Cindelaras Nekad Ikut Adu Jago, Meskipun Raja “Cawe-Cawe” Menjegalnya – (Bagian 23)

Cindelaras Nekad Ikut Adu Jago, Meskipun Raja “Cawe-Cawe” Menjegalnya – (Bagian 23)
Ilustrasi: Cindelaras dan ayam jagonya

Oleh: Budi Puryanto

Seri sebelumnya (Seri-22)

“Begitulah kesedihan kami Ki Joyo. Kami sangat terhibur dengan kehadiran rombongan Ki Joyo. Lebih dari itu, kehadiran Ki Joyo dan rombongan seni ini, seperti mengembalikan tenaga dan semangat kami yang lama hilang. Hampir saja kami putus asa dengan keadaan yang tidak menentu ini. Mendengar tembang, kidung, carita, dan tarian anak-anak muda itu, jiwa kami kembali segar, kembali tegar, dan lebih siap untuk menjalani kehidupan ini. Keyakinan kami tumbuh kembali, bahwa penderitaan ini pasti akan berakhir. Kesabaran kami dalam penantian lahirnya raja baru, pemimpin Jenggala yang baru, bukan tanpa arti. Saat itu pasti tiba, dan kami merasa saat itu tidak akan lama lagi, Ki Joyo,” kata seorang tokoh masyarakat.

Ki Joyo diam mendengarkan perkataan tokoh desa itu. Namun dalam hatinya dia bersyukur, jalan yang dia tempuh lewat kelompok pengamen ini membuahkan hasil, tumbuhnya harapan baru ditengah masyarakat.

Setalah mendengarkan perkataan beberapa tokoh desa, Ki Joyo menjadi semakin yakin, perubahan di Jenggala akan segera terjadi. Karena menurut Ki Joyo harapan kuat dari masyarakat yang tertindas itu adalah permohonan yang tidak pernah ditolak oleh Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.

SERI-23

Pisowanan agung 

Di istana kerajaan Jenggala, sedang terjadi sidang pisowanan yang dihadiri oleh para pejabat penting kerajaan. Hanya satu pejabat yang tidak diundang. Ki Patih.

Ki Patih sebenarnya pejabat paling berpengalaman. Dia pejabat paling senior di kerajaan Jenggala. Dia orang kepercayaan raja.Tetapi karena Permaisuri tidak menyuakainya, maka dia tidak pernah diundang untuk sidang-sidang penting.

Tumenggung Anggawiryo menjadi pejabat tertinggi dan paling berpengaruh setelah tidak aktifnya Ki Patih.

Raja mempertanyakan penanganan gejolak para adipati di wilayah timur. Apa sumber penyebabnya? Kebijakan apa yang akan diambil kerajaan?

“Saya minta pendapat Ki Tumenggung dan para Senopati yang ada disini. Kita tidak boleh membiarkan masalah berlarut-larut,” kata raja.

“Mohon ampun, Kanjeng Sinuwun. Para adipati di wilayah timur menolak kebijakan kenaikan pajak, dan penambahan jenis pajak baru, Kanjeng Sinuwun. Alasannya keadaan rakyat sedang paceklik dan gagal panen. Menurut hamba, harus segera dikirim pejabat kerajaan mewakili raja dengan kewenangan luas, untuk melunakkan hati para adipati itu. Kita pernah punya pengalaman dimasa lalu. Saat itu Ki Patih berhasil menggagalkan pembangkangan mereka,” kata Ki Tumunggung.

Melalui usulan ini kalau raja setuju, Ki Tumenggung berharap dirinya yang ditunjuk. Lalu pangkatnya dinaikkan dulu menjadi Patih.

“Ampun, Kanjeng Sinuwun, menurut hamba langkah yang diusulkan Ki Patih kurang tepat. Itu menunjukkan kita lemah dimata para adipati. Dahulu saat Ki Patih yang ditugaskan berunding, memang keadaan kerajaan belum begitu kuat karena memang baru berdiri,” kata Senopati.

