Tulisan berseri ini diambil dari Novel “SAFARI” karya Dr Muhammad Najib. Bagi yang berminat dapat mencari bukunya di Google Play Books Store, lihat linknya dibawah tulisan ini. Atau pesan langsung bukunya pada redaksi zonasatunews.com dengan nomor kontak WA: 081216664689
Novel “SAFARI” ini merupakan fiksi murni yang diangkat dari kisah nyata yang dialami sejumlah mahasiswa yang kuliah di luar negri dikombinasi dengan pengalaman pribadi penulisnya. Seorang mahasiswa yang memiliki semangat tinggi untuk menuntut ilmu di negara maju, ditopang oleh idealisme berusaha memahami rahasia kemajuan negara lain yang diharapkan akan berguna bagi bangsa dan negaranya saat kembali ke tanah air.
Karya: Muhammad Najib
Dubes RI Untuk Kerajaan Spanyol dan UNWTO
Cover Novel “SAFARI” karya Dr Muhammad Najib. Bagi yang berminat dapat mencari bukunya di Google Play Books Store. Ikuti linknya dibawah.
SERI-26
Dari Australia, akhirnya Aku bisa mampir mudik ke Bali. Setelah terbang cukup lama, pramugari memberikan abaaba, “dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi pesawat akan mendarat di Bandara Ngurah Rai, Denpasar. Para penumpang agar kembali ke tempat duduknya masing-masing, mengencangkan ikat pinggang, dan melipat meja yang masih terbuka. Bagi penumpang yang berada di kelas bisnis, agar melipat tempat pijakan kaki”.
Aku yang terlelap tidur, terbangun dengan perasaan berbunga-bunga. Sebentar lagi Aku akan menginjakkan kaki di kampung, bertemu dengan keluarga dan teman-teman, serta menyantap makanan kesukaanku yang sangat kurindu. Sekiranya bisa melompat, maka Aku akan melompat dari pesawat ini. Rasanya tak sabar menanti pesawat mendarat.
“Ada saran, dimana bagusnya Kita bermalam?”, tanya Prof. Frederich yang duduk di sebelahku, membuyarkan lamunanku.
“Kalau ingin yang ramai, bagus di Kute. Kalau ingin yang tenang, baik di Sanur. Tapi kalau mau tenang dan bagus pilih Nusa Dua. Hanya saja di Nusa Dua tarif hotel cukup mahal”, jawabku.
“Berapa?”, tanyanya.
“Untuk hotel bintang lima, antara dua ratus sampai tiga ratus Euro”, jawabku.
“Murah betul”, komentarnya.
“Tidak sampai separuh tarif hotel-hotel di Jerman. Kita pilih Nusa Dua saja”, tambahnya.
Hotel-hotel di Bali terhitung cukup murah dibanding hotel-hotel di Eropa. Apalagi hotel di Inggris yang terkenal sebagai salah satu kota termahal di dunia, tarifnya bisa sepuluh kali tarif hotel di Indonesia. Begitu juga makanan dan biaya transportasi.
Pesawat mendarat pukul sepuluh malam waktu setempat. Kami menuju counter travel di Bandara Ngurah Rai untuk memesan hotel. Kami diantar ke mobil hotel yang sudah menanti di pintu keluar. Cukup profesional, pikirku bangga.
Tidak sampai setengah jam Kami sampai di kawasan Nusa Dua. Taman-tamannya indah dan tertata rapi. Didominasi pohon-pohon kamboja dengan bunga-bunganya berwarna putih, kuning dan merah, yang menjadi ciri Pulau Dewata. Pengaturan cahaya taman yang tepat menambah eksotiknya suasana. Oh, betapa indahnya negeriku, kataku dalam hati.
“Kenapa selama ini aku tidak bisa merasakannya?”, protesku pada diri sendiri.
Dulu Aku hanya bisa memandangi tempat ini dari luar pagarnya saja. Kami disambut dengan ucapan selamat datang oleh seorang pemuda dan gadis Bali yang berpakaian adat setempat dengan cara yang sangat santun. Di atas telinga si gadis diselipkan sekuntum bunga kemboja berwarna kuning, melengkapi kekhasannya. Hanya mampir sebentar di meja recepsionis untuk dicatat nomor paspor Kami, lalu kami diberi kunci dan diantar ke kamar. Prof. Frederich dan istrinya menempati satu kamar, sementara Aku di kamar sebelahnya.
