Tulisan berseri ini diambil dari Novel “Bersujud di Atas Bara” karya Dr Muhammad Najib. Bagi yang berminat dapat mencari bukunya di Google Play Books Store.
Novel dengan judul: Bersujud di Atas Bara ini merupakan fiksi murni yang diangkat dari kisah nyata, dengan latar belakang Perang Afghanistan tahun 1979- 1989. Pada saat itu, di tingkat global bertarung antara dua super power, Amerika dan sekutunya NATO didukung oleh sejumlah negara Muslim, bertempur melawan Uni Soviet yang didukung Pakta Warsawa. Sementara di medan laga terjadi pertarungan antara Rezim Boneka Afghanistan dukungan Uni Soviet melawan Mujahidin yang didukung oleh Amerika dan sekutunya.
Karya: Muhammad Najib
Dubes RI untuk Kerajaan Spanyol dan UNWTO
Sore hari menjelang Magrib, seperti biasanya Mujahid pergi ke Masjid Syuhada untuk shalat berjamaah. Ia berharap segera bertemu Akbar yang memberi informasi tentang peluang untuk ikut berjuang ke Afghanistan. Ia ingin mendapat informasi lebih jauh. Sampai waktu shalat Isya tiba, ternyata Akbar tidak juga muncul. Mujahid lalu mencari tahu alamat rumah Akbar kepad beberapa kawannya di Masjid. Ternyata Akbar tinggal tidak jauh dari Masjid Syuhada, hanya dua ratus meter. Dengan tidak sabar, Mujahid pergi untuk menemuinya.
Akbar keluar dari kamarnya dengan wajah pucat.”Afwan Ana agak pusing, jadi tidak pergi ke masjid”, katanya sambil menjabat tangan Mujahid.
“Tidak apa-apa. Ada yang ingin Ana tanyakan pada Antum”, ucap Mujahid.
“Sebentar, Ana mau ganti celana dulu. Kita bicara di luar saja”, sambil memegang gulungan sarung di bagian perutnya, Akbar kembali ke kamarnya.
Tak lama kemudian kedua pemuda itu berada di sebuah warung di ujung jalan. Akbar memesan dua cangkir kopi jahe kesukaannya.
“Ada yang Ana bisa bantu?”, tanyanya membuka pembicaraan.
“Ya, tentang tawaran Antum ke Afghanistan”, jawab Mujahid.
“Kalau Antum serius, siapkan saja fotokopi KTP. semua nanti ada yang ngurus”, sahut Akbar seperti tanpa beban.
“Mudah sekali. Bagaimana dengan tiket keberangkatan?”
“Jangan khawatir, Antum cuma menyiapkan fotokopi KTP saja.”
“Saya tidak punya tabungan”, katanya membuat Mujahid makin penasaran.
“Tenang saja”, Akbar menyeruput kopi jahenya.
“Besok setelah Magrib Kita ketemu di masjid, jangan lupa bawa fotokopi KTP”.
Sebetulnya Mujahid ingin bertanya lebih banyak, tapi kelihatannya Akbar tidak ingin mengobrol berlamalama. Keesokan harinya sesudah shalat Maghrib, Akbar menghampirinya dan menepuk punggungnya dari belakang.
“Jadi bawa fotokopi KTP ?”.
Mujahid merogoh saku bajunya, kemudian mengeluarkan apa yang diminta Akbar.
“Tunggu saja kabar berikutnya”, kata Akbar sembari meninggalkan Mujahid.
Keesokan harinya sesudah shalat Maghrib, Akbar kembali menghampiri Mujahid. “Besok datanglah ke kantor Imigrasi. Pukul sembilan pagi!”, katanya singkat.
“Ana belum tahu dimana alamat kantor Imigrasinya”.
“Gampang. Di Waru sebelah barat fly over menuju Sidoarjo”.
“Apa yang harus Ana bawa?”, tanyanya.
“Bawa badan saja”, kata Akbar sambil tersenyum.Setelah mengucap salam, mereka berpisah.

Cover Novel “Bersujud di Atas Bara” karya Dr Muhammad Najib. Bagi yang berminat dapat mencari bukunya di Google Play Books Store.
Keesokan harinya Mujahid datang ke kantor Imigrasi sesuai waktu yang disepakatinya. Begitu sampai di sana, ternyata Akbar belum ada. Kantor Imigrasi itu sangat sibuk. Banyak orang yang antre di banyak loket yang tersedia. Pegawai-pegawainya yang berseragam lalu-lalang di balik kaca loket yang tembus pandang. Mujahid tidak mengenal satu pun dari mereka. Ia lalu duduk menunggu di bangku panjang yang terbuat dari kayu di depan salah satu loket. Mungkin Akbar terlambat, pikirnya. Untuk mengisi waktu, Mujahid mengeluarkan Al-Quran kecil yang disimpan di saku bajunya, lalu meneruskan tilawahnya dalam hati. Tak lama kemudian Akbar datang. “Ayo ikut Ana!”, kata pemuda itu sambil bergerak ke ruangan yang paling ujung.
