Tulisan berseri ini diambil dari Novel “Bersujud di Atas Bara” karya Dr Muhammad Najib. Bagi yang berminat dapat mencari bukunya di Google Play Books Store.
Novel dengan judul: Bersujud di Atas Bara ini merupakan fiksi murni yang diangkat dari kisah nyata, dengan latar belakang Perang Afghanistan tahun 1979- 1989. Pada saat itu, di tingkat global bertarung antara dua super power, Amerika dan sekutunya NATO didukung oleh sejumlah negara Muslim, bertempur melawan Uni Soviet yang didukung Pakta Warsawa. Sementara di medan laga terjadi pertarungan antara Rezim Boneka Afghanistan dukungan Uni Soviet melawan Mujahidin yang didukung oleh Amerika dan sekutunya.
Karya: Muhammad Najib
Dubes RI untuk Kerajaan Spanyol dan UNWTO
Mujahid meletakan koper kecilnya di ujung tempat tidur. Koper itu hanya berisi tiga lembar baju, tiga celana, beberapa pakaian dalam, satu sarung, dan kopiah. Selain itu, handuk, sikat gigi, dan sabun mandi. Ia tidak lupa menyelipkan Al-Quran kecil di ujung kopernya yang sewaktu-waktu Ia keluarkan untuk dibacanya saat menunggu atau mengisi waktu senggang. Setelah shalat Zuhur dan Asar yang dijamak, tanpa mengganti pakaiannya, Ia langsung merebahkan badannya ke tempat tidur. Pikirannya terus membayangkan perjalanan berikutnya. Ia mengagumi keramahan Didin, “Pasti Ia Anak orang kaya sehingga bisa menyewa tempat sebagus ini”, pikir Mujahid. Pikirannya terus menerawang sampai Ia tertidur.
Ia terbangun oleh suara ketukan pelan yang diikuti salam dari luar kamar. Mujahid terjaga. Ia ragu akan suara yang didengarnya. Ia tetap berada di tempat tidur sampai ketukan kedua yang diselingi salam kembali terdengar. Setelah pintu dibuka dengan pelahan ternyata Didin sedang berdiri di situ.
“Waktunya dinner”, katanya singkat.
“Sebentar”, sahut Mujahid sembari mundur dan merapatkan kembali pintu kamarnya. Ia membasuh wajahnya di kamar mandi, kemudian mengeringkannya dengan handuk. Setelah merapikan rambutnya dengan sisir, Ia segera keluar dari kamar.
“Ini Sofwan asal Riau, Rizali asal Sumatera Barat, dan Gufron dari Sulawesi Selatan”. Didin mengenalkan ketiga pemuda yang sudah lebih dulu duduk di meja makan”.
“Kapan tiba?”, tanya Mujahid.
“Ana kemarin”, jawab Sofwan.
“Ana kemarin juga, tapi agak sore”, sahut Rizali.
“Kalau Ana dua hari yang lalu”, kata Gufron.
“Ayo, berbincang-bincangnya sambil makan, kasihan makanannya nanti dingin”, kata Didin menyela. Saat menikmati hidangan di meja, pikiran Mujahid terus berputar menyelidik. Tapi Ia tidak ingin menyinggung sang tuan rumah. Ia mencari peluang untuk bertanya lebih lanjut.
“Makanannya seperti di Indonesia, ya?”, katanya sambil mengambil sayur nangka.
“Memang! Pembantu di sini berasal dari Jawa Timur. Dulu bekerja pada orang Malaysie. Setelah habis kontraknya Kita ajak kerja di sini”, kata Didin.
“Yang tinggal di sini berapa orang?”, tanya Mujahid lagi.
“Sebetulnya empat orang. Sekarang pada sibuk dengan kegiatannya masing-masing”, jawab Didin.
“Mereka semua berasal dari Indonesia?”, tanya Gufron.
“Ya. selain dari Indonesia, di sini banyak mahasiswa dari negara-negara lain, sepeti Filipina, Thailand, Pakistan, Timur Tengah, atau Afrika Utara. Mereka biasanya tinggal berkelompok sesuai dengan negara asalnya masingmasing.Tapi Kami juga sering saling mengunjungi. Kalau di kampus, Kami sering mengadakan acara bersama,khususnya yang berkaitan dengan diskusi ilmiah atau kegiatan yang berkaitan dengan keagamaan”, jawab Didin.
“Ngomong-ngomong, bagaimana ceritanya Bang Didin sampai di sini?”, tanya Mujahid memanfaatkan peluang.
