Serial Novel “Imperium Tiga Samudra” (1) – Peta Baru di Samudra Pasifik

Serial Novel “Imperium Tiga Samudra” (1) – Peta Baru di Samudra Pasifik

Oleh: Budi Puryanto

 

Langit Jakarta tampak bening pagi itu, tapi di ruang kerja Presiden Pradipa, udara terasa berat. Di hadapannya terbentang peta dunia yang baru saja dikirim oleh Kementerian Pertahanan. Bukan sekadar peta geopolitik — melainkan peta krisis masa depan dunia.

Garis-garis merah melingkari kawasan Laut China Selatan dan Samudra Pasifik Barat.Tanda-tanda gesekan militer, jalur energi, dan lintasan kapal logistik dunia bertumpuk di sana — di wilayah tempat Indonesia menjadi jantungnya.

“Di sinilah masa depan dunia akan ditentukan,” ujar Jenderal Surya Atmaja, Kepala BIN, sambil menunjuk ke wilayah Nusantara yang membentang dari Natuna hingga Papua.

“Bukan di Timur Tengah lagi, bukan di Eropa. Dunia sedang bergeser ke Pasifik, dan semua kekuatan besar tahu itu.”

Pradipa menatap peta itu lama. Laporan intelijen yang ia terima menunjukkan peningkatan aktivitas kapal asing di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Ada yang mengatasnamakan riset oseanografi, ada pula yang membawa muatan misterius. Semuanya sama: tak ada izin resmi, tak ada koordinat yang jelas.

“Natuna menjadi titik paling rawan,” lanjut Surya.

“Kapal mereka tak hanya meneliti laut, tapi memetakan jalur bawah laut untuk pipa dan komunikasi global. Kita sedang diawasi.”

Di layar lain, grafik ekonomi dunia tampak memerah: harga pangan melonjak, suplai energi dunia terguncang. Krisis Ukraina membuat jalur logistik terganggu, sedangkan Timur Tengah kembali panas. Dunia perlahan sadar — hanya segelintir negara yang masih punya cadangan pangan dan energi besar. Salah satunya: Indonesia.

“Negeri ini sedang jadi rebutan,” ucap Menlu Nira Adiswara yang baru masuk membawa map diplomatik bertanda confidential.

“Pagi tadi Duta Besar Amerika meminta jadwal audiensi. Sore ini giliran delegasi China datang. Dua-duanya bicara soal kerja sama pangan dan energi. Tapi intinya sama: pengaruh.”

Pradipa tersenyum tipis.

“Yang mereka sebut kerja sama,” katanya perlahan, “kadang hanya cara halus untuk menguasai.”

Ia berdiri dan menatap bendera merah putih di sudut ruangan.

“Kalau dunia sedang bergeser ke Pasifik,” ujarnya mantap, “maka Indonesia tidak boleh hanya jadi penonton. Kita harus jadi pemain utama.”

Suasana hening sejenak. Lalu Surya membuka berkas tambahan.

“Pak Presiden, ada satu hal lagi… laporan intercept dari Satelit Cakra menemukan sinyal komunikasi rahasia dari kapal berbendera Panama yang berlabuh di perairan Natuna Utara.”

“Siapa pengirimnya?” tanya Pradipa cepat.

“Belum pasti, tapi kode yang digunakan mirip dengan jaringan lama yang dulu dipakai oleh Gema Rakarsa,” jawab Surya hati-hati. Nama itu seketika membuat ruangan menjadi dingin.

Gema Rakarsa — mantan Wakil Presiden, dulu sekutu terdekat Pradipa, yang kini menghilang entah ke mana setelah kegagalannya di babak krisis sebelumnya. Isu beredar bahwa ia kini bekerja di bawah jaringan ekonomi global yang beroperasi di kawasan Pasifik.

Pradipa menatap layar yang menampilkan peta Natuna.

“Kirim tim pengintai,” katanya pelan.

“Gunakan kapal sipil. Jangan sampai dunia tahu kita bergerak.”

“Baik, Pak,” jawab Surya. “Kita akan gunakan sandi operasi: Cendrawasih Hitam.”