“Menurutmu apa langkah yang terbaik, Senopati,” tanya raja.

“Kita gempur para pembangkang itu dengan pasukan segelar sepapan, Kanjeng Sinuwun. Kita tunjukkan bahwa kerajaan bisa bertindak tegas. Ini juga untuk peringatan bagi seluruh adipati diwilayah pesisir utara, wilayah selatan, maupun wilayah barat,” jawab Senopati.

“Mohon ampun, Kanjeng Sinuwun. Hamba tidak menolak tindakan keras yang diusulkan oleh Senopati. Tetapi itu tindakan terakhir, setelah diupayakan cara-cara damai. Kita harus ingat, menggelar perang resikonya akan besar. Disamping biaya besar, juga perlu dipikirkan jatuhnya korban jiwa, baik dari prajurit maupun rakyat biasa,” kata Ki Tumenggung.

“Mohon ampun, Kanjeng Sinuwun. Menurut hamba, berunding untuk saat ini bukan langkah yang baik. Hal ini hanya akan membuat para adipati itu tinggi hati, dan mengabaikan tatakrama dan hukum negara. Hanya dengan kekuatan senjata mereka akan jera. Kita ini kerajaan besar, Kanjeng Sinuwun. Kita idak boleh menyerah oleh gertakan-gertakan kecil para adipati itu,” kata Senopati.

“Ampun, Kanjeng Sinuwun. Hamba mohon diijinkan untuk mengajukan pendapat. Barangkali bisa menjadi jalan keluar untuk masalah ini,” kata Permaisuri dengan nada pelan, lembut, tapi semua pejabat mendengarkannya. Baik Ki Tumenggung maupun Senopati sama-sama berharap Permaisuri mendukung pendapatnya.

Baca Juga:

Suasana hening. Permaisuri mengatur tempo dengan baik. Saat penasaran mencapai puncak, dia baru berbicara dengan gaya berbicara yang memukau.

“Silakan Permaisuri, ajukan pendapatmu,” kata raja.

“Ampun, Kanjeng Sinuwun. Kita tidak boleh gegabah menghadapi masalah ini. Pendapat Ki Tumenggung ada benarnya sebagai bentuk kehati-hatian. Namun pandangan Senopati juga perlu diperhatikan untuk menunjukkan kewibawaan kerajaan,” kata Permaisuri.

Ki Tumenggung merasa kecewa dengan pendapat Permaisuri. Sebaliknya, Senopati merasa senang karena pendapatnya didukung oleh Permaisuri.

“Kita kirimkan terlebih dahulu pasukan telik sandi yang mumpuni dalam jumlah yang cukup. Tugas mereka tidak hanya menggali dan mengumpulkan kegiatan para adipati itu. Tapi juga menebarkan ancaman diam-diam untuk menakut-nakuti para adipati itu. Kita sebarkan kabar bahwa kerajaan sedangkan meyiapkan pasukan besar, untuk menggebuk para adipati yang mencoba mbalelo.”

“Senopati benar-benar menyiapkan pasukan untuk sewaktu-waktu harus bergerak menyerang. Latihan perang ditngkatkan. Bila perlu menambah jumlah prajurit untuk memperkuat pasukan.”

“Setelah kedua cara itu dilakukan, dikirimkan pejabat penting yang mewakili raja untuk meminta mereka membatalkan rencana pembangkangannya. Mohon ampun, Kanjeng Sinuwun. Kita tidak perlu  berunding dengan mereka. Bila tidak mau membatalkan, maka Senopati dengan pasukan yang sudah disiapkan itu, segera bergerak untuk menyerang,” kata Permaisuri.

Baca Juga:

Sidang senyap. Raja mengangguk-anggukkan kepala menimbang usulan Permaisuri. Ki Tumenggung dan Senopati, keduanya merasa puas. Karena pendapatnya tidak ada yang ditolak oleh permaisuri. Dalam hati mereka mangakui kecerdasan permaisuri.

