Avivah Wittenberg-Cox : Pemimpin Perempuan Dunia Menunjukkan Kapasitasnya Hadapi Corona

Avivah Wittenberg-Cox : Pemimpin Perempuan Dunia Menunjukkan Kapasitasnya Hadapi Corona
Pemimpin Jerman, Angela Merkel

Oleh : Avivah Wittenberg-Cox

Pendiri dan CEO 20-First,

Tiga hari lalu, Forbes memuat tulisan menarik. Sebuah opini ilmiah dari Avivah Wittenberg-Cox.

Dia adalah pendiri dan CEO 20-First, sebuah lembaga konsultan yang berfokus pada keadilan gender, budaya, kepemimpinan dan bisnis. Avivah kerap mengunggah tulisannya tentang kehidupan perempuan dan relationship.

Selama berpuluh tahun, dia berfokus pada dunia itu. Dia menulis beberapa buku menarik dengan tema serupa, seperti “Why Women Mean Business”, “Seven Steps to Leading a Gender-Balanced Business”, dan sebagainya.

Kemarin saya membaca tulisannya yang renyah itu. Tulisan tentang kemampuan para pemimpin dunia menghadapi krisis karena Corona.

Pemimpin dunia, kata Avivah, hari-hari ini sedang mengalami ujian kapasitas. Dan kita warga dunia dengan mudah dapat menilai siapa yang memiliki kemampuan untuk memimpin negaranya masing-masing.

Kesimpulan utama Avivah. Dari sekian banyak pemimpin populer di berbagai belahan dunia, perempuan-perempuan pemimpin di banyak negara justru membuktikan kapasitasnya ketika menghadapi wabah Corona.

Kesimpulan Avivah beralasan. Dan memang ada buktinya.

Lihat Jerman. Di awal krisis, ketika wabah mulai menyebar di Eropa, Kanselir Jerman Angela Merkel, berdiri di depan menyampaikan kepada warganya tentang seriusnya masalah ini. “Ini bisa menginfeksi hingga 70% populasi”, katanya.

Lihat Taiwan. Di awal ketika pandemi menyebar di Wuhan dan Hubei di negara sebelah di Mainland, Tsai Ing-wen, presiden negara tersebut yang kebetulan perempuan merespon dengan cepat.

Mulai dari mengkomandoi pergerakan Pusat Komando Kesehatan Nasional (NHCC); lembaga permanen yang dibuat sejak wabah SARS 2003, melarang perjalanan, melakukan kontrol ketat perbatasan, hingga memproduksi masker secara besar-besaran.

Total sejak 31 Desember hingga 21 Februari ada 124 langkah aksi strategis yang dilakukan Taiwan dibawah Tsai. 124 langkah aksi ini didokumentasikan dengan rapi -salah satunya- oleh American Medical Assosiaton dan menjadi pelajaran penting bagaimana sebuah negara tanggap pada wabah.

Lain lagi dengan Selandia Baru. Perdana Menteri Jacinda Ardern yang kharismatik itu, dipuji oleh banyak peneliti komunikasi massa dan pengamat politik dari beberapa perguruan tinggi karena langkahnya yang taktis sekaligus menenangkan.

Sejak awal wabah, Ardern mulai berkomunikasi secara terbuka kepada publik, menyerap masukan, melakukan langkah-langkah isolasi dengan dialog, membuka percakapan umum di banyak platform media sosial, dan mensosialisasikan kepada warga bagaimana bersama-sama menghadapi Corona lewat satu pusat informasi terpadu.

Oleh Suze Wilson, peneliti senior di Massey University, Ardern mendapat pujian dengan kalimat “Jacinda Ardern’s coronavirus response has been a masterclass in crisis leadership”.

Oleh Michael Baker, Profesor Kesehatan Masyarakat Universitas Otago, langkah Ardern dipuji dengan kata-kata “langkah Selandia Baru (dalam menghadapi Corona) semakin jelas setiap harinya”.

Lain Jerman, Taiwan dan NZ, lain lagi Islandia dan Norwegia.

