Novel Terbaru Dr Muhammad Najib: “Jalur Rempah Sebagai Jembatan Timur dan Barat” (Seri-3): Silaturahim Dengan Pak Dubes

Novel “Jalur Rempah Sebagai Jembatan Timur dan Barat” karya Masterpiece Dr Muhammad Najib ini terinspirasi dari kisah Jalur Sutra atau Tiongkok Silk Road, yang kini muncul kembali dalam bentuk baru: One Belt One Road (OBOR) atau Belt and Road Initiative (BRI).

Penulis yang saat ini menjabat sebagai Duta Besar RI Untuk Kerajaan Spanyol dan UNWTO ini meyakini, Indonesia sebagai Jamrud Katulistiwa ini sebenarnya juga memiliki warisan sejarah yang bernilai. Sayangnya, kita belum mampu mengapitalisasi warisan leluhur yang dimiliki, seperti yang dilakukanTiongkok, meski peluang Indonesia sama besarnya.

Novel ini sendiri merupakan fiksi murni. Di sini, penulis mencoba mengangkat fakta-fakta sejarah, diramu dengan pemahaman subjektif penulis sendiri terhadap situasi terkait.

Ada berbagai peristiwa sejarah di masa lalu, yang seakan terjadi sendiri-sendiri dan tidak saling berkaitan. Maka dalam novel ini, penulis berupaya merangkai semua dengan menggunakan hubungan sebab-akibat. Sehingga Novel ini menjadi sangat menarik. Ceritanya mengalir, kaya informasi, dan enak dibaca. Selamat membaca dan menikmati.

Foto Ilustrasi: Jalur Sutra (garis merah), jalur Rempah (garis biru)

Trending

Elon Musk mendukung kesepakatan tarif nol AS-Eropa

**********************************************************

SERI-3

Silaturahim Dengan Pak Dubes

Siang itu langit kelabu. Hujan turun rintik-rintik. Udara dingin menggigit kulit. Tubuhku kerap gatal karena tak tahan dingin. Pelembab kulit kugunakan untuk mengatasi kekeringan kulit. Ya, Spanyol mulai memasuki musim dingin.

Setelah mengenakan pakaian dalam hangat, kemudian pakaian luar, aku meraih jaket tahan air yang dilengkapi penutup kepala. Orang Indonesia di Spanyol biasa menggunakan penutup kepala. Rata-rata mereka menggunakan jaket multifungsi yang dilengkapi tutup kepala. Ini memang lebih praktis.

Orang Madrid sebaliknya. Mereka rata-rata tidak mengenakan penutup kepala sehingga hujan bisa mengenai rambut dan kepala. Namun ini tidak berlaku bagi perempuan yang berangkat bekerja atau pergi ke pesta. Mereka biasanya membawa payung.

Dari apartemen, aku berjalan ke Stasiun Metro bawah tanah. Sesudah itu aku naik bus kota, yang.akan berhenti di halte dekat KBRI. Aku berlangganan tiket terusan bulanan, yang jauh lebih murah dan praktis. Transportasi umum di Madrid memang terintegrasi. Jika harus berganti moda transportasi dari kereta ke bus atau sebaliknya, kita cukup menggunakan satu tiket elektronik. Bentuknya mirip kartu debit di Indonesia, yang dilengkapi chip berisi data diri sang pemilik.

Tiba di KBRI, aku langsung menuju Mushola As Salam di basement. Di sinilah shalat Jumat digelar. Saat masuk, aku melihat Pak Dubes duduk sendiri sedang berzikir. Memang sudah menjadi kebiasaannya untuk datang lebih awal dan meninggalkan mushala paling akhir. Aku duduk di belakangnya agar tidak mengganggu kekhusyukan. Selesai shalat dua rakaat, aku berzikir pelan, sambil menunggu waktu shalat Jumat dimulai. Satu-persatu  home staff dan local staff berdatangan.

Saat waktu shalat tiba, imam berdiri di mimbar mengucapkan salam. Lalu azan berkumandang tanda dimulainya shalat. Setelah khotbah dan ikamah, shalat pun dilaksanakan. Usai Shalat Jumat, satu persatu jamaah meninggalkan Mushala. Masih ada beberapa yang tinggal lebih lama untuk berzikir dan berdoa.

Aku sendiri tetap duduk di belakang Pak Dubes. Ia masih tampak khusyuk menunduk, tidak menoleh ke kiri dan kanan. Bibirnya terus bergerak melantunkan zikir. Akhirnya hanya  kami berdua yang ada di situ.