“Wah, ceritanya panjang”, sahut Didin.
“Tapi singkatnya begini. Dulu saye mondok di Pesantren yang jaraknya tidak jauh dari rumah di Garut. Saye termasuk tiga besar saat lulus. Berkat hubungan baik Pesantren dengan beberapa tokoh Islam di Jakarta, Kami bertiga mendapat rekomendasi untuk melanjutkan pendidikan. Ana ke sini. Satu ke Saudi Arabia dan yang satunya lagi ke Pakistan. Kalau angkatan sebelum Ana ada juga yang ke Mesir”.
“Masih saling berhubungan?”, tanya Mujahid mengejar.
“Kami berhubungan intensif lewat e-mail, termasuk dengan teman-teman yang mengabdi di pesantren. Internet sangat menolong, tidak hanya cepat, tapi juga murah. Kami memanfaatkan fasilitas yang ada di kampus”.
Mereka terus mengobrol, sampai kemudian Didin melihat ke jam yang tergantung di dinding.
“Sudah malam, Antum semua harus beristirahat yang cukup. Oh ya, hanya Antum yang belum menyerahkan paspor”, katanya sambil menatap Mujahid.

Cover Novel “Bersujud di Atas Bara” karya Dr Muhammad Najib. Bagi yang berminat dapat mencari bukunya di Google Play Books Store.
Hm… berarti Sofwan, Gufron, dan Rijali juga memiliki tujuan yang sama denganku, pikir Mujahid diam-diam. Mereka semua ingin berangkat ke Afghanistan.
“Ana akan ambil di kamar”, jawab Mujahid sembari mundur dari meja makan.
“Apakah Kami akan berangkat bersama-sama?”, tanya Mujahid sambil menyodorkan paspornya yang berwarna hijau.
“Ana usahakan”, jawab Didin.
Betul dugaanku, simpul Mujahid. Tidak salah lagi, ketiga orang pemuda itu juga akan berangkat ke Afghanistan. Sehabis sarapan pagi, Didin pergi sendirian membawa empat buah paspor mereka. Ia hanya berpesan, “Kalau mau jalan-jalan melihat suasana KL, jangan terlalu jauh. Dan kalau ketemu orang Indonesia, tidak perlu dIsapa!”, Ia berkata begitu sambil tersenyum.
“Memangnya kenapa?”, kejar Mujahid.
“Orang Indonesia di sini sering dipanggil Indon. Itu julukan melecehkan atau penghinaan”, kata Didin.
“Kenapa mereka bersikap seperti itu?”, tanya Mujahid.
“Para tenaga kerja Indonesia atau TKI khususnya yang ilegal banyak bikin masalah di sini”, jawab Didin.
Sebetulnya Mujahid ingin bertanya lagi, tapi Didin buru-buru pergi meninggalkan mereka sambil melambaikan tangan. Dengan berjalan kaki Mujahid lalu meninggalkan rumah kontrakan itu. Ia bergerak menuju jalan raya sambil mengingat-ingat bangunan di sekitarnya, agar tak tersesat saat kembali. Mujahid lalu berdiri di tempat yang agak teduh di pinggir jalan. Ketika sebuah taxi lewat, Ia menyetopnya dengan melambaikan tangan. Tapi taxi yang disetopnya tidak mau berhenti. Kenapa taxsi itu tidak mau membawaku, padahal taxsi itu kosong? Pikir Mujahid. Apakah si sopir itu tahu kalau Aku orang Indonesia? Duganya. Ah! Barangkali sopirnya sedang ngelamun saja, pikirnya menyimpulkan.
BACA JUGA:
- Novel Muhammad Najib, “Bersujud Diatas Bara” (Seri-6): Mengambil Keputusan Sulit
- Novel Muhammad Najib, “Bersujud Diatas Bara” (Seri-7): Terbang Ke Malaysia
Mujahid tetap berdiri di tempat semula sambil terus mengamati setiap kendaraan yang lewat. Ketika sebuah taxi kosong lewat, Mujahid buru-buru melambaikan tangannya kembali untuk memberi isyarat pada sang sopir agar berhenti. Sopir itu memandangnya sejenak, tapi kemudian meneruskan perjalanannya. Kurang ajar, dia tidak mau berhenti, gerutu Mujahid dalam hati. Seorang gadis yang melihat kejadian itu lalu mendekatinya.
