan di Balik Kebijakan Fiskal dan Investasi
No Responses