Di laut Natuna, sore itu, kapal nelayan tua berwarna abu-abu melaju pelan. Di dalamnya bukan nelayan biasa, melainkan agen-agen intelijen laut. Mereka memantau gelombang radio dan sinyal radar asing yang keluar dari kapal besar di horizon — kapal berbendera Panama dengan sinyal komunikasi terenkripsi.

Ketika malam turun, salah satu operator melaporkan.

“Pak, sinyal sudah jelas. Transmisi dikirim ke koordinat di utara Pasifik. Dan… ada satu pesan teks yang sempat kita tangkap sebelum terenkripsi penuh.”

“Apa isinya?”

Operator itu menelan ludah, lalu membaca pelan.

“Langkah pertama menuju Pax Pacifica telah dimulai.”

Di Jakarta, Pradipa menatap ke arah jendela Istana, di mana bulan purnama memantul di atas Monas. Ia tahu, itu bukan sekadar pesan biasa. Itu deklarasi diam-diam dari kekuatan asing bahwa mereka siap mengatur ulang dunia — dimulai dari Pasifik.

Dan di tengah bayangan itu, Indonesia berdiri — sendirian, tapi tidak tunduk.

Operasi Cendrawasih Hitam

Malam menurunkan tirainya di perairan Natuna Utara. Gelombang laut bergulung pelan, sementara di kejauhan, siluet sebuah kapal besar berbendera Panama melayang di kabut.

Di atas dek kapal nelayan tua yang tampak lusuh, empat orang pria duduk dalam diam. Mereka bukan nelayan biasa — melainkan tim khusus gabungan BIN dan TNI AL yang dikenal dengan sandi Cendrawasih Hitam.

Kapten operasi mereka, Letkol Bayu Arga, menatap radar portabel yang memantulkan sinyal samar.

“Target tetap di posisi. Tapi sinyal komunikasinya aktif terus. Mereka mengirim paket data ke server satelit yang tidak terdaftar,” ujarnya.

Seorang agen muda, Rafi, menimpali, “Jalur datanya menuju ke Pasifik Utara, Kapten — tepat ke arah Guam.”

Bayu diam sesaat. Guam — pangkalan strategis Amerika di Pasifik. Tapi pengirim sinyal adalah kapal dengan awak campuran: sebagian Asia, sebagian Eropa Timur. Skenarionya jauh lebih rumit dari dugaan awal.

“Jangan dekati dulu. Kita tunggu instruksi Jakarta,” kata Bayu.

Ia lalu menatap layar kecil yang menampilkan gambar dari drone mini di udara. Dari kamera termal, tampak aktivitas aneh di dek kapal Panama itu: beberapa kontainer sedang dipindahkan, dijaga orang bersenjata.

Di Jakarta, pukul 23.45, ruang kendali di Gedung BIN dipenuhi cahaya layar biru. Presiden Pradipa hadir secara langsung malam itu — langkah yang jarang terjadi. Di sampingnya, Jenderal Surya Atmaja dan Menlu Nira Adiswara berdiri dengan wajah tegang.

Satelit Cakra memancarkan gambar real-time. Surya menunjuk layar.

“Ini bukan kapal biasa, Pak. Berdasarkan tanda logistiknya, kapal itu sebelumnya digunakan dalam proyek distribusi LNG internasional. Tapi data manifes-nya dihapus total. Ada dugaan kuat mereka menyamarkan pengiriman peralatan bawah laut — semacam node komunikasi baru.”

“Node komunikasi?” tanya Nira. Surya mengangguk.

“Ya. Perangkat untuk mengendalikan arus data lintas samudra. Jika benar, ini bisa jadi bagian dari proyek Pax Pacifica — skema global untuk menguasai jalur data, energi, dan logistik Pasifik. Dan jika Indonesia tidak terlibat, kita akan dikendalikan dari luar tanpa sadar.”

Pradipa terdiam, menatap layar. Lalu berkata datar, “Aktifkan izin intercept. Kita harus tahu isi transmisi mereka malam ini.”

Beberapa detik kemudian, Nira, operator siber mulai bekerja. Kode-kode acak meluncur di layar. Hingga akhirnya, satu kalimat terbuka, separuh rusak, separuh jelas:

“Gema sudah menandatangani Phase II di Taipei. Integrasi selatan segera.”

