Oleh: Budi Puryanto
Kisah sebelumnya:
SER-19
“Bersiaplah besok kita akan ngamen lagi. Jangan guyon terus, cepat tidur agar badan segar saat bangun besok. Oh ya, desa mana yang akan kita tuju besok,” tanya Ki Joyo.
“Sebenarnya kearah timur dari sini paman Ki Joyo. Tapi tadi sore ada kepala dusun Jegong, disebelah selatan, tidak jauh dari sini minta agar kita tampil disana. Bagaimana menurut paman,” tanya seorang penabuh gamelan.
“Oh ya, karena dia meminta kita kesana, ya sudah besok kita pagelaran di dusun Jegong saja,” jawab Ki Joyo.
“Tolong dipersiapkan lebih baik lagi,” kata Ki Joyo.
“Baik paman Ki Joyo,” sahut mereka.
“Rupanya banyak makanan, kopi, dan juga udut ya,” tanya Ki Joyo.
“Ya, uang bingkisan dari anak-anak muda itu banyak paman. Ini tidak akan habis untuk sepekan,” jawab mereka.
Ki Joyo tertawa kecil, lalu meninggalkan mereka. Dia menuju kamarnya.
*******
SERI-20
Kabar kelompok pengamen akan main di dusun Jegong menyebar. Sejak matahari condong kearah barat, penonton sudah ada yang berdatangan, terutama yang berasal dari dusun sekitarnya. Mereka berjalan kaki bersama-sama dengan keluarga dan para tetangganya. Membawa tikar dan juga membawa bekal makanan dan minuman dari rumah. Anak-anak dan remaja berjalan bersama temannya sambil bercengkerama dengan riang.
Didusun itu ada lapangan kecil. Didekatnya ada pasar. Kalau pagi pasar itu ramai. Apalagi kalau hari pasaran Pon, pedagang dari berbagai daerah berdatangan. Setiap pasar punya hari pasaran sendiri-sendiri. Pon, Wage, Kliwon, Legi, Pahing.
Namun hari itu pasar tampak masih ramai. Penjual makanan, minuman, mainan anak-anak, penjual pakaian, juga para penjual bumbu masak, masih buka. Mereka berharap pagelaran pengamen akan mengundang banyak penonton. Sehingga barang jualannya laku.
Sementara itu, sejak pagi Cindelaras dan dibantu anggota rombongan pengamen sibuk membuat topeng dan jaran kepang. Topeng dibuat dari bahan seadanya, tapi karena dikerjakan dengan sungguh-sungguh, maka hasilnya sangat bagus. Demikian pula jaran kepang yang dibuat dari anyaman bambu, menyerupai kuda hanya saja tanpa kaki.
Saat rombongan pengamen tiba di tempat pagelaran, penonton sudah banyak yang datang. Orang tuadan anak-anak duduk diatas tikar masing-masing. Hanya anak-anak remaja yang maish berkeliaran.
Gamelan dibunyikan. Gending giro sebagai pembuka mulai memanggil-manggil. Para penabuh gamelan yang dibawa Ki Joyo memang terbaik. Mereka bisa menyajikan berbagai gending mulai yang sederhana, ganding anak-anak. Hingga gending yang rumit seperti Anglirmendung.
Begitu juga para sindennya. Meskipun masih muda-muda, mereka memiliki suara yang merdu dan menguasai banyak tembang. Tentu saja, mereka juga dipilih yang cantik-cantik sebagai daya tarik tersendiri.
Setelah tarian pembuka dilanjutkan dengan gending-gending ringan dan bernuansa riang. Beberapa gending telah dilantunkan. Suara sinden yang merdu membuat penonton terpukau.
“Suara sindennya luar biasa ya,” kata seorang penonton laki-laki yang masih muda.
“Ya, juga parasnya cantik banget. Masih muda lagi,” jawab temannya.
“Sudah punya pasangan apa belum ya.”
“Sepetinya belum, kelihatannya masih muda sekali.”
“Memang kamu mau.”
“Maulah, siapa yang tidak mau. Cuma apa sinden itu mau denganku.”
Mereka tertawa.
“Asal kantongmu tebal, sinden itu pasti mau.”
“Ah, belum tentu. Mereka pasti juga pilih yang ganteng.”
“Halah, ganteng kalau kantongnya tipis, sinden itu juga tidak akan mau.”
“Ya, berarti ganteng dan kantong tebal. Kita gak masuk dua-duanya.”
Mereka tertawa lagi.
Setelah beberapa gending berlalu. Ketua rombongan mengatakan penampilan berikutnya tari topeng. Gending khusus ditabuh. Dua penari, yang dua-duanya memakai topeng masuk kedalam arena. Memakai baju lurik lengan panjang. Celana hitam. Kulitnya yang kuning bersih tampak jelas dibalik bajunya yang berwarna gelap.
Awalnya gerakan kedua penari itu pelan sesuai irama gending. Serasi dan selaras. Kemudian meningkat lebih dinamis dan bertenaga. Wajah topeng yang khas itu memberikan nuansa tersendiri. Topeng itu seperti tersenyum memikat, tapi senyumnya penuh misteri. Seperti ada misteri yang belum terungkap.
