Oleh Dr. Muhammad Taufiq, S.H., M.H.*
Dalam suatu negara, tentu terdapat politik di dalamnya. Politik tersebut terdapat kekuasaan yang dikuasai oleh penguasa politik. Seorang penguasa tidak mungkin akan berkuasa secara terus-menerus karena perlu adanya regenerasi atau pergantian. Pergantian atau pembaharuan pemimpin tersebut dikenal dengan istilah kaderisasi atau suksesi.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) suksesi dimaknai sebagai, (1) penggantian (di lingkungan piminan tertinggi negara) karena pewarisan; (2) proses pergantian kepemimpinan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam arti luas, suksesi merupakan proses perubahan sosial politik. Suksesi berkolerasi dengan sistem pembagian otoritas yang menimbulkan 2 (dua) kategori sosial dalam masyarakat, yaitu yang memenangkan otoritas, yang secara substansial ataupun yang arahnya berlawanan satu sama lain dalam mencapai kepentingannya.
Menurut Amien Rais, setidaknya ada beberapa alasan suksesi harus dilaksanakan dalam sistem kekuasaan negara, yaitu :
1. Suksesi, rotasi atau regenerasi elit adalah keharusan dalam sistem demokrasi yang ditandai dengan tingginya partisipasi rakyat dalam menentukan kedudukan seorang pemimpin, pengambilan keputusan maupun kebijakan negara.
2. Jika seseorang terlalu lama memegang kekuasaan maka secara perlahan akan meyakini bahwa dirinya adalah personifikasi stabilitas dan eksistensi negara.
3. Apabila ada penguasa yang terlalu lama berkuasa mengalami kecenderungan akan melakukan tindak pidana korupsi.
4. Terlalu lama berkuasa juga akan mengurangi kreativitas dan menghilangkan misi yang telah dibuat.
5. Pemimpin yang telalu lama berkuasa juga akan melahirkan kultus individu (the cult of individual) yang mampu mengabaikan rasionalisme manusia.
Dengan begitu, maka suksesi sangat penting untuk dilakukan. Hal ini bukanlah tanpa sebab, karena pada dasarnya kekuasaan politik tidak selamanya dapat digunakan dan dimiliki. Selain itu, kekuasaan politik juga bukan kekuasaan yang memiliki sifat stabil atau statis. Melalui suksesi lah akan terjadi pembatasan kekuasaan sekaligus pembaharuan dalam tubuh politik agar lebih baik kedepannya.
Salah seorang Ilmuan Politik, Calvert, memaknai suksesi politik secara lebih sempit sifatnya. Menurut Calvert, suksesi politik diartikan sebagai bagian dari sebuah proses regenerasi politik yang tidak dapat dihindarkan. Hal ini dikarenakan suksesi merupakan sisi politik yang sangat fundamental, dan karena sifat biologis manusia menyebabkan suksesi itu harus terjadi. Secara lebih rinci, Peter Calvert mendefinisikan suksesi politik sebagai sebuah cara dimana berbagai rencana telah disusun rapi untuk melakukan transfer kekuasaan (kekuatan) politik dari suatu individu, pemerintahan atau rezim ke individu, pemerintahan atau rezim lainnya.
Suksesi politik tidak hanya sekedar suksesi kepemimpinan semata dari satu masa pemerintahan ke pemerintahan lainnya. Ada beberapa indikator yang menunjukkan bahwa itu termasuk suksesi politik menurut Calvert, antara lain :
Interaksi antara pemerintah dengan rakyat sebagai sumber legitimasi kekuasaan
Indikator ini berkaitan dengan kepercayaan rakyat terhadap pemimpin/penguasa. Maksudnya adalah apabila legitimasi dari pemerintahan sebelumnya rendah, maka suksesi politik akan mudah terjadi. Akan tetapi bila tingkat legitimasi tingi maka suksesi politik akan sulit terjadi karena dukungan masyarakat pada pemerintah sangat besar. Legitimasi yang dimaksud merupakan hubungan antara pemimpin dan masyarakat yang dipimpin lebih ditentukan oleh keputusan masyarakat unutk menerima atau menolak kebijakan yang dambil.
Suksesi politik berkorelasi dengan stabilitas sebuah negara
Menurut Calvert, suksesi politik memiliki kaitannya dengan stabilitas politik di suatu negara. Misalnya, terdapat pemimpin/penguasa yang telah merugikan publik atau masyarakat sehingga kemudian kehilangan legitimasi politik, maka suksesi politik merupakan langkah tepat yang dapat berimplikasi positif kepada stabilitas politik suatu negara. Jadi, tidak perlu sebuah rezim berkuasa terlalu lama apalagi mempertahankan kekuasaan dengan segala cara.
Kontestasi pihak-pihak yang memiliki kekuatan politik
Indikator ini menjelaskan bahwa dalam sukses politik, harus memuat sebuah kontestasi dari beberapa pihak yang sedang mempertahankan kakuasaan dengan pihak yang ingin merebutnya.
Aspek konstitusi
Dalam suksesi politik terjadi peralihan kekuasaan poitik, yang dimana mekanismenya bersifat prosedural dan konstitusional. Jadi dapat disimpulkan bahwa peralihan kekuasaan politik tersebut harus dilakukan berdasar prosedur yang ada dan sesuai dengan hukum konstitusi yang berlaku.
