Model Pembelahan Sosial di Era Digital dan Islamophobia
Dalam dimensi sosiologis, masyarakat Indonesia disebutkan antropolog Amerika Clifford Gerz mempunyai ketebelahan sebagai berikut, pertama masyarakat dengan kultur santri, kedua, dengan kultur abangan dan ketiga kultur priyayi. Santri merujuk pada ketaatan teradap agama Islam. Abangan merujuk pada kultur animism. Sedangkan priyayi merujuk pada aspek Hindu, yang eksis di Kraton. Dhuroruddin Mashad, dalam buku “Politik Kaum Santri dan Abangan”, 2021, menggunakan pembelahan ala Clifford Gerz sebagai awal kajian. Selanjutnya , dia memperinci pengelompokan yang lebih terbelah antara santri perkotaan dan pedesaan. Pembelahan merujuka komitmen pada Islam, terjadi versus antara santri dan abangan. Pada pembelahan merujuk agama ini, Mashad memasukkan kaum priyayi pada kelompok abangan juga, namun, memberi catatan bahwa, secara kultural, priyayi yang mengalami pendidikan barat, sehingga keterlibatan mereka pada moral elit terjadi. Priyayi dalam ruang publik menjaga etika sosial, sebaliknya kaum abangan kelas bawah, merupakan masyarakat yang terbuka pada praktik anti agama, seperti sabung ayam, pelacuran, dukun, dll. Sehingga dalam kelompok abangan, Mashad membagi abangan dalam abangan sekuleris (kaum priyayi) dan abangan marginalis.
Keempat sub kultur pembentuk identitas masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa, telah membawa para ahli meyakini bahwa pembentukan partai politik diantara mereka sesuai mewakili aspirasi sub-kultur mereka tersebut, di awal kemerdekaan, seperti santri modernis membentuk Masyumi, santri tradisionalis membentuk partai NU, abangan sekuleris membentuk PNI (Partai Nasional Indonesia) dan abangan marginalis membentuk PKI (Partai Komunis Indonesia). Namun, tantangan demi tantangan perjalanan bangsa menunjukkan pembelahan tersebut bersifat dinamis, misalnya, adakalanya kerjasama dan konflik yang dalam terjadi tidak mengikuti kemungkinan logik yang seharusnya. Misalnya, Ketika awal kemerdekaan kelompok santri, baik tradisional maupun modern, keduanya sepakat Islam dijadikan ideologi negara. Namun, hal itu tidak pernah terjadi lagi setelahnya. Meskipun, semua kelompok santri percaya bahwa dalam Islam tiak dapat dipisahkan antara agama dan politik. Sebaliknya juga terjadi dikalangan abangan, ketika awal kemerdekaan, berkali-kali diperlihatkan konflik antara kelompok Komunis dengan Nasionalis.
Pembelahan ala Gerzt ini, sering pula tidak diterima oleh berbagai ahli. Harsja Bachtiar, mengutip kutipan Dhurorudin Mashad, mengatakan bahwa priyayi tidak identic dengan abangan Menurutnya, priyayi mempunyai multi spektrum dalam dirinya seperti melakukan Sholat, puasa namun juga mempraktekkan ajaran mistis ataupun rasionalitas barat. Irfan Afifi, dalam “Saya, Jawa dan Islam” (2019), menemukan fakta bahwa Islam justru merupakan sumber ikatan budaya bagi orang Jawa. Menguti Nancy Florida, penulis sejarah colonial dan penerusnya, justru memompakan sejarah palsu sebagai pengingkaran atas berpadunya Islam dan Jawa dalan sejarah kita. Pengingkaran sejarah ini juga ditunjukkan oleh Mansyur Suryanegra (2019) misalnya, penulis sejarah kolonial menggambarkan kehancuran Kerajaan Hindu Majapahit akibat serangan Raja Islam Demak. Padahal sejatinya peperangan antara sesama kerajaan Hindu yang menghancurkan Majapahit. Menurtnya, itu adalah taktik colonial untuk menanamkan kebencian orang Jawa yang bernuansa Hindu kepad orang-orang Islam.