Saat akan beranjaki, Pak Dubes menoleh ke belakang. “Eh, sudah di sini rupanya…,” ujarnya menunjukkan mimik terkejut. Tak lama kemudian senyumnya mengembang.

“Yuk, ke lantai 6.”

Ia mengajakku ke ruang kerjanya.

Aku membalasnya dengan senyuman kemudian mengikuti langkahnya dari belakang.

Setelah lift berhenti di lantai 6, Pak Dubes memberi isyarat ke Sekretarisnya, Ibu Nani, untuk menyiapkan makan siang. Aku mengikuti Pak Dubes ke ruang kerjanya. Beliau duduk di sofa dan mempersilakan aku duduk di hadapannya. Kami hanya terpisah oleh sebuah meja pendek.

Beberapa saat kemudian, Ibu Nani masuk membawa dua kotak nasi.

“Yuk, makan siang dulu.”

Pak Dubes menyodorkan satu kotak untukku.

“Sejak kapan makan nasi kotak, Pak?” tanyaku yang baru kali ini melihat lunch box di Kedubes.

“Ini inisiatif ibu-ibu DWP yang belajar berbisnis.”

“Wah, kemajuan,” komentarku tersenyum.

“Ya.. setelah saya dorong. Umumnya ibu-ibu suka berpikir konsumtif, tidak produktif. Mindset seperti ini kalau dibiarkan terus akan menjadi kebiasaan. Jika sudah menjadi habit, tuntutan konsumtif akan terus berkembang. Jadi lunch box ini  salah satu terobosan. Saya juga mulai membatasi kegiatan hura-hura. Kepekaan sosial harus ditingkatkan. Masih banyak keluarga dan tetangga di negeri kita yang miskin dan sulit makan. Bahkan jika sakit, mereka tidak mampu berobat ke dokter atau pergi ke rumah sakit.”

Aku hanya diam mendengarkan. Bagiku ini merupakan curahan hati yang tidak perlu dikomentari. Jadi lebih tepat untuk disimak.

Baca Juga:

• Novel Terbaru Dr Muhammad Najib: “Jalur Rempah Sebagai Jembatan Timur dan Barat”; (Seri-1): Kembali ke Madrid
• Novel Terbaru Dr Muhammad Najib: “Jalur Rempah Sebagai Jembatan Timur dan Barat” (Seri-2): Menyusun Proposal

Aku menunggu kesempatan bertanya; Pertanyaan yang kupendam sejak di tanah air. Setelah Pak Dubes selesai makan dan meneguk air, kesempatanku tiba.

“Sepertinya Bapak berperan besar sehingga saya bisa kembali ke Madrid. Untuk itu saya berterima kasih.” Aku berkata sehalus mungkin.

Beliau tidak berkomentar. Hanya senyuman kecil yang mengembang di bibir. Aku semakin penasaran.

“Kalau boleh saya tahu, apa alasan Bapak?”

Pak Dubes diam sejenak. “Tidak banyak orang seperti Anda,” ujarnya.

“Dalam hal apa?” tanyaku kembali.

“Anda punya kepekaan sosial dan solidaritas tinggi. Anda juga jujur, pekerja keras dan pantang menyerah. Itu modal besar bagi pemimpin. Kecerdasan IQ banyak yang punya. Tetapi EQ sedikit dan SQ lebih sedikit lagi. Dan Anda memiliki semua.”

“Kalau IQ dan EQ, saya mengerti.  Tetapi apa yang Bapak maksud dengan SQ?” tanyaku penasaran.

“Keberhasilan manusia dalam menjalani hidup, termasuk meraih cita-cita, merupakan akumulasi dari 3Q tersebut. Bagi saya, yang paling menentukan justru SQ. Spiritual Quotient, disingkat SQ, merupakan kecerdasan yang berbasis pada keyakinan agama. Ini tidak hanya menjadi motivasi untuk mengejar dunia, tetapi juga berorientasi akhirat. Dengan demikian, kita tidak mudah menyerah atau berputus asa dalam berjuang karena semua bernilai ibadah.”

“Sekarang saya paham, Pak. Tetapi apakah hanya itu alasannya?”

Beliau tersenyum sebelum melanjutkan kalimatnya, “Sekarang ini ada momentum bagus jika kita mau berbuat di Eropa. Kita perlu mengenalkan Islam yang Rahmatan Lil Alamin. Bukan hanya Lil Muslimin. Kita perlu melakukan kebaikan untuk semua, bukan hanya untuk umat Islam saja.”

“Maksud Bapak?” tanyaku tak mengerti.

