Ditulis Ulang Oleh: Ir HM Djamil, MT
Wali Paidi terima undangan dari Kyai Mursyid untuk datang ke pondoknya nanti hari Rabu ba’da Asar. Wali Paidi heran juga mendapat undangan itu padahal hari Rabu itu jauh dari waktu khaul abah Yai (abahnya Kyai Mursyid yang dulu wali Paidi kecil pernah mondok atau tepatnya ngacung di sana).
Dan juga tidak mungkin kalau acara itu adalah acara kondangan walimatul urusy karena kalau yang demikian maka wali Paidi pasti diundang jauh hari sebelumnya, atau bahkan beliau dilibatkan dalam kepanitiaan.
Karena diundang ke pondok maka wali Paidi berpakaian menyesuaikan adat pondok, dia memakai sarung, baju koko lengan panjang warna krem kesukaannya. Kopiyah hitam baru tanpa serban karena memang dia ndak biasa pakai serban, tak lupa minyak wangi ‘Ameer Oud’ kesukaannya serta tak lupa tasbih pemberian abah Yai.
Menuju pondok wali Paidi ingin berjalan kaki lewat jalan terabasan.
Setelah mengambil wudhu dia berangkat dari musholah tidak menuju jalan raya tapi menuju ke barongan dan sliut.. telah sampai di pematang dan dia berjalan menuju kebun di depannya.
BACA JUGA: Serial Wali Paidi (Bagian 3): Bermasyarakat, Episode 3: Menyembuhkan Mbah Maimun
Dan setelah berjalan menghabiskan sebatang rokok, wali Paidi sudah dekat dengan jalan raya dan setelah menyebrang jalan itu masuk gang sudah tampak gerbang pondok yang kecil dan jelek itu.
Sampai di pondok, wali Paidi clingak-clinguk memandangi keadaan pondok yang sudah banyak berubah dibanding ketika dia masih di situ dulu, hanya pintu gerbang yang tidak pernah diubah tetap kecil dan jelek seperti dulu.
Untung ada santri yang memang ditugasi untuk menghadang dan menerima tamu… “undangannya di masjid Yai,”… ujar santri muda itu…..
“Masjid?.. bukannya di Aula?”… sahut wali Paidi. Memang acara ini tertulis di undangan diadakan di ‘Aula pondok’ yang ternyata juga adalah Masjid Pondok.
Wali Paidi sudah hafal betul dengan situasi masjid ini, dimana toilet dan tempat wudlunya, di mana gudang untuk menyimpan alat-alat kebersihannya, bahkan di ruang atau sudut sudut mana biasanya santri-santri nakal bersembunyi untuk merokok atau tiduran.
Wali Paidi masuk masjid itu tanpa wudlu dulu karena dia memang masih punya wudhu, namun dia tetap ke tempat wudlu untuk cuci kaki. Setelah memberi salam wali Paidi masuk dan langsung disambut oleh Kyai Mursyid sendiri dan digelandang untuk duduk (tepatnya bersila) di depan berdampingan dengan Kyai Mursyid.
BACA JUGA: Serial Wali Paidi (Bagian 3): Bermasyarakat, Episode 2: Berpulangnya Abah Kyai
Di depan mereka, telah duduk beberapa orang santri Thoriqot yang akan diwisuda. Rupanya ini adalah acara wisuda jama’ah Thoriqot yang sudah dinyatakan lulus dari Pondok ini.
Sedang yang duduk di samping-samping yang hampir memenuhi aula atau masjid itu adalah santri-santri lain yang lagi belajar untuk hafidz Qur’an atau santri-santri yang sedang belajar ilmu Nahwu dan Shorof, dan juga santri-santri kecil pemula yang jumlahnya puluhan. Aula atau masjid itu tidak sumuk, karena sekarang sudah dipasang AC.
Setelah melakukan ritual wisuda sebagai mana biasanya, Kyai Mursyid memberikan wejangannya yang didengarkan dengan takdzim oleh para santri.
Acara yang diprotokoleri sendiri oleh Kyai Mursyid ini tiba-tiba meminta dengan hormat dan sangat agar Almukarrom H. Ali Firdaus (Nama asli Wali Paidi) sebagai alumnus Pondok ini untuk memberikan sepatah dua patah kata wejangan pada santri Thoriqot yang akan diwisuda.
Padahal kalau dilihat pada daftar alumnus Pondok yang sengaja dipajang dan di update setiap periode, nama Ali Firdaus tidak terpampang karena memang dia belum pernah diwisuda dari pondok ini. Tapi entah mengapa Kyai Mursyid meminta wali Paidi untuk memberi sambutan pada acara sepenting itu.
BACA JUGA: Serial Wali Paidi (Bagian 3): Bermasyarakat, Episode 1: Awal Kiprah Bermasyarakat
Yang pasti ini bukan dimaksudkan untuk menggoda atau mempermalukan wali Paidi, yang jelas permintaan itu keluar dari hati yang tulus untuk minta petuah wali Paidi.
Wali Paidi pun tidak kaget walau dia tidak mengira sebelumnya untuk diminta sambutan, dengan tenang dia mengambil mike yang sudah disiapkan, setelah membaca Sholawat serta salam pada Nabi besar Muhammad SAW, serta ta’awudz lantas mengutib Al Baqoroh ayat 32.