Lalu bagaimana kita melihat Islamophobia secara sosologis di Indonesia?
Kita harus meninggalkan model analisis Clifford Gerzt tentang pembelahan kultural itu. Terutama, sepanjang beberapa dekade sebelum era digital, transformasi Indonesia menjadi urban (perkotaan) berlangsung massif, pendidikan dan universitas berkembang pesat, industrialisasi di pulau Jawa masuk ke berbagai pelosok desa. Artinya terjadi benturan budaya dan transformasi budaya selama itu. Sekarang, dalam era digital dan “Big Data” pengertian desa vs. kota melemah. Era digital menciptakan kecepatan dan percepatan masyarakat berinteraksi dengan data dan informasi. Efeknya adalah kehancuran struktural pada kebudayaan lama, di mana hirarki menjadi keharusan.
Hirarki baru dalam struktur masyarakat baru ditandai dengan penguasaan data dan pengendaliannya. Dunia maya dan atau dunia digital dikendalikan Big Machine, seperti Google, FB, Twitter, Instagram, dll. Kata kuncinya adalah algoritma. Anak-anak muda millenial memahami jebakan algoritma, sehingga mereka tahu mana fake, hoax dan fakta. Mereka semakin kritis, baik di desa, maupun kota.
Kemudian, terjadi kesadaran identitas, tanpa menunggu arahan struktural atau afiliasi. Baceprot, misalnya, kelompok musik tiga gadis Berjilbab asal Garut, tidak masuk dalam jajaran elit musik Indonesia, versi “gaya lama”. Namun, sekarang mereka menjadi salah satu group musik yang meggemparkan medsos dan identitas Islam. Mereka berkali-kali diundang tour musik meta di Eropa dan lainnya, dengan percaya diri. Dihadapan ribuan pengunjung Konser Metal di Jerman, penyanyi Baceprot berteriak lantang, “Kenapa saya pakai Jilbab? “, tanyanya. Kemudian dia lanjut menjawab, “karena ini simbol perdamaian dan keindahan”. Fenomena Baceprot ini adalah fenomena dunia baru, di mana kesadaran perempuan desa versus kota tidak begitu berbeda. Dan semua ini terjadi dalam era digital.
Dalam kasus Ferdy Sambo, misalnya, juga nitizen, seperti yang diuraikan Ismail Fahmi, Drone Emprit, tentang perang medsos, mayoritas nitizen tidak percaya dengan keterangan awal polisi yang berusaha menutupi kasus tersebut. Bahkan, sebuah anonim, Opposite, membongkar dan mempropagandakan terus menerus berbagai isu terkait kasus ini, membentuk opini perlawanan. Dengan dunia maya, struktur dan hirarki sosiologis lama ala Gerzt kehilangan makna.
Jika pembelahan sosial ala Gerzt tidak lagi dapat diandalkan dalam membaca peta sosial, bagaimana posisi konflik ataupun kolaborasi? Bagaimana peranan agama dan budaya?
Penjelasan yang paling masuk akal atas pembelahan sosial yang mengandung Islamophobia di Indonesia adalah skenario atau desain kelompok kekuatan tertentu, khususnya kaum oligarki, yang memang ingin menghancurkan kekuatan rakyat. Kekuatan rakyat ini, khususnya jika berbasis Islam, maka akan menjadi benteng melawan ekpansi oligarki menguasai seluruh kekayaan Indonesia. Oleh karenanya, Devide et Impera (pecah belah dan kuasai) adalah agenda yang terencana dari kekuatan oligarki itu. Secara natural, benturan identitas maupun budaya, tidaklah fenomena eksis, kecuali sekali lagi karena skenario jahat. Rakyat Indonesia dan atau umat Islam dapat membangun kolaborasi dan harmoni, jika tidak dirusak oleh kaum oligarki.
