Oleh: Budi Puryanto
Hujan turun deras di Jakarta malam itu. Gedung-gedung kementerian tampak temaram, tapi di lantai 14 Kementerian Koordinator Perekonomian, lampu masih menyala. Di dalam ruang rapat tertutup, belasan orang berseragam jas gelap duduk di sekeliling meja panjang. Di ujung meja, Menteri Energi dan Sumber Daya Alam, Rendra Kusumo, menatap layar proyektor yang menampilkan logo sebuah konsorsium internasional: Pacific Green Alliance (PGA).
“Proposal mereka menawarkan investasi senilai 5000 miliar dolar,” ujarnya. “Untuk proyek energi hijau dari Sabang sampai Merauke. Proyek ini dikalim ramah lingkungan dan akan menjadikan Indonesia pusat produksi biofuel dunia.”
Di pojok ruangan, Kolonel Ratna Wiratama memperhatikan diam-diam. Ia baru saja menerima laporan rahasia dari unit intel siber PSC — konsorsium itu diduga hanya kedok bagi jaringan ekonomi global yang sama yang membiayai kudeta Gema Rakarsa.
“Mereka tidak datang untuk menanam pohon,” pikir Ratna. “Mereka datang untuk menanam kendali.”
Keesokan paginya, Ratna kembali ke markasnya di Manado.
Di ruang server, Mayor Hasan menunjukkan grafik intersepsi komunikasi dari kantor pusat PGA di Singapura.
“Bu, lihat ini,” katanya sambil menunjuk layar. “Mereka menggunakan kode yang sama dengan jaringan keuangan yang dulu membiayai operasi ‘Blue Horizon’ — proyek pengambilalihan tambang di Afrika tahun 2030.”
Ratna menyipitkan mata. “Artinya pola mereka sama: masuk lewat proyek lingkungan, lalu kuasai logistik, data, dan politik.”
Hasan menambahkan dengan suara pelan, “Dan yang lebih gila lagi… sebagian anggota dewan pengarah PGA pernah bekerja di perusahaan pertahanan Amerika dan Eropa.”
Ratna terdiam sejenak.
“Penjajahan tak lagi butuh peluru,” gumamnya. “Cukup kontrak dan tanda tangan.”
Sementara itu, Presiden Pradipa memimpin rapat terbatas di Istana. Di meja depannya bertumpuk laporan dari Kementerian Pertanian dan Bappenas. Angka-angka di layar membuatnya menatap kosong: ekspor beras Vietnam melonjak, impor gandum dunia terganggu, dan stok kedelai menurun 30%.
Rendra Kusumo berbicara hati-hati. “Krisis pangan global tak terhindarkan, Pak Presiden. Tapi konsorsium PGA bersedia bantu investasi 10 juta hektar lahan pangan di Kalimantan.”
Pradipa menggeleng perlahan. “Saya sudah membaca laporan PSC. Mereka bukan datang untuk membantu, tapi untuk mengambil.”
Ia berdiri, menatap para menterinya satu per satu.
“Kita ini negara yang diberi Tuhan tanah subur dan laut luas. Tapi kita seolah lupa cara berdiri sendiri. Jangan sampai kita menyewakan masa depan anak cucu untuk proyek yang bahkan kita tak pahami.”
Sore itu, laporan mendadak datang dari Papua. Di dekat Teluk Bintuni, warga menemukan drone laut kecil tanpa tanda identitas, terdampar di pantai. Saat diperiksa, di dalamnya terdapat chip transmisi dengan kode komunikasi yang sama dengan sinyal misterius yang sempat muncul di perairan Natuna. Laksamana Darmawan segera menghubungi Presiden.
“Pak Presiden, pola sinyalnya identik. Mereka memetakan jalur energi bawah laut kita — dari Natuna sampai Papua.”
Pradipa menjawab singkat, “Mereka sedang menyiapkan peta invasi masa depan.”
Pertemuan Rahasia di Tokyo