“Besok Kita bertemu saat sarapan untuk mengatur program”, katanya saat masuk ke kamar.
Pukul tujuh pagi Aku turun ke restoran untuk sarapan. Aku memilih tempat duduk di sisi jendela yang menghadap ke pantai. Aku memandangi alam terbuka dengan hamparan pantai dibingkai oleh rumput hijau rapi dan bersih, dilengkapi berbagai jenis bunga berwarna-warni.
“May I help you?”, sapa seorang gadis belia dengan dialek Balinya yang kental, memecah lamunanku.
Mungkin Ia mengira Aku orang asing. Memang hidungku lebih tinggi di banding rata-rata hidung orang Indonesia. Kulitku lebih terang, apalagi setelah lama di Jerman, rambutku terasa kekuning-kuningan. Pikiran usilku muncul. Aku jawab dengan menggunakan bahasa inggris, “Tea
please!”.
Gadis itu merunduk dengan sangat sopan. Aku teringat keluhan teman-teman yang berkunjung ke Bali saat Aku masih kuliah di Bandung. Orang-orang Bali menyikapi turis asing jauh lebih ramah dibanding terhadap bangsanya sendiri. Mungkinkah ini efek samping dari sebuah masyarakat penjual jasa yang sangat bergantung pada sektor pariwisata? Atau memang merupakan kodrat manusia memberikan penghargaan lebih pada mereka yang berduit. Di tempat ini tampaknya orang yang memegang dolar lebih berharga dibanding mereka yang memegang rupiah.
Prof. Frederich dan Mbok Musni masuk ke ruang makan. Melihat Aku di situ, mereka kemudian mengambil tempat duduk di sebelahku. Kami mengobrol dan bercanda dengan menggunakan bahasa Jerman. Sambil makan, Ia menyampaikan bahwa siang nanti Ia akan ke kampung istrinya di Ubud.
Mbok Musni memang berasal dari daerah yang dikenal sebagai surganya seniman. Mbok Musni sendiri dulunya seorang penari Bali. Prof. Frederich melihat kemudian mengaguminya, saat Ia pentas di Berlin dalam sebuah perjalanan pertunjukan keliling Eropa.
“Tapi, malamnya Kita akan kembali ke Denpasar. Dan Anda boleh bikin acara sendiri”, katanya.
Usai sarapan mereka kembali ke kamar. Aku tidak boleh pergi sebelum mereka berangkat. Aku melangkah ke arah pantai, melalui jalan setapak yang ditata apik. Pijakan terbuat dari batu alam yang ditata rapi di antara rumput halus. Di sisi Kiri dan Kanan terdapat berbagai jenis bunga warna-warni. Deburan ombak terdengar sayup-sayup bercampur dengan kicauan burung. Aku terus bergerak ke sisi kolam renang sambil terus menatap ke arah laut lepas. Aku rebahkan badan pada tempat tidur yang biasa digunakan oleh para turis untuk menikmati matahari seusai lelah berenang.
Oh, negeriku! Betapa indahnya engkau. Jauh lebih indah dari tempat-tempat yang pernah Aku kunjungi. Tapi, kenapa semua ini baru Aku rasakan? Mungkinkah sebuah keindahan ditentukan oleh siapa yang merasakannya, bagaimana posisinya, dan berapa banyak duit yang dimilikinya? Pikiranku terus melayang dan bertanyatanya. Angin pagi pantai bertiup sepoi seolah sengaja mengipasiku, membuatku menjadi mengantuk dan tertidur.
Aku terjaga saat waktu sudah menunjukan pukul 12.00. Aku kembali ke ruang makan. Ruangan masih sepi. Biar Aku makan siang lebih awal, pikirku. Aku meminta buku menu pada pelayan yang sedang bertugas. Setelah melihat sejenak, Aku memilih makan nasi dengan sea food yang ditulis dengan nama Balinese Sea Food. Makanan disajikan dengan piring terbuat dari rotan yang dianyam, dilapisi daun pisang. Sea food dibakar dengan sambal Bali yang khas pedas tidak digoreng (sambal matah) dengan aroma jeruk purut yang kuat. Aku sangat menikmatinya. Disamping masakannya memang enak, cukup lama Aku tidak menikmati masakan Indonesia.