Tari topeng itu tidak rumit, sederhana, namun gerakannya memikat. Apalagi ditarikan oleh penari yang pintar. Karena itu anak-anak dan remaja menyukainya. Bahkan, banyak yang ikut menari diluar arena, saat tari topeng itu digelar.
Melihat hal itu, Ki Joyo punya ide menarik. Anak-anak dan remaja yang ingin ikut menari di bolehkan masuk arena. Mereka berbaris dibelakang kedua penari bertopeng itu. Diluar dugaan jumlahnya sangat banyak, sehingga meluber hingga diluar arena.
Setelah gamelan ditabuh, mereka menari besama-sama. Mengikuti gerakan kedua penari. Penonton heboh dan bertepuk tangan. Mereka sangat senang melihat tempilan tari massal itu. Lucu dan menarik. Apalagi orangtua yang anaknya ikut menari, merasa senang sekali. Mereka tidak menduga ternyata anak-anaknya berbakat seni. Bisa menari dengan apik dan tentu saja gerakannya terkadang lucu, karena baru pertama menari.
Maka, meledaklah tepuk tangan penonton mengiringi selesainya tari topeng itu. Anak-anak dan para remaja yang ikut menari sangat senang. Kelihatan dari wajahnya yang cerah. Senyum dan tawa diantara mereka terus berlangsung. Juga para orngtua mereka.
Baca Juga:
- Cindelaras Nekad Ikut Adu Jago, Meskipun Raja “Cawe-Cawe” Menjegalnya – (Bagian 18)
- Cindelaras Nekad Ikut Adu Jago, Meskipun Raja “Cawe-Cawe” Menjegalnya – (Bagian 19)
Ki Joyo lalu tampil membawakan carita, yang diringi gamelan yang ditabuh pelan, sehingga suara Ki Joyo tetap bisa didengar penonton. Kisah Ibu suri yang diusir dari istana menjadi cerita yang paling disukai penonton.
“Karena cinta raja kepada selir muda dan cantik, membuat raja tertutup mata haitnya. Apapun yang diminta selirnya, pasti dikabulkan. Selir muda itu juga cerdas, tapi licik. Ambisi utamanya menjadi permaisuri dan ingin menurunkan raja-raja besar di tanah Jawa ini. Rencana jahat pun dimulai,” kata Ki Joyo memulai ceritanya.
Penonton mendengarkan dengan seksama. Ki Joyo memang pandai membawakan carita. Temponya diatur. Intonasinya disesuaikan dengan pesan yang ingin disampaikan.
“Dia pura-pura sakit. Tidak mau makan berhari-hari sehingga badannya kurus. Raja sangat bersedih. Tabib-tabib istana didatangkan, tidak ada yang bisa meyembuhkan. Desas-desaspun disebar oleh selir itu. Bahwa sakitnya diguna-guna oleh permaisuri. Raja percaya begitu saja. Akhirnya permaisuri diusir dari istana. Selir itu tidak puas dengan keputusan raja, untuk memastikan permaisuri tidak kembali ke istan, selir itu minta kepada raja agar permaisuri itu dibunuh, ” kata Ki Joyo.
“Perintah membunuh dijatuhkan. Seorang perwira diperntah untuk membawa Permaisuri yang sedang hamil tua itu keluar dari istana. Ditempat yang jauh dari kota, perwira itu diminta untuk membunuh permaisuri,” lanjut Ki Joyo.
“Tapi perwira itu kasihan melihat permaisuri yang sedang hamil tua. Dia tidak tega membunuhnya. Sehingga dia membawanya ke hutan. Dibuatkan rumah disana, dan dicarikan teman perempuan untuk membantu kesehariannya,” kata Ki Joyo.
“Hingga suatu hari sang permaisuri melahirkan anak laki-laki yang ganteng, kulitnya bersih, dan wajahnya bercahaya. Dia memberi nama Joko Alasan, karena lahir di hutan,” katanya.
Baca Juga:
- Cindelaras Nekad Ikut Adu Jago, Meskipun Raja “Cawe-Cawe” Menjegalnya – (Bagian 21)
- Cindelaras Nekad Ikut Adu Jago, Meskipun Raja “Cawe-Cawe” Menjegalnya – (Bagian 22)
Ki Joyo bercerita dengan sangat baik. Sehingga penonton menjadi larut dan hanyut dalam ceritanya. Ada yang bersedih sehingga meneteskan air mata. Ada yang matanya mulai berkaca-kaca.
“Tahun berganti, Joko Alasan tumbuh menjadi pamuda ganteng dan gagah. Dari ibunya akhirnya dia tahu, bahwa sebenarnya dia anak raja besar. Dengan restu ibunya, dia bergerak ke kotaraja untuk menemui ayahandanya,” kata Ki Joyo.
“Dengan naik kuda, Joko Alasan berangkat……,” kata Ki Joyo, yang langsung disambut dengan bunyi gamelan.
Perhatian penonton tertuju kepada seorang pemuda yang ganteng, gagah, kulitnya kuning bersih, keluar ke arena dengan naik “jaran kepang”, diringi gamelan yang ditabuh dengan rancak dan dinamis.
