Serial Wali Paidi: Episode Watu Getun

Sehabis menonton TV “Dunia Dalam Berita”, biasanya wali Paidi akan ngeleset (rebahan) sejenak untuk nantinya bangun malam. Tapi malam itu dia malah merokok sambil jigrang di emperan musholah sambil kadang kadang menoleh kearah jalan seakan akan ada yang ditunggu.

Benar saja tak berapa lama ada tiga orang muda menghampirinya salah seorangnya bertanya atau menebak.

“Kang Paidi yaa ?”.

”Sampeyan tahu dari mana kok ujuk-ujuk tahu nama saya,” sahut wali Paidi sambil menyalami satu persatu tamunya.

“Dari warung depan dekat jalan raya situ seperti petunjuk Kyai Mursyid… kalau sudah sampai di Pal Mojokerto… tanya rumahnya mas Paidi pedagang minyak wangi di pasar besar… eh ternyata banyak yang kenal Panjenengan” sahut sipenanya yang langsung duduk mengelilingi wali Paidi.

Salah seorang dari mereka mengamati wali Paidi seakan kurang menyakinkan, dalam hati ia bertanya mengapa untuk lelaku hinggil ini kok pak Kyai memerintahkan harus ke musholah kecil dan pada orang yang kurang ngawaki seperti ini,.

“Suluk jam segini yaa kurang pantes… nanti agak malaman yaa, sekarang sampeyan istirahat dulu disini… sebentar lagi ada ‘tahu tek’ kalau suka pesan aja saya yang mbayar”… kata wali Paidi seakan menjawab keraguan salah seorang tadi. Dan benar juga ndak sampai dua menit terdengar suara tek-tek suara wajan yang ditabuh pedagang tahu tek. Setelah semuanya makan, wali Paidi pamit masuk rumah.

“Sampeyan istirahat ngeleset-ngeleset disini dulu nanti inyaAllah jam 2 an kita bisa mulai,” sambil ngeloyor masuk rumah.

Jam satu lebih sepuluh menit para tamu yang sedang rebahan dimusholah terbangunkan oleh Satpam yang menabuh tiang listrik sekali tanda jam satu malam.

Serentah mereka bangun, ada yang langsung wudhu ada yang buang air kecil dulu yang memang terfasilitasi disamping musholah itu. Tak lama kemudian wali Paidi hadir dimusholah dengan celana dan jaket jean serta kopiah yang sedikit lusuh.

“Ayoo kencing dan wudhu dulu… disangoni apa sama Kyai Mursyid…. atau kita dzikir aja yaa”… kata wali Paidi sambil mematikan lampu musholah. Dalam musholah menjadi agak gelap.

“Kita bersila adu dengkul dan jangan ada yang membelakangi Kiblat,“ kata wali Paidi sambil menutup pintu musholah, hingga suasana menjadi gulita tidak ada penyinaran sedikitkun apalagi malam itu tanggal 29 Rajab keadaan menjadi benar-benar gelap gulita.

Wali Paidi duduk seolah tahu posisinya dan bahkan bisa mengatur lutut-lutut mereka saling bergandeng dengan tak seorangpun membelakangi Kiblat, posisi tangan seperti orang bertapa. Sebelum duduk dan mengatur posisi, wali Paidi membagikan kantung kecil sambil perpesan.

“Kantung ini jangan sampai ketinggalan, kalau perlu dilipat dalam sarung biar tidak ketinggalan”.

Hening sekali, hanya dentuman suara hati dengan kalimat Laa illaha illa Allah yang teratur dan seakan suara musik yang sungguh menentramkan hati. Dalam keheningan itu sayup sayup terdengar suara gemericik air yang makin lama makin jelas serta udara semakin sejuk cenderung dingin, tiba tiba dipecah oleh salah seorang santri yang ingin buang air.

“Lho… dimana ini kok ada air,” wali Paidi segera tanggap dia menyorotkan senter kecil yang dia bawa kesudut goa.

”Nah …sampeyan kencing disitu… setelah itu kembali kesini,” sambil senter terus dinyalakan. Tak urung santri lainnya juga kaget, kok ujuk-ujuk mereka berada dalam goa dan sedang duduk diatas batu yang dibawahnya ada air mengalir lambat.

Setelah menuntun santri yang buang air tadi dengan senter untuk kembali keatas batu, wali Paidi meminta supaya masing-masing santri untuk mencari kerikil dalam goa itu dan dimasukan dikantung yang sudah dibagikan.

“Carilah batu sebanyak mungkin yang sampeyan suka, melangkahnya jangan jauh jauh nanti bisa hilang keluar goa… maksimal sembilan langkah dari tempat ini”.

