Oleh: Chris Komari
Activist Democracy
Activist Forum Tanah Air (FTA) USA & Global
Anggota City Council Calofornia 2002 & 2008
.
Komisi hearing di Parliamen (DPR) itu secara umum di bagi menjadi 4 macam:
Pertama, Legislative Hearings
Kedua, Oversight Hearings
Ketiga, Investigative Hearings
Keempat, Confirmation Hearings
Sementara itu, dalam setiap Komisi di Parliamen (DPR) bisa membentuk 3 macam Committee dan Sub-Committee, yaitu:
Pertama, Standing Committee. Permanent commitee dalam Komisi.
Kedua, Joint Commitee. Bisa dibentuk dengan anggota dari Komisi lain, bila ingin melakukan joint hearings.
Ketiga, Special atau Select Commitee.Yang bisa dibentuk untuk kebutuhan khusus.
Dari masing-masing commitee diatas bisa membentuk sub-commitee untuk kebutuhan tertentu sesuai kebutuhan hearings.
Ketika saya memperhatikan setiap Sidang Paripurna atau Komisi hearing di DPR, saya banyak belajar dan mengetahui hal-hal baru dalam aturan tata tertib sidang (parliamentary proceedings) atau public hearing di Komisi DPR, yang tidak pernah saya temui ketika saya menjadi anggota City Council in 2002 & 2008 di satu Kota, dinegara bagian di California, USA.
Kita di California, USA, semua anggota Legislative dari anggota City Counsil hingga anggota State’s Legislature, terikat oleh 2 pedoman dan aturan parliamentary proceedings (aturan sidang dan hearings), berupa:
Pertama, Robert’s Rule of Order
Kedua, California Government Code Section 54950 yang dikenal dengan sebutkan UU The Bown Act
Aturan parlemen lucu
Saya baru tahu ada aturan tata tertib hearing Komisi di DPR, dimana aturan tata tertib sidang itu mengatur, sebagai berikut:
Kalau bukan anggota Pansus (Panitia Khusus), maka anggota DPR yang menjadi anggota Komisi tidak boleh bertanya langsung kepada tamu (witness) yang didatangkan dalam hearing.
Pertanyaan dari anggota Komisi DPR itu harus diajukan lewat ketua sidang Komisi….!!!
I found this rule of engagements to be very ridiculous, if not ludicrous…!!!
Ini aturan parliamentary proceedings yang lucu, mbulet, justru membuat jalannya sidang tidak lancar, menghabiskan waktu hanya untuk mengikuti prosedurial yang tidak bermanfaat dan terkesan feudalistic atau controlling freaks.
Fungsi chairman of the committee itu hanya sebagai “presiding officer” (bukan boss) to make sure, hearing itu berjalan tertib, rapi, organized, adil, fair untuk semua members dan tujuan hearing itu tercapai.
Secara konstitutional, semua anggota Parliamen (Legislative) adalah “Equal” dalam Hak, Tugas, Tanggung-Jawab dan Privileges, meskipun mereka menduduki berbagai fungsi dan jabatan di Parliamen, seperti Ketua Komisi atau Ketua DPR.
Mereka sama memiliki One Vote di Parliamen, meskipun mereka represent a different amount of voters.. !!!
Seorang presiding officer yang mempunyai tugas dan tanggung-jawab overseeing a hearing doesn’t mean you can act like a big boss and becoming so bossy dalam sidang atau hearing.
DPR itu beda dengan Corporation…!!
Kenapa bertanya kepada witness saja tidak boleh langsung dan harus lewat Ketua Komisi yang berfungsi sebagai presiding officer…???
Terkesan lucu, mbulet dan mengada-ada…!!! Unnecessary rule of engagements in public meetings or hearings…!!!
Mengapa selalu semrawut ??
Apa sebenarnya yang menjadi the underlying problems atau masalah, mengapa setiap sidang paripurna dan hearing Komisi di DPR itu selalu semrawut, ribut dan ruwet begitu….?