“Jaran kepang” itu terbuat dari anyaman bambu yang dibentuk menyerupai kuda. Lengkap dengan kepala dan badan kuda, kecuali kakinya. Dia menghormat kepada seluruh penonoton. Lalu, menaiki jaran kepang itu.
Gamelan ditabuh. Pemuda ganteng itu mulai menari dengan menunggang jaran kepang. Cara memebawakannya seperti menunggang kuda beneran
Pemuda itu menari diatas kuda. Meggerakkan kuda kepang itu ke kanan dan ke kiri berirama. Benar-benar seperti sosok seorang pangeran naik kuda yang sedang menuju ke istana, seperti cerita Ki Joyo.
Penonton yang semula sedih, sekarang bergembira lagi. Tertawa senang. Bertepuk tangan dan geleng-geleng kepala melihat pemuda ganteng yang sedang menari itu. Tariannya sangat memukau. Kuda itu seperti hidup beneran. Ada suara meringkik saat berlari.
Beberapa saat, penari itu berteriak memukul kudanya,”Ayo lari cepat kudaku. Kita akan segera sampai ke istana..”, teriak penari itu, sambil membawa kudanya bergerak berkeliling. Maju lalu mundur. Kekiri lalu ke kanan. Lalu memutar lagi. Gamelan terus berkumandang secara dinamis dan menghentak-hentak.
Spontan para penonton ikut berteriak histeris.
“Yang kencang Joko Alasan. Hati-hati naik kudanya, jangan sampai jatuh. Joko…Alasan, Joko….Alasan, Joko…..Alasan…….” teriak penonton yang benar-benar sudah larut dalam tarian itu.
Tarian itu diakhiri dengan penghormatan kepada penonton. Posisi penari masih diatas kuda. Dia membungkukkan badannya ke penonton dengan khitmat. Beberapa saat dia tetap dalam posisi membungkuk. Seperti mengatakan ucapan terima kasih dalam bahasa diam. Tidak ada suara satupun penonton yang bercuit. Hening. Mengharukan.
Baru setelah itu tepuk tangan membahana, mengiringi keluarnya penari. Penonton sangat senang. Karena belum pernah melihat tarian jaran kepang yang hebat itu. Apalagi diawali dengan narasi dari Ki Joyo. Imajinasi penonton terhubung dengan Joko Alasan dalam cerita itu.
Ki Joyo sendiri menjadi kagum. Bagaimana Cindelaras bisa menciptakan tarian yang menggambarkan Joko Alasan. Dan menarikannya dengan membawa jaran kepang, seperti kuda beneran yang hidup.
“Anak muda ini memang hebat. Pantas dia menjadi anak raja Jenggala,” bisik hati Ki Joyo.
Sementara Respati tak mengira Cindelaras bisa membuat tarian dan menarikan dengan sangat bagus. Benar-benar mamukau penonton.
“Luar biasa tarianmu Cindelaras. Aku benar-benar kagum dengan caramu menari diatas kuda itu. Kau berubah seperti Joko Alasan alam cerita Ki Joyo. Kau benar-benar bisa menghayati setiap gerakan tari yang kau ciptakan itu. Aku bahkan tidak tahu, sejak kapan tari itu kau buat,” kata Respati.
BERSAMBUNG
EDITOR: REYNA
.
Related Posts
Api di Ujung Agustus (Seri 34) – Gelombang Balik
Api di Ujung Agustus (Seri 33) – Pengkhianat Didalam Istana
Presiden Prabowo Terima Pengembalian Rp13,5 Triliun dari Kejagung: Purbaya Datang Tergopoh-gopoh, Bikin Presiden Tersenyum
Api di Ujung Agustus (32) – Hari Cahaya Merah
Api di Ujung Agustus (Seri 31) – Bayangan Kudeta Makin Nyata
Api di Ujung Agustus (Seri 30) – Jejak Jaringan Tersembunyi
Api di Ujung Agustus (Seri 29) – Jejak Operasi Tersembunyi
Api di Ujung Agustus (Seri 28) – Jantung Garuda Di Istana
Api di Ujung Agustus (Seri 27) – Jalur Rahasia Wiratmaja
Api di Ujung Agustus (Seri 26) – Bayangan Dalam Istana
789BETJanuary 6, 2025 at 2:18 am
… [Trackback]
[…] Find More to that Topic: zonasatunews.com/terkini/cindelaras-nekad-ikut-adu-jago-meskipun-raja-cawe-cawe-menjegalnya-bagian-20/ […]
タイ不動産会社おすすめJanuary 14, 2025 at 7:20 am
… [Trackback]
[…] Find More Information here on that Topic: zonasatunews.com/terkini/cindelaras-nekad-ikut-adu-jago-meskipun-raja-cawe-cawe-menjegalnya-bagian-20/ […]
ezybetJanuary 25, 2025 at 10:22 am
… [Trackback]
[…] Info on that Topic: zonasatunews.com/terkini/cindelaras-nekad-ikut-adu-jago-meskipun-raja-cawe-cawe-menjegalnya-bagian-20/ […]