Maka merekapun berpencar mencari kerikil dalam keadaan gelap gulita dengan cara meraba raba, kalau sekiranya dianggap kerikil dimasukan dalam kantung, dalam rangka mencari itu ada yang segera menemukan kerikil dan memasukan dalam kantung sebanyak-banyaknya sampai penuh ada yang pilih pilih kerikil yang dirasa berat baru dimasukan dan ada yang menemukan tempat kerikil tapi dia tidak ingin memenuhi kantungnya dan hanya mengambil beberapa saja.

“Sudah.. kantung ditutup dan kembali kesini”… komando wali Paidi sambil menyorotkan senternya kearah batu dimana dia bersila. Sejenak kemudian mereka berkumpul diatas batu dan mengambil posisi seperti awal.

“Lutut saling bersentuhan … dan mari kita dzikir kembali”.

Suasana menjadi hening dan secara berangsur suara gemercik air seakan menghilang, hening senyap sampai dikejutkan oleh “jetok…groook…kletak”, suara load speaker masjid kampung wali Paidi yang sedang dinyalakan, sejenak kemudian terdengar lantunan ayat Al Qur’an yang dikumandangkan Keras dari menara Masjid menandakan waktu menjelang Subuh.

“Ok..selesai hari ini…kalian siap siap untuk sholat Subuh, yang mau witir masih cukup waktu”.. ujar wali Paidi memecah suasana.

“Tapi saya ragu Yai…. apa pakaian saya najis waktu digoa tadi”… kata salah seorang sambil mengacungkan tangan. Wali Paidi bangkit meninggalkan mereka sambil berkata.

“Kantung jangan dibuka dulu, nanti kita buka setelah shuruk”,elang 20 menitan wali Paidi kembali dengan membawa sehelai sarung. Adhan Subuh terdengar keras, wali Paidi dan para santri sudah siap di musholah, tak berapa lama berturutan muncul empat orang tetangga wali Paidi yang biasa sholat di musholah, hingga pagi itu musholah full satu shof terdiri tujuh orang.

“Nah… sekarang siapa dulu yang membuka kantungnya..”… “saya Yai “ kata seorang yang kantungnya penuh, setelah masing masing dibuka dan isinya dikeluarkan dari kantung, ternyata yang kantung penuh tadi isinya hanya kerikil hitam, sedang yang hanya mengambil lima biji, ternyata batunya bagus seakan batu akik, padahal waktu itu ia berada disetumpukan batu akik, tapi karena gelap maka mengambil beberapa sebagai syarat laku. Sedang yang dipilih pilih berat dan ringannya batu ternyata batunya hampir tak berbeda dan hanya berupa kerikil stunslah.

Setelah semua kantung dibuka dan isinya telah diketahui, wali Paidi menanya pada masing-masing.

“Setelah ente tahu kalau ini hanya batu hitam biasa, pasti ente getun (kecewa) mengapa ente ngambil banyak segini…

“iya… kyai… tadinya saya pikir hanya sebagai syarat, dan agar cepat selesai maka saya ambil sebanyak kantong ini… tahu begitu saya hanya ngambil 3 saja”… kata siempunya sekantung kerikil hitam..

“Nah sekarang ente”.. tuding wali Paidi pada yang mendapat batu seperti Akik.

“iya Yai… tahu kalau bagus begini saya ngambil banyak wong tadi saya ndak pakai milih… padahal masih banyak”.

”jadi ente juga getun”..l

.”iya yai”.

“Nah ente yang terakhir”…tunjuk wali Paidi pada pada yang mengambil beberapa kerikil stunslah..

“Saya juga getun yai… tadinya saya pilih beberapa batu yang berat, kemudian saya isi dengan satu atau dua batu yang agak ringan sebagai pembeda… eeh…ternyata batunya sama… tahu gitu saya awur saja”.

“nah… setelah laku Suluk semalam masing masing punya pengalam mencari Batu Getun, sehingga semuanya merasa getun… artinya hidup ini seperti dialam gelap, apa apa yang kita dapatkan dalam hidup ini selalu membuat kita menjadi Getun setelah kita mendapatkan penerangan… Nah semua pengalaman ini ceritakan dan minta tafsirnya yang lebih dalam pada Kyai Mursyid…

Batu yang bagus-bagus boleh antum bagi, yang jelek jelek boleh dibuang atau disimpan sebagai kenangan…. sebelum balik pondok sholat dhuha dulu… kantongan boleh diambil…. tapi sarungnya jangan dibawa”.

“Anu… yai.. goa tadi malam tempat nya dimana, kapan kapan saya mau kesana siang hari…” tanya yang mendapatkan batu Akik, tapi wali Paidi tidak menjawab hanya tangannya melambai keatas seakan isyarat mengusir mereka.

Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari Episode ini ?

Tags: wali paidi

Related Posts