Usai makan, pikiran usilku muncul kembali. Sekadar untuk membunuh waktu, pikirku. Aku memanggil seorang pelayan yang berdiri dekat mejaku.
“Enak betul sea food-nya”, komentarku dalam bahasa Inggris.
Dengan bahasa Inggris yang sangat kaku dan perbendaharaan kata yang terbatas, Ia menjelaskan apa yang Aku makan merupakan salah satu keunggulan restoran itu.
“Apakah kokinya orang asing, atau lokal?”, tanyaku.
“Orang asli Bali, Mister”, katanya dengan dialek Balinya yang khas.
“Tapi, sudah standar internasional”, katanya lagi, melanjutkan.
“Maksudnya?”, tanyaku tak mengerti.
Kebetulan, koki yang dimaksud sedang mengawasi penataan makanan yang akan disajikan dengan cara prasmanan.
“Beli… Beli, turis ini sangat mengagumi masakan Beli”, katanya dalam bahasa Bali.
“Beli” artinya abang dalam bahasa setempat. Aku pura-pura tak faham.
“I am Cokorde Kompyang, chep of this restaurant”, katanya memperkenalkan diri.
“Apakah masakan khas ini juga dimakan masyarakat Bali?”, tanyaku.
“Sebetulnya sea food yang Saya buat ini diadopsi dari masakan Italia. Saya bermain di kemasannya. Yang asli cuma sambalnya”, katanya berseloroh.
“Bagaimana Anda sampai menemukan ide unik seperti ini?”
“Ceritanya panjang. Selama 10 tahun Saya merantau ke Eropa dan sebagian besar waktu Saya habiskan di dapur. Mulai tukang cuci piring sampai menjadi asisten koki. Awalnya diajak pacar asal Perancis. Setelah tinggal bersama selama dua tahun, kami makin merasakan ketidakcocokan. Kami berpisah secara baik-baik. Saya lalu berkelana. Saya tidak tamat SMA. Tidak mudah mencari kerja. Yang terbuka hanyalah pekerjaan informal, sebagai pekerja gelap di dapur. Syaratnya jangan sering-sering ke luar rumah. Sebagai pekerja gelap tentu harus bersedia dibayar di bawah gaji standar. Dan pekerjaan mencuci piring selalu terbuka”, katanya.
“Kalau bisa masak, apalagi masakan Asia, bisa mendapat gaji lebih besar. Restoran Cina biasanya mempekerjakan orang Cina, begitu juga restoran Asia lainnya seperti India, Thailand, Turki, bahkan Vietnam. Tidak banyak restoran Indonesia di Eropa. Saya pernah ketemu, tapi terlalu banyak orang Indonesia yang mau bekerja di sana. Di Belanda ada beberapa restoran Indonesia. Orang Belanda banyak yang suka masakan Indonesia, seperti gado-gado dan nasi goreng. Juga tempe dan tahu goreng. Karena itu, Saya lebih memilih restoran-restoran Barat. Lama kelamaan pangkat Saya naik. Terakhir Saya bekerja di sebuah restoran Italia di kota Roma sebagai asisten Chep”, tambahnya.
Baca Juga:
- Novel Muhammad Najib, “SAFARI”(Seri-23): Takjub Di Luxor
- Novel Muhammad Najib, “SAFARI”(Seri-24): Menjadi Asisten Herr
- Novel Muhammad Najib, “SAFARI”(Seri-25): Ke Negeri Kanguru
Usai makan, Aku menandatangani bon dan mencantumkan nomor kamarku. Lalu Aku menyelipkan lima Euro ke dalamnya. Dua orang pelayan yang berdiri tidak jauh berbisik.
“Lumayan”, komentar salah seorang.
Aku pura-pura tidak mengerti kegembiraan kecil mereka. Lalu Aku bergerak ke kafe dekat lobby memesan Capucino kesukaanku. Aku sengaja memilih tempat ini, dengan pertimbangan kalau Prof. Frederich berangkat akan kelihatan.
Tidak lebih dari setengah jam, Aku melihat dia dan istrinya yang menjinjing tas kecil lewat. Aku menghampirinya sampai naik ke mobil hotel yang disewanya. Ia melambaikan tangan sambil mengucapkan
sampai jumpa.