“Apakah masih ada yang ingin berpendapat,” tanya raja. Tidak satupun yang angkat bicara.

“Kalau tidak ada lagi yang mengusulkan, saya menyetujui usulan Permaisuri,” kata raja.

“Ki Tumenggung mempersiapkan pasukan telik sandi dengan kekuatan dan keahlian khusus untuk menebarkan ancaman dan ketakutan diwilayah timur.  Kemudian pada saat yang tepat, Tumenggung atas nama raja bisa menemui para adipati itu.”

“Senopati segera siapkan pasukan segelar sepapan yang sewaktu-waktu siap digerakkan, apabila permintaan Ki Tumenggung di tolak oleh para adipati.”

“Aku kira pisowanan ini cukup, agar semua keputusan segera dilaksanakan,” kata raja, yang segera turun dari singgasananya, diikuti oleh Permaisuri. Pisowanan agung bubar.

Senopati sangat senang dengan keputusan raja. Sebaliknya, Ki Tumenggung masih menyisakan ganjala dihatinya.

“Mengapa Permaisuri tidak mengusulkan penggantian Patih. Mestinya sekarang saat yang tepat mengangkatku sebagai Patih. Sehingga saat aku menemui para adipati di wilayah timur itu, aku sudah menyandang pangkat tertinggi di kerajaan Jenggala. Dengan pangkat Patih, para adipati itu akan lebih menghormatiku,” kata Tumenggung dalam hatinya.

Dia langsung pulang kerumah dengan membawa kekecewaan kepada sikap permaisuri.

“Apa yang tidak aku turuti dari permintaan permaisuri itu. Meskipun dengan hati berat aku turuti semua keinginanannya. Bahkan, untuk urusan pribadi dan kepentingan putranya Pangeran Anom, aku penuhi semua permintaannya. Meskipun untuk itu harus melakukan pemaksaan, penyiksaan, dan menindas rakyat. Tapi apa balasan untukku?” bisik hatinya.

“Perintah menculik anak-anak untuk tumbal pada upacara pemujaan Permaisuri dan pengikutnya, dengan berat hati aku jalankan. Perintah menculik gadis-gadis muda untuk memenuhi kesenangan Pangeran Anom, juga aku jalankan. Tapi ternyata semua itu tidak ada artinya buat Permaisuri,” keluh Ki Tumenggung.

“Padahal Ki Patih itu sudah tua dan tidak berfungsi lagi. Mengapa tidak dipecatnya. Padahal kalau Permaisuri mau, raja pasti tidak menolak,” kata Ki Tumenggung dengan kesal.

Malam itu, dalam kegelisahan yang memuncak setelah pisowanan agung tadi siang, tiba-tiba ada utusan khusus dari istana menemuinya.

“Mohon ampun, Ki Tumenggung. Permaisuri meminta Ki Tumenggung menghadap malam ini juga,” kata utusan itu.

Seperti pucuk dicinta ulam tiba. Ki Tumenggung langsung mengiyakan panggilan Permaisuri.

“Baiklaj sampaikan kepada Permaisuri aku segera menghadap,” kata Ki Tumenggung.

Sepeninggal utusan istana, Ki Tumenggung langsung menghadap Permaisuri tanpa persiapan secara khusus.

Dia menghadap Permaisuri di istana Kaputren, yang tidak jauh dari kediaman raja. Permaisuri biasa memanggil para pejabat kerajaan di istana Kaputren itu. Di istana ini, Permaisuri sudah layaknya raja. Semua pejabat tunduk dan patuh menjalankan perintahnya. Yang menolak akan bernasib seperti Ki Patih dan Ki Ronggo.

“Mohon ampun, hamba menghadap Kanjeng Putri Permaisuri. Mohon ada perintah apa yang harus hamba jalankan,” kata Ki Tumenggung.