Katrin Jakobsdottir, PM Islandia berusia muda yang baru 2 tahun memerintah itu, rupanya tak gagap menghadapi wabah. Dia perintahkan pengujian Corona gratis untuk warganya tanpa terkecuali, melakukan screening berulang kepada semua warga, dan petugas proaktif mendatangi warga di seluruh spot aktivitas.

Kalau Erna Solberg, PM Norwegia beda lagi pendekatannya. Dia gunakan televisi dan berbicara dengan anak-anak di berbagai tempat di negaranya. Apresiasinya bukan mendapatkan sepeda atau apa. Tapi ini benar-benar pendekatan hati ke hati.

Dia bercerita dengan sentuhan keibuan tentang bagaimana seorang anak membantu keluarganya menghadapi Corona. Dan itu menyentuh seluruh warga. “It is OK to be scared when so many things happen at the same time”, katanya.

Anak-anak Norwegia antusias. Mereka merasa tenang. Beberapa pertanyaan menggelitik. “Bisakah saya kunjungi kakek-nenek saya?”, “Berapa lama dibutuhkan untuk membuat vaksin?”, atau “Apa yang bisa saya lakukan untuk membantu?”. Lihat?. Mereka tertarik untuk terlibat.

Saya sedang tidak menggiring opini bahwa pemimpin perempuan lebih baik. Terutama ketika menghadapi krisis. Tapi memang, sosok-sosok perempuan pemimpin, sedang menemukan cakrawala kecemerlangannya justru di saat ini.

Kita punya sosok hidup yang menariknya sama dengan sosok pemimpin perempuan yang -entah kenapa dalam beberapa tahun terakhir- menjadi tren di film-film serial, seperti Daenerys Targaryen di “GOT”, Claire Underwood di “House of Cards”, dan Clarke Griffin di “The 100”.

Lalu, apakah pemimpin pria di dunia ini tidak menemukan kecemerlangannya di masa krisis sekarang? Beberapa ada. Ada Lee Hsien Loong yang menenangkan di Singapura, atau Moon Jae-in yang trengginas langkahnya di Korea Selatan.

Seperti yang saya sampaikan di awal. Ini ujian kapasitas.

Belajar dari berbagai pengalaman pemimpin banyak negara yang mampu menghadapi Corona, setidaknya kita dapat mengambil kesimpulan sela;

Pertama, pemimpin di saat krisis mayoritas adalah orang yang lama ditempa di partai dan di berbagai pergerakan dan organisasi politik yang kental dengan isu-isu kerakyatan. Gagasan dan pikirannya diuji sejak muda.

Angela Merkel terlibat di CDU sejak 1989. Ia lama berkecimpung dalam isu reformasi layanan kesehatan dan gagasan seputar pengembangan energi masa depan. Sebagai Presiden Dewan Eropa, dia pernah menangani krisis keuangan Eropa pada 10 tahun yang lalu.

Tsai terlibat di Partai Progresif Demokratik sejak 2004. Banyak mengeluarkan gagasan segar tentang arah Taiwan. Dia ingin Taiwan seluruhnya lepas dan berdikari dari China.

Jacinda Ardern sudah lama berjibaku menjadi aktivis partai Buruh. Ia sering berdemonstrasi membela kearifan lokal dan hak ulayat. Ia juga terlibat serius dalam isu perubahan iklim di negaranya.

Kedua, punya intelektualitas dan mengerti persoalan yang dihadapi negaranya.

Saya tidak sedang berbicara tentang gelar akademik, walaupun kita tahu Erna Solberg sosiolog dan mengerti statistik, Ardern jebolan komunikasi politik, dan Tsai mantan dosen bidang hukum dan perdagangan internasional. Bukan itu.

Tapi kemampuan membaca situasi, kemampuan mengerti persoalan, pembelajar cepat yang mampu merumuskan solusi dalam setiap persoalan adalah kemampuan yang bisa dipelajari. Pemimpin itu pandangannya luas tentang sesuatu.

Kalau tidak mengerti persoalan, maka akan dengan mudah menjawab sekenanya masalah Corona ini. Mulai dari “negara kita tidak mungkin kena Corona”, atau “itu merk mobil ya?”. Nampak lucu, tapi sebenarnya gambaran dari wajah orang yang tidak mengerti persoalan yang dihadapi. Atau ignorant (tidak mau tahu).