“Encik pasti Indon, ya?”, sapa gadis melayu itu dengan santun.
“Kok Anda tahu?”, tanya Mujahid dengan ekpresi heran. Gadis itu tidak menjawab pertanyaan Mujahid. Ia malah berkata,
“Kalau mahu naik taxi harus menunggu di halte. Kalau tidak di halte, taxinya pasti tidak mahu berhenti”, kata gadis itu menjelaskan. Mujahid tersenyum mentertawai diri sendiri.
“Terima kasih!”, katanya sambil tersipu malu.
Ketahuan deh, Aku Indon, serunya dalam hati. Mujahid lalu melangkah ke halte terdekat yang jaraknya hanya lima puluh meter. Ia melihat tiga orang berjajar menunggu kendaraan di sana. Tak lama kemudian sebuah taxi berhenti. Orang yang paling depan lalu naik ke taxi itu. Ooo….!, rupanya mereka sedang antre, simpul Mujahid. Ia lalu ikut berdiri di belakang orang yang berbaris itu. Satu per satu dari mereka pergi dengan taxi, sampai tiba gilirannya. Sebuah taxi berhenti tanpa Ia perlu melambaikan tangan.
“Selamat pagi! Encik nak ke mane?”, tanya sang sopir.
“Terserah aja Cik, pokoknya ke tempat yang menarik”, jawab Mujahid.
Oo, mahu pusing-pusing KL, ya? Bagaimana kalau nak pegi ke Menare Petronas?”, tanya sang sopir menawari Mujahid melihat menara kembar sekaligus kebanggan orang Malaysia. Menara Petronas adalah menara tertinggi di Malaysia.
“Bolehlah, Cik!”, jawab Mujahid coba-coba memakai dialek setempat.
Taxi itu meluncur di jalanan yang lebar dan bersih menuju tempat tujuan. Luar biasa Malaysia! Jalan-jalannya bersih, gedunggedungnya tertata rapi. Taman-taman kota terawatbaik. Jalan-jalan tidak terlalu macet. Dan yang paling mengagumkan, para pengendara dan pejalan kaki sangat disiplin, pikir Mujahid dalam hati. Kenapa Jakarta atau Surabaya tidak bisa? Padahal bahasa kita sama, warna kulit kita sama, budaya kita sama, bahkan agama kita sama, protesnya lagi.
Sungguh beruntung Malaysia punya Mahatir Muhammad, Mujahid menyimpulkan peran besar pemimpin Malaysia itu, yang berhasil membangaun bangsa dan negaranya.
“Di sini banyak orang Indonesia?”, tanya Mujahid basabasi.
“Banyaklah! Kite kan bersaudare. Saudare serumpun”, jawab si sopir.
“Diimana biasanya mereka tinggal?”, tanya Mujahid.
“Kalau mahu cari Indon gampang, kalau ada telepon publik yang rusak pasti banyak Indon disana”, jawabnya sambil tertawa.
Kurang ajar! Ngeledek, lu! Gerutu Mujahid dalam hati, tapi Ia berusaha menahan diri dan berpura-pura tidak mengerti guyonan sang sopir. Menjelang waktu Asar Ia kembali ke rumah, kemudian menjelang Magrib, Didin sudah mengantarkan empat lembar tiket berikut keempat paspor yang sudah diberi visa oleh kedutaan Pakistan di Kuala Lumpur.
“Antum berempat berangkat besok malam dengan pesawat Pakistan PIA”, kata Didin di ruang depan.
“Apakah Kami akan terbang lewat Pakistan?”, tanya Mujahid.
“Ya!”, jawab Didin tegas.
“Di kota mana Kami akan mendarat?”.
“Islamabad! Ibukota Pakistan ini di samping secara geografis jaraknya paling dekat ke Peshawar yang menjadi tujuan akhir perjalanan , juga kota ini merupakan kota terdekat dari perbatasan Afghanistan”.
“Besok berangkat jam berapa?”, tanya Sofwan.
“Ba’da Isya”, sahut Didin singkat.
“Siapa yang akan menjemput Kami disana?”.
“Jangan khawatir! Kalaupun tidak ada yang menjemput, toh Antum pergi berempat. Apa Antum tkut?”, tanya Didin dengan nada menggoda.
“Bukannya takut, tapi…” Rizali menggaruk-garuk kepalanya.
“Sudahlah! Akan ada yang menjemput di Bandara Islamabad. Mereka akan menggunakan bendera merahputih sebagai tanda. Begitu saja. Sekarang istirahatlah. Siapkan diri untuk penerbangan esok”, ucap Didin.
