JAKARTA — Pagi itu, Istana tampak biasa saja. Namun, di ruang rapat terbatas yang digelar tertutup, Presiden secara resmi memutuskan mengganti dua menteri strategis: Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) serta Menteri Keuangan Sri Mulyani. Keputusan ini sontak mengguncang lanskap politik nasional.
Bagi publik, alasan resmi yang dikemukakan Istana adalah “penyegaran kabinet” untuk menghadapi tantangan tahun terakhir pemerintahan. Namun, di balik layar, sumber dari lingkaran dalam mengungkapkan kisah yang jauh lebih kompleks — sebuah pertarungan kepentingan yang melibatkan blok kekuasaan, militer, dan jaringan pengusaha besar.
Menkopolhukam: Tekanan dari Fraksi Keras
Posisi Menkopolhukam selama ini menjadi benteng utama dalam penegakan hukum, koordinasi keamanan, dan stabilitas politik. Namun, dalam beberapa bulan terakhir, kementerian ini disebut kerap “tidak sejalan” dengan strategi kelompok tertentu yang menginginkan kebijakan keamanan lebih keras, terutama pasca gelombang demonstrasi besar dan isu Darurat Militer.
Menurut salah satu pejabat senior di Kementerian Pertahanan, friksi mulai terlihat ketika Menkopolhukam menolak rencana pengamanan ekstra yang dinilai bisa melanggar hak-hak sipil. Penolakan ini berujung pada tekanan politik yang datang dari parlemen hingga pimpinan partai koalisi.
“Menkopolhukam dinilai terlalu netral dan enggan menjalankan agenda politik tertentu. Itu menjadi alasan utamanya diganti, meski alasan resminya adalah rotasi biasa,” ujar sumber tersebut.
Penggantinya disebut memiliki latar belakang militer aktif dan hubungan dekat dengan tokoh senior di lingkaran inti kekuasaan. Hal ini diprediksi akan memperkuat koordinasi lintas aparat keamanan, tapi juga meningkatkan kekhawatiran akan pendekatan hardline dalam mengelola konflik.
Sri Mulyani: Benteng Fiskal yang Terlalu Kuat
Sri Mulyani dikenal sebagai figur teknokrat yang teguh mempertahankan disiplin fiskal. Dalam beberapa rapat kabinet, ia dilaporkan menolak sejumlah proyek infrastruktur raksasa yang dianggap “kurang layak secara ekonomi” atau “terlalu membebani utang negara.”
Penolakan tersebut berhadapan langsung dengan kepentingan kelompok pengusaha besar yang terhubung ke partai politik penguasa. Beberapa proyek strategis, termasuk perluasan pelabuhan dan konsorsium energi, terhambat akibat sikap hati-hati Menteri Keuangan ini.
Seorang anggota DPR dari komisi keuangan menyebut,
“Banyak pihak merasa frustrasi. Sri Mulyani dianggap menghalangi arus modal untuk proyek-proyek besar yang punya kepentingan politik dan bisnis di baliknya.”
Selain itu, tekanan publik terkait defisit anggaran dan subsidi energi ikut dijadikan alasan “penyegaran” di kementerian keuangan. Namun, sejumlah analis ekonomi menilai keputusan mengganti Sri Mulyani lebih bermotif politik ketimbang kinerja teknis.
Pertarungan Blok Kekuasaan
Dari sudut pandang politik, reshuffle ini memperjelas pembelahan kekuasaan di sekitar Presiden. Ada tiga blok utama yang disebut memainkan peran besar:
Blok Militer & Keamanan – Menginginkan kebijakan keamanan yang lebih keras dan memperluas pengaruh dalam urusan politik domestik.
Blok Politik Partai – Mendorong penempatan figur loyalis di pos-pos strategis menjelang tahun politik.
Blok Bisnis Infrastruktur – Menekan agar proyek-proyek besar mendapat restu dan pendanaan tanpa hambatan teknokratis.
Lengsernya Menkopolhukam memberi keuntungan langsung bagi blok militer, sementara digantinya Sri Mulyani menjadi kemenangan bagi blok bisnis dan partai politik yang menginginkan ruang fiskal lebih longgar untuk agenda populis.
Konsekuensi ke Depan
Meski reshuffle ini disebut untuk “memperkuat stabilitas,” sejumlah pakar menilai langkah ini justru berpotensi memicu ketidakpastian.
Di bidang keamanan, pendekatan hardline yang mungkin diambil pengganti Menkopolhukam dapat memicu eskalasi ketegangan sosial jika tidak diimbangi dialog. Sementara di bidang fiskal, hilangnya figur seperti Sri Mulyani bisa membuka peluang ekspansi anggaran besar-besaran yang menguntungkan proyek jangka pendek, namun berisiko menambah beban utang negara.
Pertarungan Belum Usai
Sumber internal menyebut reshuffle ini bukan akhir, melainkan awal dari konsolidasi besar-besaran menuju akhir masa pemerintahan. Beberapa kementerian lain, terutama yang mengelola sumber daya alam dan komunikasi, disebut-sebut masuk radar perubahan berikutnya.
Di mata publik, drama reshuffle ini mungkin sekadar pergantian wajah. Namun bagi para pemain di belakang layar, ini adalah babak baru dari pertarungan senyap untuk menguasai peta kekuasaan Indonesia di masa transisi politik yang penuh ketidakpastian.
EDITOR: REYNA
Related Posts

OKI mendesak Dewan Keamanan untuk mendukung keanggotaan penuh Palestina di PBB

Jokowi, Pratikno dan Prabowo Bisa Terbakar Bersama – sama

Pongah Jadi Menko Tiga Kali

Jihad Konstitusi Kembali ke UUD 18/8/1945

Yahya Zaini Dukung Konsep “School Kitchen” Untuk MBG Yang Aman dan Dekat Anak

Ada Pengangkutan Belasan Ton Limbah B3 Asal Pertamina Tanjunguban dengan Tujuan Tak Jelas

Lho Kok Hanya Peringatan Keras…?

Yahya Zaini: Tidak Ada Instruksi DPP Golkar Untuk Laporkan Pembuat Meme Bahlil

Menjadi Santri Abadi

Pendemo Desak KPK Periksa Ketua Komisi VIII DPR RI Terkait Skandal Kuota Haji 2024



No Responses