“Begini… Barat telah meraih hampir semua tujuan hidup duniawi yang menjadi cita-cita kebanyakan manusia. Negaranya maju dan rakyatnya makmur. Namun di saat yang sama, mereka semakin jauh dari rasa tenteram dan bahagia. Anda tahu penyebabnya?”

Aku menggeleng.

“Karena semua keberhasilan yang diraih itu dicapai dengan cara menjauhkan diri dari agama.”

“Bagaimana bisa?” tanyaku semakin penasaran.

“Dalam rentang waktu yang panjang, para tokoh agama di Eropa telah memanfaatkan posisi untuk tujuan politik atau untuk meraih kekuasaan serta memperkaya diri sendiri.”

“Lalu?” tanyaku lagi.

“Ini menjadikan masyarakat di Eropa kehilangan kepercayaan kepada tokoh agama, juga pada agama yang diajarkan. Agama kemudian ditempatkan dalam ranah pribadi, bukan urusan publik. Inilah yang disebut masyarakat sekuler. Ajarannya disebut sekularisme.”

“Apa hubungannya dengan kemajuan negara dan kemakmuran masyarakat Eropa yang tadi Bapak singgung?”

“Gerakan sekuler bukan saja berusaha memisahkan urusan akhirat dan dunia atau urusan agama dan negara. Gerakan ini juga menempatkan agama menjadi hal pribadi belaka, yang tidak boleh dibawa ke ruang publik  Sementara untuk urusan publik, termasuk negara, itu sepenuhnya merupakan hak masyarakat. Kemudian terjadi beberapa peristiwa lain yang semakin mendorong perubahan sosial besar-besaran yang membuat agama semakin dilupakan di Eropa.”

“Kapan sebenarnya perubahan itu terjadi?”

“Prosesnya panjang. Tetapi, titik mulanya pada zaman Renaissance atau masa kebangkitan kembali, yakni dari abad ke-14 sampai 17.  Di periode ini, masyarakat Eropa meninggalkan kebudayaan tradisional, yang sebelumnya didominasi oleh tradisi agama di bawah kendali gereja. Setelah itu, juga ada revolusi besar yang memengaruhi dunia secara sosial politik, yakni Revolusi Prancis menjelang akhir abad ke-18. Revolusi ini menjadi lambang keruntuhan sistem feodal di Eropa. Selain itu ada pula Revolusi Industri di Inggris, yang dimulai pada abad ke-18.”

Aku hanya bisa mengangguk-angguk mendengar semua ini.

“Tahukah Anda siapa sebenarnya yang mengajarkan Barat sehingga mereka bisa mengalami kemajuan dan pencapaian seperti sekarang?”

Baca Selanjutnya:

• Novel Terbaru Dr Muhammad Najib: “Jalur Rempah Sebagai Jembatan Timur dan Barat” (Seri-4): Kuliah Pertama
• Novel Terbaru Dr Muhammad Najib: “Jalur Rempah Sebagai Jembatan Timur dan Barat” (Seri-5): Ibnu Batutah, Penjelajah Muslim Pertama

Aku terdiam karena pembahasan Pak Dubes sudah makin mendalam.

“Umat Islam-lah yang mengajarkannya. Dan semua itu bermula di sini. Tempat ini dulu disebut Andalusia, di mana Islam berkuasa hampir delapan abad di Semenanjung Iberia ini.”

Dalam hati aku berharap agar pembicaraan ini segera berakhir dan aku bisa pamit. Rupanya Pak Dubes paham. Bisa jadi ia berpikir aku masih lelah sehingga perlu beristirahat. Beliau menawarkan kopi susu dari termos kecil yang dibawanya dari wisma – hal yang menjadi kebiasaannya sejak lama.

“Terima kasih, Pak.” Aku menolak halus tawaran itu.

“Atau mau teh?” tanyanya lagi.

“Terima kasih, Pak. Saya izin pamit,” jawabku sopan seraya undur diri.

“Jika ada waktu senggang dan tidak ada kuliah, silakan datang kapan saja,” katanya sambil berdiri, lalu menjabat tanganku.

BERSAMBUNG

EDITOR: REYNA

Bagi yang berminat dengan karya-karya novel Dr Muhammad Najib dapat mencari bukunya di Google Play Books Store, melalui link dibawah ini:

Judul Novel: Di Beranda Istana Alhambra
https://play.google.com/store/books/details?id=IpOhEAAAQBAJ

Judul Novel: Safari
https://play.google.com/store/books/details?id=LpShEAAAQBAJ

Judul Novel: Bersujud Diatas Bara
https://play.google.com/store/books/details?id=WJShEAAAQBAJ

Related Posts