Pertemuan malam itu usai. Mereka kembali ke kamar masing-masing untuk tidur. Keesokan harinya Didin mengajak Mereka semua untuk shalat Asar berjamaah di ruang belakang yang difungsikan sebagai mushala. Didin memimpin shalat kali itu. Seusai memberikan salam kemudian mereka berdoa. Usai berdoa, Didin membalikkan badannya, menyodorkan tangannya untuk bersalaman dengan Mereka satu per satu.
“Antum siap-siap sekarang. Jangan ada barang-barang yang ketinggalan. Ana akan menyiapkan mobil”. Beberapa menit kemudian pemuda-pemuda itu sudah siap berangkat ke Bandara Internasional Kuala Lumpur yang sering disingkat KLI.
“Karena tidak ada yang membawa koper besar, maka sebaiknya semua barang-barang dibawa saja ke atas pesawat dan disimpan di kabin”, saran Didin.
“Maaf Ana kurang paham”, tanya Mujahid.
“Saat check in di bandara atau waktu mengambil boarding pass, barang-barang jangan diserahkan. Antum pegang saja. Kalau ditanya petugas bilang saja mau disimpan di kabin. Antum simpan semua barang di atas tempat duduk, agar saat keluar nanti bisa lebih cepat”, kata Didin menjelaskan.
Setelah semua mengerti, Didin mengambil posisi di belakang kemudi. Ia lalu mempersilakan semuanya untuk naik ke mobil.
“Antum saja yang di depan”, kata Rizali pada Mujahid sambil masuk dan duduk di kursi belakang diikuti yang lain. Mujahid lalu duduk di depan.
“Kami ini sebetulnya rombongan yang ke berapa, Bang?”, tanya Mujahid pada Didin.
“Wah, Ana tidak ingat lagi”, jawab Didin.
“Sejak kapan Antum membantu kawan-kawan seperti Kami ini?”, tanya Mujahid lagi.
“Sejak enam bulan lalu”, jawab Didin.
“Setiap bulan berapa orang yang berangkat?”.
“Setiap minggu, antara lima sampai sepuluh orang.”
“Apakah Antum satu-satunya yang melakukan kegiatan seperti ini disini?”.
“Untuk membantu teman-teman yang berasal dari Indonesia ada tiga atau empat kelompok. Ada juga yang membantu kawan kawan yang datang dari Thailand atau Filipina. Ana tidak tahu berapa banyak. Tapi yang jelas, mereka yang datang dari Thailand dibantu oleh saudara Kita dari Thailand juga, begitu pula yang dari Filipina.”.
Tanpa terasa mobil sudah tiba di bandara Kuala Lumpur. Didin meminggirkan mobilnya. Mereka cepat-cepat turun dan bergegas mengeluarkan barang-barang dari bagasi.
“Di sini tidak boleh parkir lama-lama”, kata Didin.
Ia menyalami dan memeluk keempat pemuda itu satu per satu.
“Selamat jalan dan selamat berjuang!”, katanya berbisik pelan.
“Antum masuk dari pintu sini!”, Ia menunjuk pintu dimana para penumpang masuk. Setelah itu tanpa menoleh lagi Didin naik ke mobil lalu bergegas meninggalkan tempat
itu.
(Bersambung…)
EDITOR: REYNA
Related Posts
Api di Ujung Agustus (Seri 33) – Pengkhianat Didalam Istana
Api di Ujung Agustus (Seri 31) – Bayangan Kudeta Makin Nyata
Api di Ujung Agustus (Seri 30) – Jejak Jaringan Tersembunyi
Api di Ujung Agustus (Seri 29) – Jejak Operasi Tersembunyi
Api di Ujung Agustus (Seri 28) – Jantung Garuda Di Istana
Api di Ujung Agustus (Seri 27) – Jalur Rahasia Wiratmaja
Api di Ujung Agustus (Seri 26) – Bayangan Dalam Istana
Api di Ujung Agustus (Seri 25) – Garuda Hitam Membara
Api di Ujung Agustus (Seri 24) – Kartu As Gema
Api di Ujung Agustus (Seri 23) – Dua Api, Satu Malam
รับออกแบบลายเซ็นJanuary 21, 2025 at 11:34 pm
… [Trackback]
[…] Find More to that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-bersujud-diatas-bara-seri-8-menuju-pakistan/ […]