Anton Permana: Makna Jiwa Korsa Bagi Prajurit TNI

Anton Permana: Makna Jiwa Korsa Bagi Prajurit TNI
Dr Anton Permana, Pengamat Ekonomi dan Geopolitik

Oleh : Anton Permana
(Tanhana Dharma Mangruva Institute)

 

(Dirgahayu TNI ke 75 !)

Yang paling membedakan antara seorang prajurit tentara dari masyarakat sipil tidak saja baju seragam dan senjatanya. Tetapi yang paling sakral dan monumental adalah jiwa korsa alias “esprit de corps”.

Kalau hanya berbicara seragam, senjata, atau atribut, adalah sesuatu yang lazim bagi dunia militer. Tetapi berbicara tentang jiwa korsa adalah berbicara tentang urat nadi, talian nafas, perasaan senasib seperjuangan, persatuan dan kesatuan cita, dan cinta antar sesama prajurit tentara. Yang sebegitu rupa sudah ditanamkan sejak masa pendidikan.

Sebagai komponen utama sistem pertahanan negara, tentu seorang tentara itu harus selalu tampil prima, profesional, dan trengginas dalam setiap medan penugasan. Untuk itulah, setiap prajurit dibekali banyak keahlian, sikap kedisiplinan tinggi, kemampuan, cara berpikir, standar fisik yang semuanya harus rata-rata di atas masyarakat kebanyakan.

Karena itulah, jiwa korsa ini sangat berperan penting dalam menyatukan psikologis kejiwaan seorang prajurit. Bagaimana dengan jiwa korsa ini mereka akan selalu struggle dan kompak dalam menyelesaikan apapun bentuk tugas, kesulitan dalam medan pengabdian. Baik itu berupa operasi militer perang maupun selain perang.

Penanaman jiwa korsa ini adalah semacam keistimewaan dan kekhas-san seorang tentara dari masyarakat sipil biasa, agar setiap tentara itu mempunyai daya tahan, daya gempur, daya soliditas yang kuat dalam melaksanakan tugas dan misi.

Artinya, bagi seorang tentara, salah satu wujud jiwa korsa adalah tidak ada lagi nilai lain selain rasa loyalitas, penghormatan, dan pengabdian kepada negara, dimana mereka telah disumpah atas nama Tuhan Yang Maha Esa untuk setia kepada Pancasila dan UUD 1945 serta melaksanakannya secara murni dan konsekuen.

Begitu penting dan sensitifnya posisi jiwa korsa ini dalam dinas militer. Maka ada pihak yang menjadikan jiwa korsa ini menjadi salah satu indikator utama mengukur kekuatan pertahanan negara.

Vietnam dan Afghanistan contohnya. Vietnam, meskipun tidak mempunyai angkatan laut dan udara, tetapi berhasil mengalahkan Perancis dan Amerika Serikat dalam perang. Begitu juga Taliban di Afghanistan yang bisa mengalahkan tentara Uni Soviet dan membuat Amerika menyerah dan mengakui pemerintahan Taliban di Afghanistan. Padahal kalau berbicara persenjataan bagaikan bumi dan langit. Tetapi karena dua negara ini memiliki tentara yang tangguh, menyatu dengan rakyat serta terkenal dengan jiwa korsanya yang tinggi, maka jadilah tentara mereka menakutkan bagi negara lain.

Begitu juga dengan Indonesia dalam keberhasilan merebut dan mempertahankan kemerdekaan dari tangan penjajah, membendung agresi militer Belanda sebanyak dua kali dan pertempuran palagan diantaranya pertempuran 10 November di Surabaya, Semarang, Ambarawa juga menjadi catatan sejarah penting bagaimana heroiknya prajurit TNI kita dalam menghadapi invasi musuh dari luar. Belum lagi ancaman pemberontakan dari dalam negeri yang hanya bisa dituntaskan melalui peran TNI serta rakyat.

