Tata Kesantra: Menjawab Pertanyaan dan Perhatian Sahabat Seperjuangan Tentang FTA (Forum Tanah Air)

Tata Kesantra: Menjawab Pertanyaan dan Perhatian Sahabat Seperjuangan Tentang FTA (Forum Tanah Air)
Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menerima Forum Tanah Air (FTA) di Ruang Delegasi DPD RI, Gedung Nusantara III, Komplek Parlemen Jakarta, Selasa (29/8/2023). Dalam kesempatan itu FTA menyerahkan 10 solusi dan tuntutan perubahan politik dan ekonomi dalam Manifesto Politik.

Oleh: Tata Kesantra

Ketua Forum Tanah Air (FTA) Internasional, tinggal di New York USA

 

Ada beberapa hal yang perlu diketahui oleh sahabat2 seperjuangan tentang perjuangan FTA sejak awal di inisiasi oleh diaspora Indonesia di USA. FTA berjuang agar saudara saudara di tanah air bisa merasakan kesejahteraan, keadilan dan taraf kehidupan yang lebih baik dalam setiap strata masyarakat, layaknya suatu bangsa yang merdeka. Untuk mengetahui issu issu apa yang paling mendesak untuk di perbaiki, FTA melakukan berbagai diskusi baik terbuka maupun tertutup dengan tokoh, pakar dan aktifis selama hampir 3 tahun agar bisa merumuskan prioritas perbaikan dan perubahan yang sangat diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut.

Kita harus bisa mengakui secara jujur bahwa reformasi yang di gaungkan tahun1998 untuk merubah pemerintahan otoritarian ke pemerintahan yang demokratis tidak berjalan sesuai harapan reformasi. Semakin kesini situasinya semakin memburuk. Namun kerusakan dan kemandekan reformasi bukan dimulai sejak pemerintahan Jokowi, sekalipun demikian harus diakui selama hampir 10 tahun pemerintahan Jokowi, cita cita reformasi tenggelam dan kita kembali menuju kepada pemerintahan otoritarian dengan wajah yang lain.

Jika melihat kebelakang,  elite2 politik pra reformasi dan pasca reformasi kita semua sepakat bahwa tidak banyak perubahan orang orang yang bermain di dalamnya. Demikian juga dengan elite2 ekonomi, orang yang ada adalah kelanjutan dari era pra reformasi, yang menjadi pemain utama di era pasca reformasi. Mereka inilah yang saat ini kita labeli sebagai oligarki politik dan oligarki ekonomi. Tidak banyak yang bisa diharap dari elite elite ini dalam melakukan perubahan. Perubahan harus dari bawah, dari rakyat.

Mengadopsi sistem demokrasi pasca reformasi tentu dengan harapan berjalannya sistem pemerintahan yang akuntabel dan berkesinambungan dengan adanya “check and balance” terhadap penyelengara pemerintahan yang terpilih. Melaksanakan pemilihan langsung terhadap pemimpin pemerintahan dan perwakilan rakyat di DPR memperjelas keinginan reformasi untuk menunjukkan dan mewujudkan kedaulatan ada di tangan rakyat. Bahwa pemerintahan yang berjalan adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat Indonesia. Bahwa pemerintahan yang berjalan ada karena diberi mandat oleh rakyat, dan oleh karenanya rakyat pula yang punya hak untuk menarik mandat tersebut bila penyelenggara pemerintahan tidak sesuai dengan harapan rakyat.

Dalam perjalanannya, terjadi pembelokan atau lebih tepat pembajakan dalam demokrasi di Indonesia. Sistem perwakilan di Dewan melalui partai partai politik ternyata berubah fungsi. Dari yang semestinya anggota Dewan tersebut adalah perpanjangan tangan dan suara dari rakyat yang memilihnya, seolah menjadi anggota dewan tersebut mewakili hak kedaulatan rakyat di Dewan. Padahal hak kedaulatan rakyat TIDAK PERNAH berpindah tangan ke anggota Dewan tersebut, melainkan bahwa anggota Dewan tersebut hanyalah menjalankan amanah dari rakyat. Ini yang menjadi sebab partai partai politik terlihat sangat berkuasa, karena menganggap bahwa mereka adalah pemegang kedaulatan yang sudah di transfer dari rakyat pemilihnya kepada partai yang dipilihnya.

Hal yang sama berlaku juga kepada pemimpin pemerintahan, mulai dari Presiden, Gubernur hingga Bupati/Walikota. Hal ini bisa dilihat dari kebijakan kebijakan yang dihasilkan lebih banyak berpihak kepada pengusaha, pemilik modal atau investor daripada keberpihakan kepada rakyat. Dalam pemerintahan Jokowi malah terlihat lebih parah karena sistem ekonominya mengarah pada liberal kapitalisme, dimana yang diutamakan adalah kepentingan pemilik modal daripada rakyat.