Selalu teriak-teriak penuh interupsi, gaduh, ribut, tidak teratur dan kadang malah ada yang ngajak berantem secara physic.
Sepertinya aturan tata-tertib hearing dan persidangan di DPR itu perlu ditinjau kembali, diperbaiki, perlu belajar dari negara lain dan melakukan study banding dengan parliamentary proceedings di luar negeri, khususnya US Congress, seperti hearing di US House of Representative dan US Senate.
Bahkan sidang, public meetings dan hearings di City Council, jauh lebih tertib, organized dan professional dibanding Sidang Paripurna dan hearing Komisi di DPR.
Tidak pernah kita lihat sidang dan hearing di US Congress itu begitu ribut, tidak organized, tidak rapi dan tidak tertib….!!!
Sepertinya kalau saya perhatikan, DPR tidak atau belum memiliki system, process, prosedur dan mekanisme tata tertib persidangan atau hearing yang comprehensive dan very detailed oriented.
Kuncinya adalah terletak pada persiapan Komisi sebelum hearing dilakukan.
Sehingga semua persidangan dan hearing Komisi itu bisa berjalan rapi, tertib dan organized berjalan lancar dan tujuan hearing tercapai dengan baik.
Perlu diperbaiki
Yang perlu di perbaiki dalam proses persidangan dan hearing di Komisi DPR, in my view adalah sbb:
Pertama, Karena dalam setiap sidang atau hearing itu banyak anggota Parliamen (DPR) yang ikut hadir dalam hearing dan ingin mengunakan haknya untuk membuat statements dan bertanya, serta dengan terbatasnya waktu hearing yg ada, maka Ketua Komisi harus membagi-bagi waktu atau membuat persiapan internal dalam Komisi dulu, supaya hearing Komisi itu berjalan lancar, tertib, adil dan fair untuk semua anggota Parliamen, serta tujuan hearing tercapai.
Hal itu bisa dilakukan, misalnya dengan membentuk Committee atau Sub-Committee dalam Komisi itu yang terdiri wakil-wakil dari setiap partai politik.
Dengan membentuk Committee atau Sub-Committee untuk kepentingan hearing, maka akan mengurangi banyaknya anggota DPR untuk bisa bikin statements dan mengajukan pertanyaan kepada witnesses, karena terbatasnya waktu hearing.
Statements dan mengajukan pertanyaan kepada witnesses cukup diwakilkan oleh anggota Committee atau Sub-Committee yang mewakili semua partai politik di Parliamen.
Jadi mengurangi jumlah anggota DPR yang ingin membuat statements dan mengajukan pertanyaan kepada witnesses, but it’s still fair for all parties.
Sehingga dengan waktu hearing yang terbatas, misalnya hanya 2 atau 3 jam dan yang ikut hearing misalnya sebanyak 35 atau 40 anggota Parliamen, maka tidak semuanya akan diberikan kesempatan untuk membuat statements dan mengajukan pertanyaan kepada witnesses.
Tetapi cukup dibatasi dan diwakilkan oleh anggota Committee atau Sub-Committee
Sehingga proses sidang dan hearing Komisi DPR bisa tertib, organized dan adil serta fair untuk semua anggota Parliamen yg menjadi anggota Komisi.
Kedua, Hanya anggota Committee atau Sub-Committee yang telah dipilih dan mewakili semua partai politik itu yang boleh membuat statements dan mengajukan pertanyaan kepada witnesses.
Ketiga, Kemudian anggota Committee dan Sub-Committee melakukan internal meeting untuk menyetujui batas waktu maksimal kepada masing-masing anggota Committee dan Sub-Committee untuk membuat statements dan mengajukan pertanyaan, misalnya on the 1st round of hearing, masing-masing anggota mendapatkan waktu 5 menit.
Kalau masih belum cukup, nanti dibuka 2nd round of questions dengan batas waktu masing-masing anggota Committee dan Sub-Committeeuntuk membuat statements dan mengajukan pertanyaan kepada witnesses selama another 5 minutes, dst.