Beberapa hari kemudian, Ratna berangkat ke Tokyo diam-diam, menemui diplomat senior Jepang, Toshiro Arai, yang dikenal masih bersahabat dengan Indonesia sejak era lama. Mereka bertemu di sebuah rumah teh tua di distrik Akasaka, di pusat kota Tokyo.
Toshiro berkata lirih, “Kau harus tahu, Kolonel. Dunia sedang membagi ulang peta energi dan pangan. Negara yang menguasai Pasifik akan menguasai abad ini. Tapi sebagian besar kekuatan besar menganggap Indonesia terlalu ‘independen’.”
Ratna menatapnya dalam.
“Jadi mereka ingin Indonesia bergantung?”
Toshiro mengangguk pelan.
“Tidak hanya bergantung. Mereka ingin kau percaya bahwa tanpa mereka, kalian tidak bisa bertahan.”
Setelah mendapatkan laporan dari Kolonel Ratna, malam itu, Presiden Pradipa tiba-tiba berbicara di hadapan rakyat dalam pidato nasional yang disiarkan ke seluruh negeri: Pidato tiba-tiba ini mengagetkan banyak orang.
“Kita menghadapi perang tanpa suara. Tidak ada kapal perang di pantai kita, tidak ada pasukan di perbatasan. Tapi tanah kita, air kita, pangan kita, dan cadangan energi kita, sedang dikepung oleh kekuatan modal dan kepentingan global. Jangan biarkan Indonesia menjadi koloni yang dibungkus dalam nama pembangunan hijau.Karena masa depan dunia akan ditentukan bukan oleh senjata, tapi oleh siapa yang menguasai sumber pangan dan energi.”
Pidato itu menggetarkan. Di banyak kota, rakyat menyalakan lilin di jalan-jalan, seolah menegaskan: mereka siap berdiri bersama presidennya.
Namun di gedung tinggi kawasan SCBD Jakarta, seseorang sedang menonton siaran itu dengan senyum tipis. Di balik tirai, layar lain menunjukkan peta satelit Indonesia dengan titik-titik merah menyala — tanda lokasi cadangan energi yang sudah “dipesan” oleh investor asing. Sang pria berbisik pelan, “Kau boleh menolak kami hari ini, Pradipa. Tapi permainan ini belum selesai. Kami punya cara lain untuk menundukkan negeri itu.”
Jauh di selatan bumi, di sebuah pangkalan bawah laut di perbatasan Samudra Hindia, sebuah kapal selam raksasa tanpa tanda kebangsaan meluncur diam. Di ruang kendali, seorang perempuan paruh baya bermata kelabu memandangi peta digital dunia: tiga garis lengkung membentang dari Samudra Pasifik, Hindia, hingga Atlantik.
Mereka menyebutnya Imperium Tiga Samudra (The Three Oceans Imperium – TOI) — konsorsium korporasi terbesar didunia dan lembaga intelijen bayangan yang mengendalikan suplai pangan, energi, dan data dunia.
Pemimpinnya dikenal dengan sandi: “The Regent” — sosok tanpa negara, tapi punya lebih banyak kekuasaan daripada separuh kabinet dunia.
Sementara itu, ditempat terpisah, sejak kabur dari negaranya, Gema Rakarsa lenyap. Namun jaringan komunikasi rahasia PSC (Pacific Security Council) menangkap pola transmisi yang aneh dari Nepal, Kazakhstan, dan kemudian Maluku Utara.
Analisis AI menemukan satu pola, sinyal enkripsi lama yang hanya dipakai dalam operasi “Blue Orbit” — proyek rahasia yang dulu diciptakan Gema sendiri. Artinya satu hal: Gema masih hidup, dan sedang membangun poros tandingan.
Pertemuan di Lisbon
Di ruang bawah tanah kedutaan kecil di Lisbon, tiga tokoh bertemu: Helena Voss, mantan penasihat ekonomi Uni Eurasia. Admiral Tokugawa Ryo, pengendali armada Pasifik Timur dan Mikhail Demidov, pengusaha tambang mineral penting dan langka dari Rusia.