Penutup
Dalang gerakan Islamophobia dapat didalami dengan melihat kepentingan global barat, kepentingan RRC dan kepentingan oligarki Indonesia. Melihat fenomena Islamophobia hanya bisa lebih presisi melalui pendekatan kepentingan mereka. Kepentingan mereka untuk menguasai Indonesia akan berbenturan dengan Islam maupun umat Islam yang ideologinya untuk kepentingan sebanyak-banyaknya ummat manusia. Sebuah kebalikan dari kepentingan asing maupun oligarki lokal.
Untuk melawan kepentingan mereka, maka konsolidasi umat Islam harus mampu membangun kolaborasi yang paling sedikit mudharatnya (the lesser evil). Kolaborasi maksudnya memainkan sebaik-baiknya startegi dalam melihat kapan bekerjasama dengan kekuatan global barat maupun China, kapan meninggalkannya? Kapan menekan oligarki lokal dan kapan berkolaborasi? Semuanya harus dilakukan secara terdesain oleh kekuatan Islam yang terkonsolidasi dan dalam spirit anti Islamophobia.
(Paper Dr. H. Syahganda Nainggolan, MT, dalam Kongres Umat Islam Sumut ke- 2, di Asrama Haji Medan)
EDITOR: REYNA
Related Posts
Dalam Semangat Sumpah Pemuda Mendukung Pemerintah dalam Hal Pemberantasan Korupsi dan Reformasi Polri
Anton Permana dan Kembalinya Dunia Multipolar: Indonesia di Persimpangan Sejarah Global
Syahadah: Menjadi Saksi Dari Cahaya Yang Tak Bernama
Asap di Sekolah: Potret Krisis Moral Dalam Dunia Pendidikan
Presiden Prabowo Terima Pengembalian Rp13,5 Triliun dari Kejagung: Purbaya Datang Tergopoh-gopoh, Bikin Presiden Tersenyum
Api di Ujung Agustus (32) – Hari Cahaya Merah
Pengaduan Masyarakat atas Dugaan Korupsi Kereta Cepat Jakarta Bandung: KPK Wajib Usut Tuntas
Daniel M Rosyid: Reformasi Pendidikan
Budaya Kita Perwakilan Musyawarah, Mengapa Pilpres Mesti One Man One Vote
Keseimbangan Sistemik: Membaca Kritik Ferri Latuhihin Kepada Purbaya
สติ๊กเกอร์ไดคัทOctober 30, 2024 at 9:53 am
… [Trackback]
[…] Information on that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/syahganda-nainggolan-strategi-mewaspadai-dalang-gerakan-islamophobia-di-indonesia/ […]
thai massage in HamburgNovember 8, 2024 at 10:44 am
… [Trackback]
[…] Read More on that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/syahganda-nainggolan-strategi-mewaspadai-dalang-gerakan-islamophobia-di-indonesia/ […]
solutii climatizareNovember 26, 2024 at 1:23 am
… [Trackback]
[…] There you can find 35065 additional Information to that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/syahganda-nainggolan-strategi-mewaspadai-dalang-gerakan-islamophobia-di-indonesia/ […]
altogelDecember 4, 2024 at 6:42 am
… [Trackback]
[…] There you will find 46626 additional Info to that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/syahganda-nainggolan-strategi-mewaspadai-dalang-gerakan-islamophobia-di-indonesia/ […]
Telegram中文December 22, 2024 at 2:58 pm
… [Trackback]
[…] Find More Information here to that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/syahganda-nainggolan-strategi-mewaspadai-dalang-gerakan-islamophobia-di-indonesia/ […]
ส่งsmsFebruary 6, 2025 at 1:16 pm
… [Trackback]
[…] Info to that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/syahganda-nainggolan-strategi-mewaspadai-dalang-gerakan-islamophobia-di-indonesia/ […]