Mujahid menyimpan kembali Al-Quran kecil ke saku bajunya, lalu mengikuti Akbar dengan langkah tergesagesa. Mereka masuk ke sebuah ruangan yang ditempati seorang petugas Imigrasi. Mujahid disuruh duduk untuk diambil fotonya. Setelah itu Ia dibawa ke ruang sebelah untuk pengambilan sidik jari. Kemudian Ia pindah lagi ke ruangan berikutnya untuk dicek kembali data-data yang menjadi identitasnya, agar tidak keliru ketika dicantumkan di paspor. Kelihatannya Akbar sudah sangat paham tahapan-tahapan proses pembuatan paspor. Ia juga banyak mengobrol dan bercanda dengan para petugas di sana.
Keesokan harinya Akbar sudah membawa paspor dan sebuah tiket Garuda dengan rute Surabaya — Jakarta, dan tiket Malaysian Airlines dengan rute Jakarta — Kuala Lumpur. “Antum berangkat dua hari lagi ke Jakarta, lalu dari Jakarta ke Kuala Lumpur. Nanti di Kuala Lumpur ada yang menjemput, kemudian dari sana akan diurus perjalanan berikutnya”, kata Akbar sembari menyodorkan paspor itu kepada Mujahid.
“Alhamdulillah…! Terima kasih banyak atas semua bantuannya”, kata Mujahid sembari tersenyum. Selain paspor dan tiket ternyata ada beberapa lembar uang pecahan seratus ribu rupiah. “Ini untuk apa?”, tanya Mujahid heran. Sejak awal pengurusan keberangkatan sampai paspornya selesai, Mujahid tidak mengeluarkan sepeserpun uang. Mujahid mulai merasa tidak enak hati pada Akbar. Pasti ada yang berkorban untuk ini semua, pikirnya.
“Untuk fiskal dan sedikit uang taksi”, jawab Akbar santai. Mujahid menepis rasa tidak enak di hatinya.
“Siapa nama orang yang akan menjemput Ana? Dan bagaimana cara mengenalinya?”, tanya Mujahid lagi.
“Nanti Mereka yang akan mengenali Antum”.
“Bisakah Ana mendapat nomor telepon atau alamatnya? Untuk menjaga kemungkinan kalau kami tidak bertemu”.
“Sudahlah. Jangan khawatir”, jawab Akbar sembari meninggalkannya.
Dari Bandara Juanda Surabaya menuju Jakarta, Mujahid tidak mengalami banyak masalah. Pesawat mendarat di Bandara Soekarno-Hatta dengan mulus. Dia melangkah dari terminal Domistik ke terminal Internasional. Petugas Imigrasi memeriksa sejenak tiket, bukti pembayaran fiskal dan paspor yang dibawa Mujahid, kemudian menatap sejenak wajah pemuda itu untuk dibandingkan dengan foto yang tertempel di paspor. Jantung Mujahid bergetar dan hatinya sedikit cemas, khawatir jika petugas Imigrasi itu mempermasalahkan sesuatu. Ia menjadi lega ketika petugas itu mengambil stempel dan menempelkannya ke paspor kemudian mengembalikannya.
Pesawat Malaysian Airlines take off dari landasan pacu Bandara Soekarno-Hatta dengan mulus. Pikiran Mujahid terus menerawang membayangkan medan perjuangan yang akan dihadapinya, bercampur perasaan cemas akan perjalanannya yang pertama kali ke luar negeri. Sekalisekali Ia menoleh ke luar jendela. Perjalanan Jakarta-Kuala Lumpur ditempuh dalam waktu sekitar dua jam. Namun bagi Mujahid perjalanan itu terasa sangat lama.
