Syahadah: Menjadi Saksi Dari Cahaya Yang Tak Bernama

Syahadah: Menjadi Saksi Dari Cahaya Yang Tak Bernama
Ilustrasi

Oleh: Kholiq Anhar
Penulis, Tinggal di Jombang

Syahadah artinya menjadi saksi. Menjadi Penyaksi. Dalam sehari-hari, ini sering diartikan dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. Pada hakikatnya, Syahadah jauh lebih dalam: ia adalah kesadaran yang melihat, mengamati, dan menyaksikan keberadaan sebagaimana adanya.

Manusia memandang langit, bumi, gunung, lautan, tumbuhan, hewan, dan manusia lainnya — dan dalam setiap pandangan itu, ia sedang melakukan Syahadah. Ia, sebagai makhluk, sedang menyaksikan makhluk lain. Dua entitas — yang menyaksikan dan yang disaksikan — berhadapan dalam ruang pengalaman dunia yang sama. Dunia Fisika, dunia bentuk. Namun pertanyaannya: apakah ketika kita menyaksikan makhluk, berarti kita sudah menyaksikan Allah?
Belum tentu.

Para sufi mengajarkan bahwa ketika dua entitas saling menyaksikan dan dalam momen itu ada peristiwa ‘Pertemuan’ yang disebut Liqo’. Momen Liqo’ itu melahirkan kesadaran tunggal — bukan lagi dua, bukan lagi aku dan engkau. Aku dan engkau adalah pernyataan dari Kesadaran Keterpisahan. Liqo’ berarti pertemuan atau perjumpaan dari aku dan engkau. Bukan di level fisik semata, melainkan di tingkat kesadaran. Tidak ada lagi aku dan engkau, tidak ada lagi “penyaksi” dan “yang disaksikan”, keduanya manunggal dalam satu rasa yang disebut Ahad (Rasa Kesatuan, Keesaan)

Dalam bahasa modern, keadaan ini bisa diibaratkan dengan fenomena resonansi. Ketika dua frekuensi bertemu dan saling memperkuat getaran yang sama, muncullah Resonansi. Resonansi adalah ketika dua entitas menemukan ‘satu kesatuan diri’.

Resonansi adalah bahasa ilmiah dari Liqo’. Dua entitas yang sebelumnya berbeda, kini bergetar seirama, hingga batas antara keduanya menghilang. Fenomena ini sebenarnya hadir di sekitar kita setiap hari. Ambillah contoh sederhana — interaksi antara laki-laki dan perempuan yang dilandasi cinta. Dari resonansi cinta itulah lahir anak. Anak itu bukan ayah, bukan pula ibu, tetapi di dalam dirinya, keduanya hadir bersama.

Melalui anak, ayah melihat dirinya; melalui anak, ibu melihat dirinya. Mereka saling mengenal lewat wajah baru yang sama-sama mereka pancarkan. Di situlah momentum Liqo’ terjadi. Resonansi itu nyata, bukan sekadar metafora.

Maka perjalanan Syahadah adalah perjalanan suci — perjalanan dari “melihat sesuatu” menuju “menjadi sesuatu yang dilihat.” Ketika kesadaran manusia semakin dalam, ia tidak lagi memandang dunia sebagai “yang lain,” melainkan sebagai cermin dari dirinya sendiri. Setiap peristiwa, setiap wajah, setiap nafas, setiap peristiwa kehidupan yang ia temui, adalah pantulan dari satu cahaya yang sama.

Sejarah suci mencatat salah satu momen Liqo’ yang agung — peristiwa Nabi Musa ketika melihat cahaya di semak yang menyala. Musa mendengar panggilan Ilahi dari sana. Namun jika kita pahami lebih halus, yang dialami Musa bukanlah sekadar melihat “cahaya” fisik, melainkan menyaksikan kesadaran Ilahi yang menyingkap dirinya lewat simbol cahaya.

Apa yang Musa lihat bukan “Allah” sebagai entitas, melainkan pengalaman Syahadah — pengalaman menyatu antara penyaksi dan yang disaksikan.

Ketika Musa berkata bahwa Allah adalah Cahaya, itu adalah bahasa perasaan dan kesaksian, bukan definisi ilmiah. Ia mengungkapkan sesuatu yang tak dapat dijelaskan dengan kata-kata, maka ia menggunakan simbol paling dekat: Cahaya. Namun apakah Allah itu benar-benar Cahaya? Musa yang tahu, karena ia menyaksikan sendiri.
Bagi kita yang mendengarkan kisahnya, yang bisa kita pahami hanyalah tafsir dari tafsir — gema dari kata yang keluar dari pengalaman pribadi yang suci.

Allah tidak pernah hadir sebagai entitas. Entitas apapun, masih bisa dijangkau oleh pikiran dan imajinasi manusia. Apapun yg bisa dipikirkan dan diimajinasikan oleh Pikiran manusia, termasuk manusia yg paling cemerlang sekalipun, tak akan bisa menjangkau Dzat Allah.

Ia bukan benda, bukan bentuk, bukan sosok. Ia adalah sumber dari segala penyaksian itu sendiri. Allah hadir melalui entitas yang bernama Manusia — karena di dalam manusia ada kesadaran yang bisa menyaksikan. Ketika manusia melihat dengan mata cinta, ketika ia menyentuh realitas tanpa jarak, saat itulah Allah “hadir” melalui dirinya.

Maka Syahadah sejati bukan sekadar mengucapkan dua kalimat, tetapi menjadi kesadaran yang menyaksikan segala sesuatu sebagai satu kesatuan (Ahad, Esa)

Ia adalah kesadaran bahwa setiap pandangan, setiap napas, setiap gerak dan diam adalah ekspresi dari Sumber yang sama.Ketika dua makhluk saling memandang dengan cinta, ketika manusia menatap langit dan merasa menjadi bagian darinya, itulah Syahadah yang hidup — saat penyaksi dan yang disaksikan melebur menjadi satu.

Dan di situlah, akhirnya, kita memahami makna terdalam dari kalimat: “La ilaha illallah.” Tiada yang disembah, tiada yang disaksikan, selain Satu Kesadaran yang hadir melalui segala bentuk.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K