Mereka menandatangani dokumen dengan lambang tiga ombak beririsan — Imperium Tiga Samudra.Helena berkata lirih, “Dunia tidak akan stabil tanpa kekuasaan yang terpusat. Negara gagal, pasar kacau, dan umat manusia butuh tangan baru untuk menuntun.”
Tapi Demidov menimpali: “Tangan itu terlalu dingin, Helena. Kau tahu mereka menanam mata-mata bahkan di dalam dirimu.”
Sementara itu, BIN dan PSC, yang kini bekerja dalam koordinasi rahasia di bawah mandat “Nusantara Task”, menemukan bahwa Imperium Tiga Samudra (TOI) telah menanam “konsultan ekonomi” di 11 kementerian strategis negara-negara berkembang — termasuk di Indonesia. Mereka bukan sekadar penasihat, melainkan agen transfer kekuasaan ekonomi.Salah satu target utama: lumbung pangan nasional dan sistem data energi.
Ketika Presiden mulai menerima proposal pinjaman misterius untuk proyek “Smart Food Belt”, tim BIN menemukan logo TOI tersembunyi dalam metadata dokumen.
Malam itu, hujan turun deras di Jakarta Selatan. Di sebuah apartemen tingkat 38, agen Rahmi Wicaksono — mantan analis PSC — menerima kiriman USB tanpa nama. Isi video menampilkan Gema, duduk di ruang gelap, hanya berkata satu kalimat: “Musuh bukan di luar negeri. Musuh ada di seberang meja rapatmu.” Lalu layar hitam.
Rahmi menatap kota yang tenggelam dalam lampu-lampu kaca. Ia sadar, perang baru tidak akan memakai tank — tapi data, narasi, dan algoritma.
Ombak yang Menyatu
Imperium Tiga Samudra, korporaasi super besar lintas negara, kini bergerak lewat perusahaan-perusahaan investasi air, pangan, energi dan AI global. Mereka tidak berperang dengan senjata, melainkan dengan algoritma dan perjanjian internasional.
Dan di tengah semua itu, Gema mulai membentuk aliansi baru — Gerakan Samudra Jaya— menggabungkan ilmuwan, hacker, dan diplomat muda dari Asia-Afrika. Dia dipercaya mengendalikan konsorsium Imperium di wilayah Asia Tenggara, tempat paling menawan sekaligus menggiurkan sebagai sumber mengendalikan dunia. Disini, ada semua yang dibutuhkan manusia: pangan, energi, mineral penting, dan lalulintas data.
Pertarungan selanjutnya bukan antara negara dan negara, tapi antara kedaulatan dan kendali global. Di langit timur, satu bendera berkibar di kapal riset tanpa nama: tiga gelombang emas di atas latar biru tua. Dunia belum tahu, badai besar baru saja berhembus dari lautan Pasifik.
BERSAMBUNG
EDITOR: REYNA
BACA JUGA:
Serial Novel “Imperium Tiga Samudra” (Seri 2) – Langit di Atas Guam
Serial Novel “Imperium Tiga Samudra” (1) – Peta Baru di Samudra Pasifik
Related Posts

Perang Dunia III di Ambang Pintu: Dr. Anton Permana Ingatkan Indonesia Belum Siap Menghadapi Guncangan Global

Dr. Anton Permana: 5 Seruan Untuk Presiden Prabowo, Saat Rakyat Mulai Resah dan Hati Mulai Luka

Menyikapi UUD 18/8/1945

Rocky Gerung: 3 Rim Karatan di Kabinet Prabowo

Novel “Imperium Tiga Samudra” (Seri 2) – Langit di Atas Guam

Setahun Rezim Prabowo, Perbaikan atau Kerusakan Menahun?

Serial Novel “Imperium Tiga Samudra” (1) – Peta Baru di Samudra Pasifik

Api di Ujung Agustus (Seri 34) – Gelombang Balik

Api di Ujung Agustus (Seri 33) – Pengkhianat Didalam Istana

Dalam Semangat Sumpah Pemuda Mendukung Pemerintah dalam Hal Pemberantasan Korupsi dan Reformasi Polri


No Responses