Terungkapnya HMI Vs PKI Setelah Mantan Ketua Umum PB HMI Meninggal Dunia

Terungkapnya HMI Vs PKI Setelah Mantan Ketua Umum PB HMI Meninggal Dunia
Sulastomo mantan Ketua Umum PB HMI 1963-1966

PAK TOM DAN HMI DI TENGAH ANCAMAN PKI

Oleh : Syaefudin Simon

Apa jadinya HMI tanpa Pak Tom? Pertanyaan itu penting, mana kala kita mengenang “perjuangan” tanpa lelah dan riskan Pak Tom di saat-saat Indonesia berada dalam kegentingan amat berbahaya akibat tekanan PKI.

Pak Tom – panggilan akrab Dr Sulastomo MPH yang wafat Jumat siang (13/12/019) dalam usia 80 tahun – adalah tokoh Islam yang semasa mudanya hidup dalam “nafas tambahan” akibat tekanan, manuver, dan fitnah PKI. Sebagai Ketua Umum PB HMI antara tahun 1963-1966 – kita bisa membayangkan, betapa sulitnya mempertahankan eksistensi organisasi mahasiswa Islam yang amat dibenci PKI itu. Dalam berbagai pawai akbarnya, baik di Jakarta maupun di kota-kota besar lain, PKI selalu mengumandangkan: Bubarkan HMI! Bubarkan HMI!.

 

Saat itu, Bung Karno sangat dekat dengan PKI. Hampir setiap tuntutan PKI, diterima Bung Karno. Organisasi mahasiswa yang berafiliasi dengan PKI – CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) jadi anak emas Bung Karno. Celakanya “si anak emas” itu merengek-rengek kepada Bung Karno agar membubarkan HMI.

Sulastomo tahu, bagaimana kebencian PKI terhadap HMI. Mahasiswa Fakultas Kedokteran UI tersebut — kata KH Amidhan, teman dekat Sulastomo di HMI – nyaris tak pernah tidur di saat-saat kritis menjelang meletusnya Gestapu. Amidhan mengaku pernah diajak Sulastomo menemui tokoh-tokoh Islam dan militer anti-PKI di tengah situasi yang mencekam di Jakarta beberapa hari setelah meletus peristiwa G30S PKI.

Dalam kegilasahannya melihat kebencian PKI terhadap HMI, Tom, kata Amidhan, punya strategi jitu. Untuk mencegah Bung Karno membubarkan HMI, Tom muda menjalin persahabatan dengan KH Saifudin Zuhri (Menteri Agama saat itu) dan Dr Subandrio(orang kepercayaan Bung Karno, Ketua Badan Pusat Intelejen atau BPI). Tom tahu, dua tokoh itu dekat sekali dengan Bung Karno.

Konon, saat itu, tak ada yang ditakuti Bung Karno – termasuk Amerika sekali pun – kecuali tokoh-tokoh NU.

Ketua CC PKI Aidit bersama Bung Karno

Tanpa dukungan NU, Bung Karno tak berani melangkah. NU yang memberikan gelar “waliyul amri dharuri bis-syaukah (pemegang kekuasaan negara darurat) kepada Bung Karno, menjadikan Sang Pemimpin Besar Revolusi makin “terikat” dengan jebakan politik Nahdhiyyin. Sedangkan Dr. Subandrio, adalah orang kepercayaan Bung Karno yang telah teruji kesetiaannya.

Bung Karno sangat mempercayai Dr. Subandrio, sehingga mengangkatnya sebagai ketua BPI yang membawahi seluruh jaringan intelejen baik di sipil maupun militer.

Sulastomo muda yang cerdik, sengaja mempererat silaturahmi dengan dua tokoh itu.

Ketika yel-yek PKI “Bubarkan HMI” makin membahana, Tom muda mohon kepada kedua beliau agar mempengaruhi Bung Karno untuk tidak memenuhi permintaan PKI. Ketika PKI mendesak Bung karno agar membubarkan HMI, Subandrio benar-benar memenuhi permintaan Tom muda.