Keempat, Ketika hearing session berjalan dan setiap anggota Committee atau Sub-Committee sudah diberikan waktu dan sudah mengetahui gilirannya masing-masing untuk membuat statements dan mengajukan pertanyaan kepada witnesses, maka pada saat terjadi tanya jawab antara anggota Committee atau Sub-Committee dengan witness, tidak boleh ada “Interupsi” dari siapapun hingga waktu 5 menit dalam 1st round of making statements and asking questions yang diberikan kepada setiap anggota Committee atau Sub-Committee s itu selesai…!!!
Kelima, Interupsi hanya boleh dilakukan oleh anggota Committee atau Sub-Committee, atau participants hearing lainya, ketika Ketua Komisi sebagai presiding officer mulai berbicara taking the floor.
Jadi yang bisa di interupsi itu waktunya Ketua Komisi, bukan waktu yang diberikan kepada masing-masing anggota Committee atau Sub-Committee.
Lebih profesional
Sebenarnya masih banyak lagi sih yang bisa dilakukan untuk membuat sidang dan hearing di DPR lebih tertib, lebih organized dan lebih professional, seperti:
1). Meminta written statements dari calon witness of proposed testimony beberapa hari sebelum hari hearing day.
2). Kemudian membuat photo copy written statements dari calon witness itu dan disebarkan kepada semua anggota Komisi untuk dipelajari.
3). Ketua Komisi bisa meminta point-point yang ingin ditanyakan atau yang menjadi concerns setiap anggota Komisi.
4). Semua point-point yang menjadi concerns dari para anggota Komisi itu diperdebatkan di sidang Committee yang dibentuk oleh Ketua Komisi, untuk mengambil point-point yang harus dipertanyakan kepada calon witness dalam hearing Komisi.
5). Kemudian Ketua Komisi bersama dengan anggota Committee hearing berdiskusi bersama untuk mencari scope, tujuan dan objectives yang harus dicapai selama hearing.
Informasi apa yang harus didapat…???
Perubahan apa yang harus terjadi…???
Tindakan apa yang harus diambil…???
Bila semua apa yang telah dipersiapkan oleh Committee dan Sub-Committee sebelum hearing dan setelah hearing diketahui semuanya tidak tercapai atau terpenuhi, misalnya witnesses tidak mau berbicara banyak atau sengaja melakukan manuever proceeding untuk menyembunyikan informasi.
Maka Ketua Komisi dan anggota Committee harus membuat action steps selanjutnya agar tujuan dari hearing itu tercapai, seperti melakukan SUBPOENA, dan seterusnya.
EDITOR: REYNA
Related Posts
Dalam Semangat Sumpah Pemuda Mendukung Pemerintah dalam Hal Pemberantasan Korupsi dan Reformasi Polri
Anton Permana dan Kembalinya Dunia Multipolar: Indonesia di Persimpangan Sejarah Global
Syahadah: Menjadi Saksi Dari Cahaya Yang Tak Bernama
Asap di Sekolah: Potret Krisis Moral Dalam Dunia Pendidikan
Presiden Prabowo Terima Pengembalian Rp13,5 Triliun dari Kejagung: Purbaya Datang Tergopoh-gopoh, Bikin Presiden Tersenyum
Api di Ujung Agustus (32) – Hari Cahaya Merah
Pengaduan Masyarakat atas Dugaan Korupsi Kereta Cepat Jakarta Bandung: KPK Wajib Usut Tuntas
Daniel M Rosyid: Reformasi Pendidikan
Budaya Kita Perwakilan Musyawarah, Mengapa Pilpres Mesti One Man One Vote
Keseimbangan Sistemik: Membaca Kritik Ferri Latuhihin Kepada Purbaya
free chatDecember 1, 2024 at 2:21 am
… [Trackback]
[…] Find More here on that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/chris-komari-mengapa-persidangan-di-dpr-selalu-ribut-terkesan-tidak-professional/ […]