“Ki Tumenggung, aku tahu kamu kecewa dengan sikapku yang tidak kunjung mengusulkan kamu menduduki kursi Patih. Kamu harus bisa memahami, mengganti seseorang itu perlu pertimbangan yang matang. Harus ada pertimbangan masuk akal dan alasan yang cukup kuat,” ujar Permaisuri.

“Aku memberikan pendapatku dalam pisowanan agung tadi sudah aku pertimbangkan masak-masak. Tujuanku adalah memberikan jalan kepada KI Tumenggung untuk meduduki jabatan kursi Patih. Setelah tugasmu membujuk para adipati diwilayah timur berhasil, aku berjanji akan mengusulkanmu menjadi Patih,” kata Permaisuri.

“Mohon ampun Kanjeng Putri Permaisuri, dengan pangkat Tumenggung seperti sekarang ini, apakah tidak mengurangi kewibawaan saya dihadapan para adipati,” kata Ki Tumenggung.

“Nanti Ki Tumenggung akan membawa tanda khusus dari kerajaan sebagai simbul Ki Tumenggung mewakili raja secara penuh. Ki Tumeggung bisa mengambil keputusan apapun atas nama raja. Aku sudah sampaikan kepada raja, dan raja setuju,” kata Permaisuri.

“Dengan tanda khusus itu, kekuasaan Ki Tumenggung sudah sama dengan raja dalam menangani masalah itu. Bagaimana Ki Tumenggung kalau tidak ada yang diusulkan lagi, saya kira cukup pertemuan ini,” kata Permaisuri.

“Mohon ampun Kanjeng Putri Permaisuri. Saya tidak ada usul lagi,” kata Ki Tumenggung, yang langsung minta ijin untuk kembali.

Meskipun tidak seperti yang diinginkan, keputusan Permaisuri memberikan mandat penuh mewakili raja, cukup melegakan hati Ki Tumengung. Setelah berhasil jabatan Patih didepan mata.

Permaisuri tidak berhenti sampai disitu. Dia ingin menarik keuntungan politik sebesar-besarnya dari setiap keputusan raja. Sehari setelah memanggil Ki Tumenggung, dia memanggil Senopati ke istananya: Istana Kaputren.

Tentu saja Senopati dengan senang hati memenuhi panggilan Permaisuri.

BERSAMBUNG

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K

5 Responses

  1. Sevink MolenDecember 4, 2024 at 10:18 am

    … [Trackback]

    […] Find More Info here on that Topic: zonasatunews.com/terkini/cindelaras-nekad-ikut-adu-jago-meskipun-raja-cawe-cawe-menjegalnya-bagian-23/ […]

  2. live videosDecember 22, 2024 at 3:01 am

    … [Trackback]

    […] Information to that Topic: zonasatunews.com/terkini/cindelaras-nekad-ikut-adu-jago-meskipun-raja-cawe-cawe-menjegalnya-bagian-23/ […]

  3. BAU4IQ1January 8, 2025 at 8:05 pm

    … [Trackback]

    […] Find More on to that Topic: zonasatunews.com/terkini/cindelaras-nekad-ikut-adu-jago-meskipun-raja-cawe-cawe-menjegalnya-bagian-23/ […]

  4. BAUJanuary 18, 2025 at 9:09 am

    … [Trackback]

    […] Information to that Topic: zonasatunews.com/terkini/cindelaras-nekad-ikut-adu-jago-meskipun-raja-cawe-cawe-menjegalnya-bagian-23/ […]

  5. chat onlineJanuary 18, 2025 at 2:26 pm

    … [Trackback]

    […] Find More Information here to that Topic: zonasatunews.com/terkini/cindelaras-nekad-ikut-adu-jago-meskipun-raja-cawe-cawe-menjegalnya-bagian-23/ […]

Leave a Reply