Aku sengaja tidak menelpon ke rumah dengan maksud untuk memberi kejutan. Kupanggil taksi lalu bergerak. Aku berdiri sejenak memerhatikan suasana toko kue ibuku yang semakin besar dan ramai. Aku perhatikan Ibu duduk di balik meja asyik menghitung dengan kalkulator kecil di tangannya. Dua orang pegawainya menyapa, “Mau beli kue apa, Pak?”
“Saya cuma mau lihat-lihat aja”, jawabku.
Aku terus perhatikan Ibu sampai Dia mengangkat kepala. Saat matanya menumbuk wajahku, Ia terperangah dengan mulut mengaga. Lalu Aku menghampirinya, mengambil tangannya lalu menciumnya.
“Anakku”, serunya dengan suara hampir tak terdengar. Ibu menciumi kedua pipiku secara bergantian. Aku tak kuasa lagi menahan diri. Aku dekap erat-erat tubuhnya yang terasa mulai ringkih.
“Apakah Kamu bahagia, Nak?”, demikian kalimat pertama yang keluar dari bibirnya.
“Tidak!”
“Apa yang membuat kamu tidak bahagia?”
“Aku bahagia, Bu”.
Ibu menempelkan kedua telapak tangannya ke kedua pipiku. la menatap wajahku dalam-dalam tanpa kata-kata seolah membaca masalah apa yang sedang Aku hadapi. Matanya memancarkan cahaya yang mengalirkan kasih sayang yang sangat dalam. Aku tak kuasa menahannya. Dadaku tiba-tiba bergetar. Air mata mengalir deras dari ujung kelopak mataku, walaupun Aku berjuang untuk menahannya sekuat tenaga. Aku tak kuasa.
“Ceritakan kepada Ibu, Nak, barangkali Ibu dapat meringankan bebanmu”, katanya lirih.
Kata-katanya membuat air mataku semakin deras mengalir bagai air bah yang menjebol tanggul. Lalu Ia merangkul dan mendekap tubuhku erat-erat.
“Mungkin Kamu masih lelah, beristirahatlah!”, katanya sambil melepas pelukannya perlahan-lahan.
Aku bahagia karena Aku bisa melihat banyak hal yang tidak bisa dilihat teman-temanku di sini. Tapi, dalam waktu yang sama Aku menyaksikan betapa ketidakadilan dipraktikkan oleh mereka yang memiliki kekuatan lebih. Aku teringat saat negaraku dicibir oleh berbagai media asing. Apalagi selalu muncul stereotif tidak menyenangkan dari tanah air yang membuat Aku semakin rendah diri. Itupun masih ditambah dengan kebiasaan teman-teman yang berasal dari Eropa, yang seperti sengaja menyindir atau mengolok-olok dengan memanfaatkan isu kerusuhan akibat sara atau negeriku yang selalu juara dalam masalah korupsi. Itu sebabnya Aku sering menghindar bergaul dengan mereka. Aku lebih suka dengan para mahasiswa Asia. Mereka bahkan sering menunjukkan sikap empati. Sementara para mahasiswa Eropa cenderung sinis dan egois.
Sepertinya Ibu tidak terlalu peduli pada perasaan yang menyesakkan dadaku ini. Tampaknya Dia tidak terlalu faham makna dari jawaban sederhana yang baru saja Aku berikan. Rasanya berlebihan juga kalau Aku harus menuntut, mengingat Ia tidak pernah keluar negeri sama sekali, juga tidak membaca koran. Sekolahnya juga cuma sampai SMA, dan itupun tidak tamat. Dia menarik tanganku persis saat Aku pertama kali diantar ke sekolah.
Aku terbayang kembali rasa gembira yang tak berhingga ketika itu. Alangkah bahagianya masa kanak-kanak itu, pikirku membayangkan masa kecilku. Ibu menuntunku ke serambi di belakang rumah. Ayahku
di sana duduk menghadap ke taman kecil. Aku ambil tangannya untuk bersalaman lalu Aku cium bagian punggungnya tanda baktiku penuh. Ia tidak seperti Ibu yang kaget dan haru saat melihat Aku muncul di rumah.