Nira menatap Pradipa, wajahnya memucat. “Gema Rakarsa?”

Surya mengangguk pelan. “Kemungkinan besar. Dan ‘integrasi selatan’ mungkin maksudnya wilayah ASEAN bagian bawah — termasuk Indonesia.”

Sementara itu di Natuna, Kapten Bayu menerima pesan terenkripsi:

“Lanjutkan operasi. Amankan satu kontainer. Identifikasi tanpa kontak langsung.”

Tim Cendrawasih Hitam bergerak dalam diam. Drone laut kecil dilepaskan dari bawah kapal mereka, menyusup ke sisi lambung kapal Panama.

Dari kamera bawah air, tampak lambang samar di badan kontainer: VIREX Global Consortium, perusahaan energi transnasional yang terdaftar di Belanda namun memiliki cabang di Seoul, Taipei, dan Dubai.

Bayu mengenali logo itu. Itulah perusahaan yang dulu bekerja sama dengan Menteri Energi pada masa Gema Rakarsa menjabat sebagai Wakil Presiden — sebelum kudeta gagal memecah pemerintahan.

Mereka menunggu hingga tengah malam. Saat penjaga di dek kapal Panama berubah giliran, Rafi dan dua agen lain menyelam diam-diam mendekat. Gelombang kecil menampar lambung kapal, suara jangkar berderak pelan.

Rafi menempelkan alat sensor ke salah satu kontainer, membaca kandungannya lewat scanner termal.

“Tuhan…” bisiknya. “Ini bukan bahan bakar atau logistik.”

“Lalu apa?” tanya Bayu lewat komunikasi internal.

“Reaktor kecil… semacam mini fusion core portabel. Tapi dengan label experimental use.”

Bayu membeku. Sebuah reaktor mini, alat yang bisa jadi sumber energi alternatif — atau senjata, tergantung siapa pemiliknya.

“Tangkap gambar, lalu keluar,” perintah Bayu.

Namun belum sempat mereka menjauh, cahaya sorot mendadak menembus gelap malam. Sirene di kapal Panama meraung keras.

“Security alert! Underwater contact detected!”

Suara tembakan terdengar. Air laut meledak di sekitar mereka.Bayu menarik pemicu ledakan pengalih perhatian — bom suara kecil meledak di sisi barat kapal, menciptakan gelombang kejut.

“Semua keluar! Ke titik pertemuan Bravo!” teriaknya.

Drone mereka hancur, tapi data sudah dikirim.

Malam itu, tim Cendrawasih Hitam berhasil lolos, meski dua agen terluka.Namun dalam perjalanan pulang ke kapal induk, radar mereka menangkap pergerakan lain: dua kapal tanpa bendera mendekat dari utara, kemungkinan kapal patroli asing.

Bayu menghubungi Jakarta.

“Pak, operasi selesai sebagian. Tapi kami diburu. Ada dua kapal bayangan mendekat dari arah Laut China Selatan. Identitasnya belum jelas.”

Suara Surya terdengar tegas di radio.

“Bertahan, Bayu. Jangan tembak. Kita akan kirim dukungan lewat jalur sipil. Dunia tidak boleh tahu kita terlibat.”

“Baik, Jenderal. Tapi satu hal…”

“Apa itu?”

“Reaktor di dalam kontainer itu… bukan teknologi siapa pun yang pernah kita kenal. Ada cap kode campuran — Amerika, Korea, dan Rusia sekaligus.”

Di ruang kendali, Presiden Pradipa menatap layar dengan tatapan berat.

“Artinya, proyek Pax Pacifica bukan kerja satu negara,” katanya pelan.

“Itu persekutuan lintas negara. Sebuah imperium baru yang tak mengenal batas, yang ingin mengendalikan energi dan data dunia dari satu pusat kendali di Pasifik.”

Surya menatapnya. “Dan Indonesia adalah kunci terakhirnya, Pak.”

Presiden Pradipa berdiri, menatap bendera merah putih di layar.

“Kalau begitu,” katanya tenang,

“Cendrawasih Hitam baru saja membuka kotak Pandora dunia.”

BERSAMBUNG

 

EDITOR: REYNA

 

Last Day Views: 26,55 K