Berkaitan dengan suksesi politik dari sisi hukum dapat dilihat dari pemilihan pemimpin tertinggi suatu negara yaitu Presiden. Presiden selaku kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, juga dibatasi waktu kekuasaannya. Mendasarkan pada ketentuan dalam konstitusi yakni Pasal 7 UUD 1945 yang berbunyi :
“Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”
Berdasar pasal tersebut maka, kekuasaan seorang Presiden terpilih dibatasi hanya selama 5 tahun dan paling lama adalah 10 tahun apabila dipilih kembali. Sehingga Presiden terpilih hanya dapat berkuasa secara berturut-turut selama 10 tahun atau 2 periode. Apabila lebih dari itu, maka sejatinya Presiden tersebut telah melanggar UUD 1945 atau inkonstitusional. Hal ini telah melanggar konstitusi dan tidak dapat dibenarkan.
Bahkan tidak menutup kemungkinan jika dalam masa kekuasaannya, Presiden dapat dihentikan dari jabatannya. Hal ini terjadi apabila Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Ketentuan ini telah diatur dalam Pasal 7A UUD 1945.
Setelah masa jabatan Presiden tersebut berakhir, maka dapat dilakukan suksesi atau yang dikenal dengan Pemilihan Umum (Pemilu). Pelaksanaan suksesi Presiden, pertama kali berlangsung pada tahun 2004 dengan Presiden terpilih yaitu Susilo Bambang Yudhoyono. Sebelum adanya pemilu dan amandemen UUD 1945, Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan bahkan kekuasaan Presiden tidak dibatasi unuk berapa lama sehingga dapat berkuasa seumur hidup. Hal ini belum tentu tanpa sebab, karena pada Pasal 7 UUD 1945 sebelum amandemen tidak ada batasan berapa lama Presiden harus menjabat. Adapun bunyi Pasal 7 sebeum amandemen yaitu :
“Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali.”
Melihat pasal tersebut maka secara jelas dan tegas tidak ada batasan untuk berapa kali dipilih selanjutnya, sehingga memungkin untuk berkuasa seumur hidup.
Sebagai contoh, ketika Soekarno menjabat menjadi Presiden selama 22 tahun mulai dari tahun 1945 hingga 1967. Selain itu, Presiden Soeharto juga berkuasa dalam waktu yang sangat lama yakni 30 tahun, mulai dari tahun 1968 hingga 1998. Berdasar contoh tersebut dan mengacu pada pendapat Amien Rais sebagaimana diuraikan sebelumnya, dapat terlihat bahwa suksesi itu perlu dilakukan, sebab Presiden atau pemimpin yang berkuasa terlalu lama itu tidak baik serta dapat menimbulkan berbagai konflik atau penyimpangan. Sebagaimana kita ketahui, latar belakang Presiden Soeharto mengundurkan diri sebagai Presiden adalah karena ketidakstabilan Indonesia karena adanya berbagai kerusuhan yang akhirnya mengharuskan Soeharto turun dari jabatannya.
Tidak hanya Presiden, bahkan Gubernur, Bupati/Walikota dan anggota Dewan Permusyawaratan Rakyat (DPR), Rektor, Ketua Umum Partai hingga Kepala Desa juga dibatasi kekuasaannya. Adapun masa jabatan masing-masing adalah 5 (lima) tahun, sedangkan masa jabatan Kepala desa adalah 6 tahun dan dapat dipilih 3 periode. Dengan melihat adanya pembatasan kekuasaan ini kemudian dilakukan suksesi atau pemilu maka sebenarnya merupakan perwujudan dari Demokrasi.
Adapun contoh lain dari suksesi politik yaitu pergantian Kepala Negara/Kepala Pemerintahan Filipina dari Joseph Estarda yang kemudian digantikan oleh Gloria Machapagal Aroyo. Pada sekitar tahun 2001, suksesi politik yang terjadi di Filipina tersebut cukup menggemparkan stabilitas politik Pemerintahan Filipina. Estarda yang saat itu menjabat sebagai Kepala Negara/Kepala Pemerintahan dilengserkan dengan tidak hormat karena diduga terlibat praktik perjudian, pelacuran, dan minum-minuman keras. Kondisi politik di Filipina kembali stabil ketika Gloria Machapagal Aroyo menggantikan kedudukan Joseph Estarda sebagai Kepala Negara/Kepala Pemerintahan Filipina yang baru.
Pada dasarnya, pesan yang ingin disampaikan dari tulisan ini adalah sesungguhnya suksesi dalam bidang apapun adalah sunatullah, menjalankan hukum Allah.
Surakarta, 10 Mei 2023
*) Dr. Muhammad Taufiq, S.H., M.H., merupakan dosen Fakultas Hukum UNISSULA Semarang sekaligus Ketuas Pusat Studi Ilmu Kepolisian.
Related Posts

Perang Dunia III di Ambang Pintu: Dr. Anton Permana Ingatkan Indonesia Belum Siap Menghadapi Guncangan Global

Dr. Anton Permana: 5 Seruan Untuk Presiden Prabowo, Saat Rakyat Mulai Resah dan Hati Mulai Luka

Menyikapi UUD 18/8/1945

Rocky Gerung: 3 Rim Karatan di Kabinet Prabowo

Novel “Imperium Tiga Samudra” (Seri 2) – Langit di Atas Guam

Setahun Rezim Prabowo, Perbaikan atau Kerusakan Menahun?

Serial Novel “Imperium Tiga Samudra” (1) – Peta Baru di Samudra Pasifik

Dalam Semangat Sumpah Pemuda Mendukung Pemerintah dalam Hal Pemberantasan Korupsi dan Reformasi Polri

Anton Permana dan Kembalinya Dunia Multipolar: Indonesia di Persimpangan Sejarah Global

Syahadah: Menjadi Saksi Dari Cahaya Yang Tak Bernama



No Responses