Hubunganku dengan Ayah memang tidak sedekat dengan Ibu. Ia terlalu keras terhadap anak-anaknya. Ia melihat masalah terlalu rasional. Apalagi sebagian besar hidupnya dihabiskan di tahanan, sehingga sedikit sekali Aku merasakan belaian kasih sayangnya. Ia memandangiku dari ujung kaki sampai rambut penuh selidik.
“Bagaimana shalatmu?”, tanyanya dengan nada datar.
“Alhamdulillah”, jawabku.
Ia tersenyum. Ia tampak semakin berwibawa di mataku. Mungkin karena penampilan fisiknya dengan rambut yang sebagian sudah memutih, atau mungkin karena janggutnya semakin lebat, atau mungkin juga karena adanya perubahan perasaan dalam diriku sendiri. Dulu Aku hanya berpikir bahwa Ayah terlalu egois, sehingga diriku, Ibu dan adik-adiku, harus menanggung beban yang begitu berat karena tindakannya.
Sewaktu masih kecil Aku sering menyalahkannya. Tapi, Ibu selalu membela, dan mencoba menjelaskan duduk persoalannya. Menurut Ibu, Ayah ditahan karena sewaktu muda dulu Ia pernah bergabung dengan para Mujahidin melawan tentara Komunis Uni Soviet. Lalu dikaitkaitkan semata-mata karena beberapa pelaku bom Bali adalah orang yang bersama-sama pernah berjuang di Afghanistan. Kini setelah dewasa, apalagi setelah bergaul dengan banyak tokoh gerakan, Aku bisa memahami pilihannya, bahkan bersimpati.
Walaupun harus mendekam berpuluh tahun di penjara, Ayah tidak pernah menyesali pilihan hidupnya. Di matanya, apa yang Aku capai saat ini, adiku yang kini menjadi dokter dan tinggal bersama suaminya di Surabaya, serta si bungsu yang sedang menyelesaikan studinya bidang sastra di Universitas Udayana, seolah imbalan dari Yang Maha Kuasa atas penderitaannya selama ini.
Aku berbaring di atas dipan dekat taman kecil di halaman belakang untuk menghirup udara segar, sembari melepas rindu setelah lebih dari tiga tahun di rantau. Rindu airnya, rindu udaranya, rindu masakannya, rindu teman-teman lama. Ingin rasanya lebih lama tinggal di rumah menikmati apa yang tidak bisa Aku rasakan di negeri orang. Kini Aku baru bisa merasakan betapa bahagianya tinggal di rumah dan dekat dengan keluarga. Aku memandangi pohon melati yang penuh dengan bunga piaraan Ibu. Aku petik beberapa bunga yang mekar, lalu kembali ke tempat pembaringan sambil terus menciumi bunga yang Aku sangat suka wanginya.
“Mau minum apa, Nak?”, tanya Ibu sambil menyodorkan piring yang berisi empat potong pisang goreng yang masih hangat.
“Teh saja, Bu”, jawabku.
Sebelum dia membalikan badan, “Siapa yang menanam melati ini bu?”, tanyaku pura-pura tidak tahu.
“Adikmu, Sakina”, jawabnya sambil tersenyum gembira terhadap apresiasiku pada tanaman kesayangannya, karena ia tahu betul bahwa Aku mengetahui dirinyalah yang menanamnya. Saat kembali mengantar teh, Ibu duduk di sebelah bantal tempat Aku menyandarkan kepala.
“Bu, anak laki-laki sebaiknya mengakhiri masa lajangnya pada usia berapa?”, tanyaku memulai.
“Masalah usia itu relatif, Nak!”
Aku diam mencoba meraba apa yang Ibu pikirkan dengan pertanyaanku. Ia juga diam, mungkin juga sedang membaca kemana arah pertanyaanku.
“Maksudku, kapan Ibu ingin punya menantu perempuan?”, tanyaku lagi karena adik perempuanku, Sakina, tahun lalu sudah menikah dengan pilihannya sendiri.
“Apa Kamu sudah punya calon?”, tanya Ibu dengan nada menebak.
Aku berusaha tenang dan acuh mendengar tebakannya.
“Calon sih belum, tapi rasanya Aku sudah harus mulai memikirkannya, agar jangan jadi perjaka tua”, jawabku sambil meliriknya dengan nada menggoda.
“Setelah lulus nanti sebaiknya Kamu segera menikah agar jangan sampai terperosok pada hal-hal yang dilarang agama”, katanya sambil membelai rambutku.