Subandrio menyarankan Bung Karno agar tidak membubarkan HMI. Alasannya, nanti umat Islam marah. Sedangkan Saifuddin Zuhri – tokoh NU yang saat itu jadi Menteri Agama – berani menantang Bung Karno.

“Kalau Presiden membubarkan HMI, hari ini juga saya mundur dari kabinet.” Konon, Bung Karno terkejut melihat keberanian Saifuddin Zuhri membela HMI.

Ancaman KH Saifuddin Zuhri membuat Bung Karno berpikir dua kali mengabulkan tuntutan PKI untuk membubarkan HMI.

Sebab jika Saifuddin Zuhri mundur dari Kabinet, itu artinya sama dengan NU tidak lagi mendukung Bung Karno.

Secara politik ini membahayakan. Akhirnya Bung Karno memutuskan : menolak permintaan PKI untuk membubarkan HMI.

Ketua CC PKI Aidit berpidato

Tom menang! Dan itulah jasa terbesar Tom muda dalam memperjuangkan Islam di Indonesia. Nurchlolish Madjid yang menggantikan Tom di HMI setelah kepemimpinannya, memuji peran Sulastomo yang gagah dan cerdik itu. Tanpa keberanian dan diplomasi yang handal dari Sulastomo, kata Nurchlolish Madjid – mungkin HMI hanya tinggal kenangan!

Tom adalah tokoh mahasiswa yang terlibat langsung dalam hiruk pikuk politik menjelang peristiwa G30S PKI. Ia tak hanya berhasil menyelamatkan HMI, tapi juga menjadi saksi perjuangan rejim Orde Baru dalam menyelamatkan Indonesia dari cengkeraman PKI. Tom, di samping membangun relasi dengan ulama, juga dengan militer yang anti-PKI, terutama dengan Jenderal Soeharto.

Pak Tom di hari tuanya, seperti diceritakan Amidhan, sahabat dekatnya – merasa heran, kenapa generasi muda Indonesia antipati terhadap Pak Harto yang menyelamatkan Indonesia dari kremusan PKI. Fitnah-fitnah terhadap Pak Harto yang menyatakan Jenderal Bintang Lima itu terlibat dalam kup deta – sangat merisaukan Pak Tom. Kenapa ada orang lebih mempercayai Cornell Paper yang menyatakan Peristiwa Gestapu adalah akibat konflik internal Angkatan Darat ketimbang pengkhianatan PKI? Aneh bin ajaib! — ujar Pak Tom yang tahu banyak peristiwa G30S PKI. Beliau heran terhadap sikap para pengamat yang tak terlibat langsung pada tragedi itu menyalahkan Pak Harto.

Tahun 1955, pada Pemilu demokratis pertama, PKI (Partai Komunis Indonesia) berada di empat besar partai pemenang Pemilu. Setelah itu, perkembangan PKI sangat cepat. Kedekatannya dengan penguasa dan janji-janjinya yang memukau rakyat kecil – terutama pembagian tanah secara merata – menjadikan PKI seperti penyelamat untuk kehidupan petani miskin. Di pihak lain, kaum buruh menatap masa depannya penuh harap. Karena PKI menjanjikan, jika ia menguasai negara, buruh bukan lagi pekerja di pabrik; tapi pemilik pabrik itu sendiri. Buncahan harapan itulah yang menjadikan wong cilik tertarik PKI.

Anggota dan simpatisan PKI ditangkap TNI dan rakyat

Perjalanan PKI dengan ideologi marxisme- materialisme yang atheistis ini, ternyata berhasil memukau rakyat kecil. Bahkan Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno menempatkan komunisme dalam narasi besar Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme). Nasakom adalah tiga pilar yang — menurut Bung Karno — harus menjadi landasan pembangunan bangsa Indonesia. Ketiga pilar itu harus berjalan seirama.