Namun kini, yang menjadi tantangan bagi TNI itu adalah dunia politik, ideologi, dan ekonomi. Karena ketiga unsur ini juga yang bisa memecah belah organisasi. Apalagi jika tentara kita dikuasai oleh oknum oknum politisi yang memanfaatkan situasi, terlepas dari sejarah dan jati diri TNI yang dibentuk oleh rakyat dan telah ada bahkan sebelum terbentuknya pemerintahan NKRI.

Disinilah daya kekuatan jiwa korsa seorang prajurit tentara itu diuji. Antara setia pada nilai, setia pada korps kesatuan, setia pada atasan, atau pragmatis atas rayuan tawaran jabatan, harta dan ada juga karena ideologi.

Khusus untuk prajurit TNI. Seorang prajurit sapta marga, yang setia kepada Pancasila dan UUD 1945, pasti tidak akan terpengaruh dan tergiur dengan berbagai kepentingan politik, ekonomi dan ideologi di luar tugas pokok dan fungsinya.

Namun dalam era supremasi sipil, dimana kadang politik lebih dominan dan berkuasa, tak jarang akhirnya para prajurit terseret kepada kepentingan politik pragmatis.

Politik tentara adalah politik negara bukan dimaksudkan untuk mengikuti saja apa kata politisi. Politik bagi TNI adalah menjadi netral atau tidak berpihak dalam mengamankan ideologi Pancasila dan konstitusi UUD 1945. Itu harga mati !

Disinilah dilematis itu kadang bermula. Namanya politik, tentu tak mengenal ikatan jiwa korsa sebagaimana tentara. Yang ada hanya kepentingan. Akhirnya tak sedikit tentara yang mau tak mau akhirnya terseret kepada pusaran politik kekuasaan. Karena penguasa tentu akan lihai memanfaatkan “tools” dan instrumen regulasi kekuasaannya (yang dibuatnya sendiri) termasuk mengendalikan tentara menjadi alat kekuasaan.

Oke kalau seorang Panglimanya punya jiwa militansi sapta marga yang tinggi, sehingga tak terpengaruh dan bisa memisahkan mana yang politik negara dan mana yang politik kekuasaan. Maka TNI secara institusi akan aman terhormat berada di tengah-tengah. Tetapi kalau yang terjadi sebaliknya ???

**

Insiden TMP Kalibata, serta insiden di Gedung Juang DHD 45 Surabaya menjadi catatan penting bagi sejarah implementasi jiwa korsa di negeri ini.

Bagaimana seorang mantan Panglima TNI dengan mudah digelandang aparat dan dikepung massa dengan caci maki yang sengaja dibiarkan. Selanjutnya insiden penghadangan dan perlakuan diskriminatif oleh seorang Dandim terhadap para senior purnawirawan TNI yang dipersulit untuk ziarah makam ke TMP Kalibata hanya dengan alasan Covid-19 sementara upaya pelaksanaan Pilkada ditengah Covid -19pun terus dilakukan.

Dua insiden ini telah menampar wajah dan kehormatan keluarga besar TNI. Tak ada lagi rasa penghormatan, tak ada lagi etika, apalagi kalau berbicara jiwa korsa seperti kita bahas di atas.

Sebagai prajurit yang sapta margais, meskipun para seniornya sudah pensiun, sejatinya tetaplah para senior yang wajib dihormati. Apalagi juga ada mantan Panglima serta mantan kepala staf dan puluhan jendral lainnya.

Sungguh insiden ini telah mencoreng dan menjadi aib bagi kehormatan prajurit TNI semuanya. Hanya karena prilaku seorang “oknum”. Yang disaksikan secara telanjang di hadapan ratusan juta mata rakyat Indonesia. Apapun alasan di balik semua itu, yang jelas muncul pertanyaan dalam benak publik: sudah tak ada lagikah jiwa korsa antar angkatan sesama prajurit TNI di negeri ini ???? Masihkah jiwa korsa itu ada???