“Apa Ibu punya saran, gadis yang bagaimana yang cocok untukku?”
“Tentu Kamu lebih tahu. Tapi, kalau Ibu boleh sarankan, carilah yang sederajat dengan Kita agar Kamu tidak susah nantinya”.
Aku terperanjat dengan sarannya. Lalu Aku mengambil posisi duduk sambil memeluk bantal penopang kepalaku.
“Maksudnya sederajat itu apa, Bu?”, tanyaku dengan serius.
“Yah dari keluarga yang tidak beda jauh dari Kita, kalau bisa yang pendidikannya sedikit di bawah kamu. Hindari menikah dengan anak orang yang terlalu kaya atau anak orang yang pangkatnya terlalu tinggi”.
“Memangnya kenapa kalau anak orang kaya atau anak orang berpangkat?”
“Karena Kamu laki-laki. Kamu harus mampu menjadi kepala rumah tangga sepenuhnya”, katanya dengan nada mantap.
“Kalau orang asing bagaimana, Bu?”
“Itu lebih sulit lagi”.
“Sulitnya apa, Bu?”, kataku berusaha mengejar.
“Budayanya beda, seleranya juga pasti beda, dan kalau mau mudik biayanya mahal”, katanya sambil tersenyum dengan nada canda.
“Bisa aja ibu”, sahutku sambil tersenyum juga.
Kini Aku tahu kriteria calon menantu yang diinginkan ibuku. Lewat telepon Aku menitipkan pesan kepada resepsionis hotel, kalau malam ini Aku bermalam di rumah, kemudian meninggalkan nomor telepon sekiranya ada yang mencari. Kalau Prof. Frederich atau Mbok Musni mencariku, Ia bisa kontak via HP.
Keesokan harinya, pagi-pagi betul Aku jalan- jalan ke pasar yang berjarak hanya dua ratus meter dari rumah. Seorang teman sekelasku saat SD tampak sedang memotong kemudian menimbang potongan-potongan ayam.
“Budi!”, kupanggil nama kecilnya.
Ia menoleh. “Amil!”, katanya.
Ia menghampiriku lalu memelukku erat-erat.
“Oh, maaf, tanganku kotor”, katanya, seperti baru tersadar, sambil mendekatkan kedua tangannya ke hidungnya.
“Wah Kamu hebat ya. Aku dengar Kamu keliling dunia terus. Sementara, Aku… yah beginilah seperti yang kamu lihat”, katanya lagi sambil memandangi wajahku.
“Di mana-mana langit sama tinggi, seringkali Kita hanya bisa saling menduga. Yang panting kan bahagia. Kadang-kadang Aku juga ingin hidup di kampung seperti Kamu”, kataku untuk menghiburnya.
“Yah, Kamu pasti bahagia”, katanya.
“Kebahagian itu ada dalam diri kita. Bukan di luar sana”, jawabku.
Lalu Aku mampir ke sekolah. Teman SMA-ku, Affandi, kini menjadi kepala sekolah di SD tempat Aku belajar dulu. Setelah puas bertukar cerita, Affandi lalu memintaku untuk bercerita tentang perjalanan hidupku sampai Aku sukses dalam jenjang Pendidikan di depan anak anak didiknya.
“Untuk memotivasi anak-anak”, katanya.
Sungguh Aku merasa berharga, dan sangat bergembira ketika anak-anak kelas enam sangat antusias mendengar penuturanku. Aku terbayang saat-saat Aku seusia mereka yang memupuk mimpi-mimpi dan cita-cita.
Dua malam tinggal di rumah bersama keluarga terasa sangat singkat. Rasanya berat sekali meninggalkan tempat kelahiranku ini. Ingin rasanya menambah barang tiga sampai empat hari lagi. Sebenarnya Aku bisa saja menunda kepulanganku, apalagi tiket yang Aku gunakan memungkinkan untuk itu, tanpa harus menambah biaya. Tapi, Aku harus menjaga hubungan baikku dengan Prof. Frederich, walaupun Aku yakin Dia tidak akan keberatan bila Aku mengatakannya. Tidak elok rasanya kalau berangkat bersama, sedangkan pulang tidak bareng. Aku harus melawan keinginanku. Hari ketiga Aku kembali ke hotel, karena malamnya harus sudah terbang dan meninggalkan Kota Denpasar.