Kalau pemimpin mengerti persoalan, dia akan mampu menggerakkan seluruh sumberdaya, memetakan langkah taktis dan strategis, menentukan prioritas yang harus dilakukan, dan membuat peta jalan yang akan dilalui oleh bangsa ini. Setidaknya sampai krisis mereda.

Ketiga, keterbukaan. Sejak awal krisis, Merkel sampaikan dengan terbuka dan tegas tapi juga rileks. “Kita sedang akan menghadapi bahaya besar. Mari bersiap. Saya akan melakukan beberapa hal. Tolong bantu”. Semuanya akan mudah kalau dari awal terbuka.

Keempat, kemampuan untuk berkomunikasi dan melakukan pendekatan kepada rakyat. Dalam situasi krisis, kemampuan berkomunikasi dan menyentuh hati rakyat sangat diperlukan. Rakyat butuh ketenangan. Dan itu syaratnya keyakinan dan kepastian.

Kelima, empati dan cinta. Ini perasaan genuine yang harus dimiliki pemimpin. Seberapa ahli anda memermak diri anda dengan bedak tebal, rakyat tahu anda cinta atau tidak dengan mereka. Soal empati dan cinta ini tak bisa dibuat-buat.

Keenam, teknologi dan ilmu pengetahuan. Pemimpin yang berhasil di saat krisis, semuanya memanfaatkan teknologi untuk banyak hal; berkomunikasi kepada rakyat, membuat pusat informasi, membangun jalur instruksi, membuat data valid terkait Corona, meninjau progres penanganan dan sebagainya.

Ada inovasi pengetahuan di berbagi negara yang berhasil tersebut yang sebenarnya sederhana, tapi bisa dikembangkan. Seperti ‘electronic monitoring quarantined’ berbasis aplikasi di gawai yang diberlakukan di Taiwan. Atau penentuan level tanda bahaya berdasarkan situasi di New Zealand.

Untuk pemimpin. Siapapun. Kalau anda tak punya itu semua dan tidak belajar cepat tentang kesuksesan dari pemimpin-pemimpin di saat krisis ini, jangan harap anda akan mampu menghadapi semua masalah dan akan dianggap oleh orang.

Saya tadi pagi menonton ulang film “Darkest Hour”, karena saya senang dengan pidato Churchill, terutama ketika berkata; “We shall never surrender”.

BP.

Dhuha, 18 April 2020

Last Day Views: 26,55 K
Tags:

6 Responses

  1. Japanese modelsNovember 17, 2024 at 7:47 am

    … [Trackback]

    […] Read More Information here on that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/rocky-gerung-kasus-belva-seperti-sebaran-virus-corona-yang-tidak-terlihat-tapi-berbahaya/ […]

  2. pgslotDecember 6, 2024 at 9:16 pm

    … [Trackback]

    […] Find More on to that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/rocky-gerung-kasus-belva-seperti-sebaran-virus-corona-yang-tidak-terlihat-tapi-berbahaya/ […]

  3. Telegram中文版下载December 25, 2024 at 5:34 am

    … [Trackback]

    […] Read More on to that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/rocky-gerung-kasus-belva-seperti-sebaran-virus-corona-yang-tidak-terlihat-tapi-berbahaya/ […]

  4. สล็อต เครดิตฟรีJanuary 3, 2025 at 10:36 pm

    … [Trackback]

    […] Find More Information here to that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/rocky-gerung-kasus-belva-seperti-sebaran-virus-corona-yang-tidak-terlihat-tapi-berbahaya/ […]

  5. upx1688.siteJanuary 4, 2025 at 2:35 pm

    … [Trackback]

    […] Read More on to that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/rocky-gerung-kasus-belva-seperti-sebaran-virus-corona-yang-tidak-terlihat-tapi-berbahaya/ […]

  6. รับจดทะเบียน อยFebruary 1, 2025 at 7:05 am

    … [Trackback]

    […] There you can find 56791 more Information to that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/rocky-gerung-kasus-belva-seperti-sebaran-virus-corona-yang-tidak-terlihat-tapi-berbahaya/ […]

Leave a Reply