Skandal Tirak: Dinasti Narkoba di Balik Kursi Perangkat Desa Ngawi

Skandal Tirak: Dinasti Narkoba di Balik Kursi Perangkat Desa Ngawi

NGAWI — Desa Tirak, Kecamatan Kwadungan, Kabupaten Ngawi, kini tengah bergolak. Integritas pemerintahan desa yang seharusnya menjadi benteng moral masyarakat, justru tercoreng oleh drama politik keluarga. Sebuah peristiwa yang tak hanya mencederai akal sehat, tapi juga menampar keras wajah pemerintahan desa di Indonesia.

Bagaimana tidak—Rizky Sepahadin, putra kandung Kepala Desa Suprapto, yang merupakan mantan narapidana kasus narkoba dengan vonis 4 tahun penjara, tiba-tiba lolos seleksi administrasi calon perangkat desa.

Publik pun geram. Desa yang seharusnya menjadi ruang pengabdian, kini justru disulap menjadi panggung dinasti dan nepotisme terang-terangan.

“Ini bukan lagi pemerintahan desa, tapi dinasti berkedok demokrasi,” ujar salah satu warga Tirak yang meminta identitasnya dirahasiakan.

Kolusi Tiga Serangkai: Kades, Panitia, dan Camat

Kecurigaan warga bukan tanpa alasan. Proses penjaringan perangkat desa ini diduga berbau kolusi tiga arah:

Kepala Desa yang memfasilitasi pencalonan anaknya, Panitia Penjaringan yang meloloskan administrasi tanpa verifikasi mendalam, dan Camat Kwadungan yang diam seribu bahasa.

Padahal, aturan sudah jelas. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, serta turunannya dalam Peraturan Bupati Ngawi, menegaskan bahwa perangkat desa harus berkelakuan baik, tidak pernah dipidana karena kejahatan yang diancam lebih dari 5 tahun penjara.

Aturan panitia bertentangan dengan Perda 2022

Dengan rekam jejak kriminal narkotika, seharusnya Rizky otomatis gugur di tahap awal. Namun ajaibnya, berkasnya mulus melenggang hingga tahap akhir.

Panitia: Dari Penjaring Jadi Pelindung?

Panitia seleksi yang seharusnya menjadi benteng integritas kini justru menjadi “stempel legalisasi dosa kekuasaan”.
Mereka meloloskan calon bermasalah tanpa kejelasan proses klarifikasi, tanpa transparansi kepada publik, dan tanpa keberanian menegakkan aturan.

“Apakah Panitia buta hukum atau pura-pura buta demi menyenangkan atasan?” tanya salah satu tokoh masyarakat yang kecewa berat.

Dalam banyak kasus di daerah lain, pelanggaran seperti ini bisa berujung pencopotan panitia hingga proses pidana administratif. Tapi di Tirak, sunyi senyap.

Tidak ada klarifikasi, tidak ada penjelasan, seolah warga tidak berhak tahu apa yang sedang dipermainkan di balik meja kekuasaan.

Camat Kwadungan: Pengawas Yang Tak Mau Mengawasi

Lebih ironis lagi, dugaan pembiaran ini melibatkan Camat Kwadungan, yang seharusnya menjadi “rem” terakhir terhadap penyimpangan proses di desa.

Namun Camat Didik justru memilih diam ketika dikonfirmasi media.Sikap bungkam ini menimbulkan pertanyaan besar: Apakah diamnya karena tidak tahu, tidak mau tahu, atau tidak boleh tahu?

“Kalau Camat ikut diam, artinya sistem pengawasan di Ngawi sudah lumpuh total,” ujar pengamat kebijakan publik lokal.

Seruan untuk Bupati Ngawi: Bongkar Skandal Ini!

Masyarakat kini menuntut Bupati Ngawi turun tangan langsung. Skandal ini tak bisa lagi dibiarkan mengendap di tingkat kecamatan. Jika benar terjadi pelanggaran hukum dan moral, maka:

1.Hasil seleksi perangkat desa harus dibatalkan.

2.Panitia penjaringan harus diperiksa.

3.Kepala Desa Suprapto harus dievaluasi.

4.Dan Camat Kwadungan wajib dimintai pertanggungjawaban.

“Jika hukum dan etika masih punya arti, maka kasus Tirak harus jadi titik nol pembersihan moral di Ngawi,” tulis seorang aktivis muda di media sosial.

Preseden Gelap bagi Demokrasi Desa

Kasus ini bukan sekadar persoalan administratif. Ia adalah ujian bagi moral publik dan tata kelola desa.
Jika anak seorang Kades dengan rekam jejak kriminal bisa dengan mudah lolos menjadi perangkat desa, maka pesan yang tersisa hanya satu: di Ngawi, kekuasaan bisa mencuci dosa.

Dan jika tidak ada tindakan tegas, maka sejarah akan mencatat — Desa Tirak bukan hanya kehilangan integritas, tetapi juga martabat.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K