Bagaimana fakta lapangannya? Komunisme sebagai ideologi PKI, tak hanya bertentangan dengan prinsip kaum agamawan yang ber-Tuhan, tapi juga bertentangan dengan prinsip kaum nasionalis yang menempatkan Pancasila sebagai ideologi negara. Dengan demikian, integrasi Nasakom sulit terjadi. Yang mengejutkan kemudian, Nasakom jadi “instrument” PKI untuk memojokkan musuh-musuh politiknya. Dengan mudah, PKI mengecap musuh- musuh politiknya sebagai kaum Anti-Nasakom. Jika sudah demikian, negara pun akan memojokkan.

Tahun-tahun yang kacau politik terus bergulir. Posisi PKI dalam fragmen politik Indonesia terus naik. PKI berhasil membujuk Presiden RI untuk membubarkan Partai Masyumi. Masyumi bubar. Lalu, PKI pun membujuk Presiden Soekarno untuk membubarkan HMI. Kali ini gagal.

Saat itu, saya sebagai Ketua Umum PB HMI harus melakukan perlawanan terhadap propaganda PKI yang ingin membubarkan HMI di satu sisi; tapi di sisi lain, saya harus melakukan pendekatan terhadap elit politik di sekitar Bung Karno agar mendukung eksistensi HMI. Sampai peristiwa G30S PKI meletus, HMI tetap eksis. Kita semua sudah tahu, bagaimana dahsyatnya peristiwa G30S PKI.

Indonesia nyaris hancur dan dikuasai partai komunis itu. Hanya karena pertolongan Allah kepada bangsa Indonesia, PKI gagal mencengkeram ibu pertiwi.

Satu Oktober 1965. Soeharto, yang saat itu Panglima Kostrad (Komando Strategi Angkatan Dara,t) bergerak cepat. Obyek-obyek vital seperti Radio Republik Indonesia (RRI) dan Lanud Halim Perdanakusuma segera direbut kembali setelah sebelumnya dikuasai PKI. Begitu juga Makodam (Markas Komando Daerah Militer) dan Makorem (Markas Komando Resort Militer).

Anggota dan simpatisan PKI dtangkap TNI dan rakyat

Sampai akhirnya Presiden Soekarno mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) untuk dipergunakan Jenderal Soeharto mengendalikan keamanan di seluruh wilayah Indonesia.

Melalui “kekuasaan” Supersemar itulah, pada tanggal 12 Maret 1966, Jenderal Soeharto membubarkan PKI dan ormas- ormasnya. Peristiwa G30S PKI menimbulkan luka mendalam bagi bangsa Indonesia. Korbannya mencapai ratusan ribu jiwa melayang, bahkan jutaan. Dan korban terbanyak adalah orang-orang PKI. Kenapa? Karena PKI adalah penyebab kekacauan itu. PKI adalah inisiatornya.

Belakangan, ada pihak-pihak yang menggugat dan mempertanyakan kembali, kenapa peristiwa G30S PKI terjadi? Kenapa orang-orang PKI dibunuh? Bukankah mereka tidak bersalah? saya ingin menjelaskan, bagaimana peristiwa G30S PKI terjadi.

Soalnya saat ini muncul berbagai macam teori terjadinya gerakan makar tersebut, sehingga membingungkan publik. Terutama generasi Pasca-G30S. Generasi ini terpapar teori-teori spekulatif tentang munculnya tragedi PKI.

Terbitnya buku-buku yang menyalahkan Militer Angkatan Darat, Soeharto, dan Islam di satu sisi; kemudian menganggap PKI sebagai pihak tak bersalah di sisi lain – makin membingungkan generasi muda. Khususnya Generasi Milenial yang lahir tahun 1980-2000-an dan setelahnya. Dalam sebuah tulisannya menyambut buku “1000 Hari PKI Mencekam Yogya” karya Amidhan Shaberah dan Syaefudin Simon, Sulastomo memberi kata pengantar sebagai berikut :

Last Day Views: 26,55 K