Rakyat begitu bangga dan cinta terhadap TNI. Tapi, ketika melihat dua adegan tersebut di atas, tentu akan banyak pertanyaan miris dan penuh tanda tanya ? Bagaimana TNI akan menjaga kedaulatan negara dan melindungi tumpah darah Indonesia jika untuk melindungi sesama prajurit dan purnawirawan saja tidak bisa? Miris.

Padahal, siapapun, apapun jabatannya, seorang tentara itu suatu saat pasti juga akan pensiun. Akan jadi masyarakat sipil biasa. Lepas jabatan dan kembali kepada rakyat.

Disitulah titik kritis dan ujian dari sebuah jiwa korsa seorang tentara utamanya dari para perwiranya. Ketika berhadapan dengan kepentingan politik, ekonomi dan ideologi. Maka disanalah kita akan bisa melihat mana prajurit yang sapta margais, patriot sejati, dan loyal kepada negara bukan penguasa (loyalitas buta).

Jangan berbicara akan siap bertempur sampai mati demi bela negara, tetapi malah lebih takut dicopot jabatan atau tak dapat promosi pendidikan.

Jangan berbicara patuh pada atasan lalu loyalitas buta tanpa mementingkan nilai, sumpah setia, dan jiwa korsa. Karena semua itu juga pasti akan dipertanggungjawabkan dunia dan akhirat. Akan menjadi catatan sejarah dan catatan sosial bagi para junior selanjutnya.

Sebagai rakyat biasa dan keluarga besar TNI. Kita tentu banyak berharap kepada TNI kita untuk selalu setia, amanah, profesional dan loyal kepada Pancasila – UUD 1945. Karena TNI itu lahir dari rakyat dan untuk rakyat bukan mengabdi pada penguasa. Loyalitas TNI itu adalah kepada konstitusi dan rakyat.

Jiwa korsa TNI tercermin dari sikap mental para perwiranya terhadap para pendahulunya atau seniornya adalah senjata utama yang paling ditakuti lawan. Jangan kotori itu dengan persoalan sepele, sikap arogan, berat sebelah, dan hal-hal berbau politik jabatan yang dapat merusak kehormatan prajurit TNI. Dan semoga TNI selalu jaya, kuat, tangguh, profesional dalam menjaga kedaulatan serta keutuhan NKRI.

Dirgahayu TNI KU !
Salam Indonesia Jaya !

EDITOR : SETYANEGARA

Last Day Views: 26,55 K

7 Responses

  1. Anton Permana : Makna Jiwa Korsa Bagi Prajurit TNI (Bagian 2) - Berita TerbaruOctober 5, 2020 at 3:05 pm

    […] Anton Permana: Makna Jiwa Korsa Bagi Prajurit TNI (Bagian 1) […]

  2. รับทำ BacklinkOctober 24, 2024 at 12:33 am

    … [Trackback]

    […] There you can find 42961 additional Info to that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/anton-permana-makna-jiwa-korsa-bagi-prajurit-tni/ […]

  3. Jaxx LibertyNovember 16, 2024 at 5:58 am

    … [Trackback]

    […] Read More on that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/anton-permana-makna-jiwa-korsa-bagi-prajurit-tni/ […]

  4. car detailerNovember 23, 2024 at 12:07 pm

    … [Trackback]

    […] Info on that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/anton-permana-makna-jiwa-korsa-bagi-prajurit-tni/ […]

  5. nutrition businessNovember 24, 2024 at 4:37 am

    … [Trackback]

    […] Read More here on that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/anton-permana-makna-jiwa-korsa-bagi-prajurit-tni/ […]

  6. Food RecipesDecember 27, 2024 at 3:40 pm

    … [Trackback]

    […] Read More here on that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/anton-permana-makna-jiwa-korsa-bagi-prajurit-tni/ […]

  7. cinemakickJanuary 4, 2025 at 3:46 am

    cinemakick

Leave a Reply