(Bersambung…..)
EDITOR: REYNA
Bagi yang berminat dengan karya-karya novel Dr Muhammad Najib dapat mencari bukunya di Google Play Books Store, melalui link dibawah ini:
Judul Novel: Di Beranda Istana Alhambra https://play.google.com/store/books/details?id=IpOhEAAAQBAJ Judul Novel: Safari https://play.google.com/store/books/details?id=LpShEAAAQBAJ Judul Novel: Bersujud Diatas Bara https://play.google.com/store/books/details?id=WJShEAAAQBAJ![]()
Related Posts

Api di Ujung Agustus (Seri 34) – Gelombang Balik

Api di Ujung Agustus (Seri 33) – Pengkhianat Didalam Istana

Api di Ujung Agustus (Seri 31) – Bayangan Kudeta Makin Nyata

Api di Ujung Agustus (Seri 30) – Jejak Jaringan Tersembunyi

Api di Ujung Agustus (Seri 29) – Jejak Operasi Tersembunyi

Api di Ujung Agustus (Seri 28) – Jantung Garuda Di Istana

Api di Ujung Agustus (Seri 27) – Jalur Rahasia Wiratmaja

Api di Ujung Agustus (Seri 26) – Bayangan Dalam Istana

Api di Ujung Agustus (Seri 25) – Garuda Hitam Membara

Api di Ujung Agustus (Seri 24) – Kartu As Gema




Novel Muhammad Najib, “SAFARI”(Seri-27): Menginjak Gedung Putih - Berita TerbaruMay 25, 2023 at 6:13 am
[…] Novel Muhammad Najib, “SAFARI”(Seri-26): Mudik ke Bali […]
ป้ายโฆษณารถยนต์October 4, 2023 at 5:55 am
… [Trackback]
[…] Information to that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-26-mudik-ke-bali/ […]
Online medicatie kopen zonder recept bij het beste Benu apotheek alternatief in Amsterdam Rotterdam Utrecht Den Haag Eindhoven Groningen Tilburg Almere Breda Nijmegen Noord-Holland Zuid-Holland Noord-Brabant Limburg Zeeland Online medicatie kopen zonder rOctober 9, 2023 at 1:41 am
… [Trackback]
[…] Find More on that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-26-mudik-ke-bali/ […]
918Kiss SlotDecember 18, 2023 at 6:20 am
… [Trackback]
[…] Information to that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-26-mudik-ke-bali/ […]
pork rectumMarch 9, 2024 at 7:42 am
… [Trackback]
[…] Read More here to that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-26-mudik-ke-bali/ […]
devops consulting companyMarch 27, 2024 at 1:25 pm
… [Trackback]
[…] Read More here to that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-26-mudik-ke-bali/ […]
fuck boyJune 19, 2024 at 5:16 pm
… [Trackback]
[…] Information on that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-26-mudik-ke-bali/ […]
basicsJuly 1, 2024 at 5:35 pm
… [Trackback]
[…] There you will find 54435 additional Information to that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-26-mudik-ke-bali/ […]
โปรโมชั่น ติดใจ 888July 12, 2024 at 8:54 am
… [Trackback]
[…] Find More Information here on that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-26-mudik-ke-bali/ […]
แม่บ้านสมุทรปราการAugust 21, 2024 at 5:57 am
… [Trackback]
[…] Here you can find 84334 more Info to that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-26-mudik-ke-bali/ […]
พิมพ์สติกเกอร์ฉลากสินค้าแบบม้วนAugust 28, 2024 at 7:27 am
… [Trackback]
[…] Info to that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-26-mudik-ke-bali/ […]
overwatch map hackSeptember 26, 2024 at 1:06 pm
… [Trackback]
[…] Find More here on that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-26-mudik-ke-bali/ […]
https://hitclub.blueSeptember 29, 2024 at 11:49 pm
… [Trackback]
[…] Find More on that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-26-mudik-ke-bali/ […]
บริการส่ง SMSNovember 2, 2024 at 9:28 am
… [Trackback]
[…] Read More on that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-26-mudik-ke-bali/ […]
kc9January 30, 2025 at 7:42 am
… [Trackback]
[…] Find More on that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-26-mudik-ke-bali/ […]