Oleh: Isa Ansori, Kolumnis
Demokrasi adalah jalan yang kita pilih dalam memilih calon pemimpin. Kita meyakininya karena dengan jalan itu kita akan disuguhi sebuah kontestasi kepemimpinan yang sehat dan berkualitas. Sehingga siapapun yang terlibat maka akan menyiapkan gagasan program, narasi program yang menguntungkan rakyat dan sekaligus sebagai sandaran harapan untuk memperjuangkan nasib kita.
Menjelang pemilihan presiden dan kepala daerah, di sepuluh tahun terakhir ini kita disuguhi dengan banyaknya residu demokrasi.
Residu itu diproduksi tak hanya oleh mereka yang berpendidikan rendah, tapi juga bisa dilakukan oleh Partai Politik, Ormas, LSM dan kaum intelektual.
Tapi setidaknya mereka para residu demokrasi adalah mereka yang menistakan diri mereka sebagai sampah peradaban.
Para penyebar residu demokrasi itu mengembangkan narasi – narasi bohong untuk menjatuhkan lawan dan bahkan tak jarang juga menggunakan instrumen kekuasaan dan hukum untuk menjatuhkan lawannya.
Sebagaimana yang disinyalir oleh Levitsky dan Ziblatt, bahwa demokrasi bisa mati karena kudeta—atau mati pelan-pelan.
Kematian itu bisa tak disadari ketika terjadi selangkah demi selangkah, dengan terpilihnya pemimpin otoriter, disalahgunakannya kekuasaan pemerintah, dan penindasan total atas oposisi.
Pemimpin otoriter, penyalahgunaan kekuasaan dan penindasan terhadap oposisi adalah praktek penyebaran residu demokrasi sebagaimana yang kita saksikan saat ini.
Gramsci menyebutnya sebagai hegemoni kekuasaan, tafsir tinggal terhadap makna. Hanya tafsir pemerintah yang dianggap benar.
Untuk mengamankan tafsir makna, digunakanlah instrumen politik, hukum dan keamanan untuk melindungi.
Masyarakat diracuni dengan narasi sesat atas tafsir tunggal yang disebarkan, seperti yang terjadi saat ini.
Politik menjadi semakin konyol dan tak bermutu, karena memang dimainkan oleh aktor – aktor yang tak punya kompetensi untuk melaksanakan demokrasi.
Coba lihat di Jakarta, Anies dicaci maki, bahkan Ahok simulut jamban, mulutnya juga tak henti – henti menuding Anies hanya bisa bicara, nampaknya Ahok tak berkaca pada dirinya, apa yang dilakukan selama memimpin Jakarta.
Belum lagi pengganti Anies, Heru sang pejabat yang tak berjuang, mengangkangi demokrasi, setelah diberi tugas menggantikan Anies karena proses “merampok” demokrasi, segera melakukan de-anisasi di Jakarta. Program – program Anies yang sudah berjalan baik, diubah total dengan alasan revitalisasi. Nampaknya rezim sangat tidak suka kalau Anies prestasinya dikenang oleh masyarakat.
Hal yang memalukan lagi di Jatim, beredar spanduk penolakan terhadap Anies dengan dibalut fitnah dengan isu politik identitas, pendukung khilafah, HTI dan sebagainya.
Demokrasi semakin suram dan terjal ditangan para pemuja politik pragmatis dan duit. Bagi perusak demokrasi, tak ada niat membangun negeri ini, mereka bekerja maju tak gentar bergantung siapa yang bayar.
Para penganut Machivilian ini pasti akan menghalalkan segala cara, yang penting mereka bisa memuaskan tuannya.
Lalu apa yang mesti dilakukan oleh mereka yang berjuang untuk tegaknya demokrasi yang sehat dan beradab?
Menghadapi Machivilian para residu demokrasi yang tak siap berkompetisi, tentu harus dihadapi dengan cara cara yang cerdas dan rasional, hadapi mereka dengan data dan fakta berupa rekam jejak sang calon yang mengusung demokrasi baik.
Sebagaimana yang dicontohkan oleh Anies, tak pernah menanggapi pernyataan mereka, Anies bekerja menunjukkan fakta.
Cara yang lain tentu adalah dengan cara cara yang tegas dan menggunakan instrumen hukum, jangan sampai mereka dibiarkan semaunya sendiri menebar fitnah, mereka harus dihadapi dengan kekuatan akal sehat. Mereka juga harus tahu bahwa hukum masih ada.
Pemilu 2024 tidak sekedar pertarungan perebutan suara, tapi ini juga pertarungan kecerdasan melawan kelicikan, sehingga kalau ingin memenangkan pertarungan suara maka menyiapkan penjaga suara dengan kecerdasan dan militansi adalah suatu keharusan.
Sudah waktunya perdebatan tentang siapa cawapres dan akan diusung oleh siapa, harus dihentikan, kita perkuat silaturahmi dan kolaborasi, agar pemilu 2024 dimenangkan oleh Anies yang mengusung perubahan dan keadilan.
Surabaya, 15 November 2022
EDITOR: REYNA
Related Posts
Presiden Prabowo Terima Pengembalian Rp13,5 Triliun dari Kejagung: Purbaya Datang Tergopoh-gopoh, Bikin Presiden Tersenyum
Api di Ujung Agustus (32) – Hari Cahaya Merah
Pengaduan Masyarakat atas Dugaan Korupsi Kereta Cepat Jakarta Bandung: KPK Wajib Usut Tuntas
Daniel M Rosyid: Reformasi Pendidikan
Budaya Kita Perwakilan Musyawarah, Mengapa Pilpres Mesti One Man One Vote
Keseimbangan Sistemik: Membaca Kritik Ferri Latuhihin Kepada Purbaya
Quo Vadis Kampus Era Prabowo
Habib Umar Alhamid: Prabowo Berhasil Menyakinkan Dunia untuk Perdamaian Palestina
Api di Ujung Agustus (Seri 29) – Jejak Operasi Tersembunyi
Api di Ujung Agustus (Seri 28) – Jantung Garuda Di Istana
free cam tokensNovember 26, 2024 at 10:30 am
… [Trackback]
[…] Find More to that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/tak-siap-kalah-residu-demokrasi-mengembangkan-fitnah-untuk-menjatuhkan-kandidat-lain/ […]
Telegram中文版下载December 25, 2024 at 12:55 pm
… [Trackback]
[…] Find More Info here to that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/tak-siap-kalah-residu-demokrasi-mengembangkan-fitnah-untuk-menjatuhkan-kandidat-lain/ […]