Dia berhenti sebentar sambil tetap memutar tasbih yang dia bawa dari rumah, membiarkan suasana agak hening, lalu dengan suara lirih namun dapat terdengar jelas beliau berfatwa:
“Jadi orang Thoriqot itu coba’annya berat, terutama nanti kalau do’anya mandhi (mustajabah)… oleh karena itu harus sering-sering memotong Ku Ku… sekian terima-kasih… mudah-mudahan manfaat… billahitafiq wal hidayah …. wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh,” Wali Paidi mengakhiri tausiyah yang amat-amat sangat singkat menurut ukuran umum.
Dengan raut muka yang tampak sedih beliau menyerahkan mic kembali ke Kyai Mursyid. Tidak ada Salam dan tepuk tangan karena kebiasaannya memang tanpa tepuk tangan. Banyak santri yang tampak manggut-manggut dan temenggengen hingga tak mampu menjawab salam, entah apa yang dipikirkan oleh mereka.
Wisuda di pesantren ini memang tanpa penyerahan Ijazah, karena ijazah telah ada di kepala dan hati masing-masing wisudawan.
Setelah membacakan daftar kelulusan Jama’ah Thorikot dari pondok pada masa pendidikan tahun itu yang nanti untuk up-date daftar alumni yang selalu dipajang di luar masjid dan nama Ali Firdaus tidak ada di dalamnya.
Kyai Mursyid menutup acara dengan do’a kafaratul majelis, acara bubar dengan sendirinya yang didahului dengan salam-salaman dan santap sore di halaman masjid.
BACA JUGA: Serial Wali Paidi (Bagian 2): Sejarah Wali Paidi, Episode 9: Tamat Pesantren Tanpa Wisuda
Kyai Mursyid tidak ikut berbaur dengan para santri, beliau menggandeng tangan wali Paidi menuju ruangan khusus kerjanya untuk minum kopi santai menikmati hidangan ringan sambil menunggu adzan Magrib.
“Kok disuruh sering-sering motong kuku itu maksudnya apa toh Di… mbok saya diterangkan isyaroh-isyaroh semacam itu”… pinta Kyai Mursyid sambil menawarkan rokok ke wali Paidi.
“Lha iya.. toh kang… supaya menjadi ikhlas orang kan harus mengikis habis keakuan… yang jadi penyakit itu kan… bapak ku… istri ku… anak ku… harta ku… jabatan ku… ide ku… bahkan do’a ku, padahal semuanya itu kan bukan miliknya toh kang, … jadi ‘ku’ ‘ku’ ‘ku’.. itu yang harus dikikis habis.”
“Pendek kata … Sesungguhnya Sholatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya karena Allah semata”… kata wali Paidi layaknya orang berkhotbah.
“Iya.. pendeknya semua ‘ku’ itu harus dipotong, dibuang ditenggelamkan ke dalam fana’billah,”.. tukas Kyai Mursyid sambil menyodorkan api ke wali Paidi.
Adzan Maghrib berkumandang, beliau berdua tampaknya masih punya wudhu hingga dengan berkumur sedikit dan membuangnya di wastafel mereka bergegas ke aula tadi yang sekarang berfungsi jadi masjid. Setelah sholat maghrib dan segala ubo rampenya selesai, wali Paidi mohon pamit.
Sebelum keluar pondok wali Paidi menyempatkan mampir ke koperasi pondok untuk membeli rokok dan iseng-iseng menanyakan alat potong kuku yang ternyata barusan sudah diborong habis oleh para santri.
Wali Paidi memang tak terbiasa memakai jam tangan, tapi dia ingat nanti ba’da isak harus menghadiri rapat RT di kampungnya untuk persiapan Kerja Bakti yang setiap sebulan sekali diadakan.
Maka wali Paidi urung menuju jalan raya untuk naik angkutan umum, dia malah baik ke ndalemnya Kyai Mursyid. Disana dia ketemu Kyai yang sedang membuka-buka kitab dengan tasbih tetap berputar di tangannya…
“Kang… numpang lewat… kalau naik colt umum ndak nututi,”… kata wali Paidi sambil ngeloyor ke ruang tengah yang biasanya sepi.
Kyai mursyid ndak njawab apa-apa hanya kepalanya memberi isyarat setuju.
Sejurus kemudian wali Paidi sudah berada di musholahnya dalam posisi berdiri. Untung musholah sudah sepi walaupun lampu dalam musholah belum atau tidak dimatikan. Begitu kebiasaannya sampai setelah sholat isak baru dimatikan.
EDITOR: REYNA
Related Posts
Api di Ujung Agustus (Seri 33) – Pengkhianat Didalam Istana
Api di Ujung Agustus (Seri 31) – Bayangan Kudeta Makin Nyata
Api di Ujung Agustus (Seri 30) – Jejak Jaringan Tersembunyi
Api di Ujung Agustus (Seri 29) – Jejak Operasi Tersembunyi
Api di Ujung Agustus (Seri 28) – Jantung Garuda Di Istana
Api di Ujung Agustus (Seri 27) – Jalur Rahasia Wiratmaja
Api di Ujung Agustus (Seri 26) – Bayangan Dalam Istana
Api di Ujung Agustus (Seri 25) – Garuda Hitam Membara
Api di Ujung Agustus (Seri 24) – Kartu As Gema
Api di Ujung Agustus (Seri 23) – Dua Api, Satu Malam
No Responses