Pejabat publik dan elite yang terpilih seakan lupa bahwa mereka menjabat adalah untuk menjalankan kepentingan rakyat dan rakyat punya hak untuk menyatakan YA atau TIDAK terhadap rencana dan kebijakan pemerintah yang mencakup hajat hidup orang banyak. Tidak heran bila orang orang di pemerintahan merasa tidak perlu rakyat tahu soal yang menjadi urusan pemerintah, padahal sejatinya rakyat sebagai pemegang kuasa/kedaulatan berhak tau dan menyetujui apa rencana pemerintah dan apa yang menjadi dasar pertimbangannya. Seorang pejabat publik harus membuka dan memberi penjelasan tentang hal hal yang ditanyakan oleh rakyat bila menyangkut hak hidup rakyat.

Demikian juga pengakuan anggota DPR bahwa semua kebijakan kebijakan yang akan diambil di DPR menunggu keputusan pimpinan partai. Pengakuan tersebut memperjelas bahwa partailah yang berdaulat terhadap anggota DPR tersebut, bukan rakyat/konstituen yang memilihnya.

Hal hal tersebut diatas menunjukkan bahwa Demokrasi di Indonesia sedang bermetaformosis menjadi Otokrasi.

Berangkat dari analisa analisa tersebut FTA mencoba mengurai issu issu demokrasi di Indonesia melalui dialog dan diskusi. Setelah mendapat banyak masukan dan informasi,  FTA melakukan aksi nyata dengan melakukan uji materi terhadap aturan persyaratan pengajuan seorang presiden, yang dalam UU di syaratkan seorang dapat dicalonkan menjadi Presiden bila mendapat dukungan suara 20% dari partai politik. Aturan ini sangat memberi kekuasaan kepada partai politik dan merusak demokrasi karena menjadi wadah bertumbuhnya transaksi transaksi politik di belakang layar.

Memasuki kontestasi politik pemilu 2024, FTA melihat ada momentum untuk menuntut perubahan dan perbaikan sistem ber demokrasi di Indonesia melalui calon calon Presiden yang akan maju di 2024. Untuk itu diawal tahun 2023 ini, FTA meluncurkan Manifesto Politik yang berisi 10 tuntutan memperbaiki dan melakukan perubahan dalam sistem pemerintahan dan pengelolalan negara lengkap dengan langkah langkah serta jalan keluar yang perlu di ambil untuk mewujudkannya.

Bagi FTA, kontestasi dan dinamika politik saat ini hanya salah satu momentum untuk menuntut perubahan yang di perjuangkan. Tuntutan untuk merubah dan memperbaiki sistem politik dan ekonomi tidak akan berhenti setelah pemilu 2024. Aktifis FTA sangat maklum dan menyadari bahwa perjuangan ini bukan perjuangan semalam dua malam, setahun dua tahun, tetapi perjuangan yang terus digaungkan sampai tujuannya tercapai.

Tuntutan tidak berubah, non negotiable, tuntutan yang merupakan hasil dialog dan diskusi yang panjang untuk memajukan bangsa dan negara. Tuntutan yang harus disepakati di depan, tanpa pembicaraan belakang layar, tanpa pragmatisme karena yang menjadi tuntutan utama adalah hak paling hakiki dari rakyat yang merdeka, yaitu rakyat yang berdaulat dalam negara demokrasi. Tuntutan paling mendasar tentang kedaulatan rakyat inilah yang menjadi tugas yang diemban oleh aktifis aktifis FTA di seluruh dunia untuk di edukasikan dan disosialisasikan kepada masyarakat se Indonesia, hingga ke pelosok desa agar menjadi tuntutan bersama. Sejalan dengan itu, MP FTA terus di sosialisasikan juga ke elite elite di tanah air untuk menjadi perhatian dan pertimbangan mereka dalam mengelola negara.

Tuntutan FTA bukan ide atau pemikiran segelintir orang, bukan untuk bargaining power dalam mendukung partai politik atau calon pemimpin, tetapi tuntutan MP FTA semata untuk mewujudkan suatu bangsa dan negara yang bermatabat bagi rakyat Indonesia, dimana masyarakatnya adil, makmur, sejahtera dan merdeka.

Semoga penjelasan ini bisa memberi pencerahan tentang perjuangan FTA dan kita semua tetap istiqomah dalam berjuang bersama, semata karena kecintaan kepada bangsa dan negara serta tanah air kita.

Salam perjuangan dari NYC-USA.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K