Saat mendarat di Bandara Internasional Kuala Lumpur, Ia terus menoleh ke Kiri dan Kanan, memperhatikan daerah sekelilingnya dengan harapan bisa segera menemukan orang yang menjemputnya. Ia terus mengikuti arus penumpang yang mengalir ke luar Bandara. Ia sebetulnya melihat banyak pemandangan menarik, mulai dari pakaian khas perempuan Malaysia, ornamen dinding bandara maupun perilaku para pegawai Kerajaan Malaysia. Maklum, inilah kali pertama Ia menginjakan kaki di negeri jiran itu. Tapi Ia tidak ingin jadi pusat perhatian, apalagi sampai menimbulkan kecurigaan petugas. Karena itu Ia berlagak acuh terhadap situasi di sekitarnya. Saat melewati pintu keluar Bandara, banyak orang berkumpul di depan pintu Arrival Gate menanti penumpang yang datang. Beberapa diantaranya membawa kertas yang dituliskan nama-nama orang. Mujahid tidak mengerti apa maksud mereka. Ia memperlambat langkahnya sembari memperhatikan satu per satu kertas itu, sampai matanya tertumpu pada selembar kertas kartun kecil bertuliskan Mujahid. Ia menatap si pembawanya. Tubuhnya tidak terlalu tinggi, dahinya agak hitam, dengan jenggot panjang tapi jarang, mengenakan kopiah putih. Bajunya model koko agak panjang. Ia menatap balik pada Mujahid, sembari menunjuk ke arahnya.
BACA JUGA:
- Novel Muhammad Najib,”;Bersujud Diatas Bara”(Seri-5): Mudik Lebaran
- Novel Muhammad Najib,”;Bersujud Diatas Bara”(Seri-6): Mengambil Keputusan Sulit
“Bapak Mujahid kah?”, serunya dengan dialek Malaysia sambil menghampiri.
“Ya! Saya Mujahid”, sahut Mujahid dengan nada gembira.
“Selamat datang di KL,” kata si penjemput.
“Nama saye Didin Syarifudin, asal Garut. Saye sudah lime tahun di sini. Kuliah di International Islamic University Malaysia disingkat IIUM. Tapi orang Malaysie lebih suke menyebutnye Universitas Islam Antarbangsa atau UIA”, katanya memperkenalkan diri. Dialek Malaysianya kental. Mujahid tidak berkomentar, Ia hanya mendengarkan saja
penuturan Didin.
“Saye dan beberapa kawan kontrak rumah di sini yang sekaligus Kami gunekan sebagai asrama. Jadi kalau ada kawan-kawan yang datang dari Indonesie, ia boleh tinggal di rumah”, kata Didin sambil masuk ke mobilnya. Ia mempersilahkan Mujahid untuk duduk di sebelahnya.
“Jangan lupe memakai tali keledar”, Ia mengingatkan Mujahid untuk mengenakan sabuk pengaman.
Tidak lama kemudian mobil merek Proton Wira yang dikemudikan Didin sampai di depan gerbang sebuah rumah berlantai dua. Didin menekan klakson mobil dua kali. Beberapa saat kemudian seorang laki-laki setengah baya mengenakan sarung dan berkopiah membuka pintu gerbang rumah itu. Didin kemudian mengarahkan mobil itu ke depan garasi yang ada di bagian ujung rumah.
“Besar sekali rumah ini, dipinggir jalan raya di tengah kota lagi. Pasti mahal kontraknya”, pikir Mujahid sambil memperhatikan berbagai sudut rumah itu.
“Tafaddal…”, kata Didin sembari mempersilahkan Mujahid masuk.
“Sekarang Antum boleh istirahat di kamar ini, nanti jam delapan kita same-same makan malam”, sambil menyodorkan kunci kamar.
EDITOR: REYNA
Related Posts
Api di Ujung Agustus (Seri 33) – Pengkhianat Didalam Istana
Api di Ujung Agustus (Seri 31) – Bayangan Kudeta Makin Nyata
Api di Ujung Agustus (Seri 30) – Jejak Jaringan Tersembunyi
Api di Ujung Agustus (Seri 29) – Jejak Operasi Tersembunyi
Api di Ujung Agustus (Seri 28) – Jantung Garuda Di Istana
Api di Ujung Agustus (Seri 27) – Jalur Rahasia Wiratmaja
Api di Ujung Agustus (Seri 26) – Bayangan Dalam Istana
Api di Ujung Agustus (Seri 25) – Garuda Hitam Membara
Api di Ujung Agustus (Seri 24) – Kartu As Gema
Api di Ujung Agustus (Seri 23) – Dua Api, Satu Malam
Novel Muhammad Najib, “Bersujud Diatas Bara” (Seri-10): Hidup Di Kamp Pelatihan - Berita TerbaruDecember 18, 2022 at 8:04 am
[…] Novel Muhammad Najib, “Bersujud Diatas Bara” (Seri-7): Terbang Ke Malaysia […]
สล็อตแตกง่ายDecember 15, 2024 at 12:59 pm
… [Trackback]
[…] Find More on that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-bersujud-diatas-bara-seri-7-terbang-ke-malaysia/ […]
PG SLOT เกมยอดฮิตแตกง่ายDecember 19, 2024 at 11:52 am
… [Trackback]
[…] Find More Info here on that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-bersujud-diatas-bara-seri-7-terbang-ke-malaysia/ […]